tirto.id - Sistem pendidikan di Indonesia membuat pelajaran Matematika menjadi momok yang menakutkan. Hal tersebut disampaikan mantan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal usai Deklarasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika, Sabtu (10/11/2018).
"Persepsi bahwa Matematika itu suit sudah ditangkap oleh masyarakat, termasuk oleh orang tua. Anak pun sudah [memiliki] kecemasan [terhadap itu]," ujar Fasli di lokasi deklarasi, Gedung Perpustakaan Lama Universitas Indonesia, Depok.
Menurut Fasli, sistem pendidikan di Indonesia hanya mengarahkan anak-anak untuk mempelajari konten Matematika yang bersifat simbolik, mulai dari bilangan dan operasi terhadapnya, seperti penambahan, pengurangan, pengalian, atau pembagian. Padahal, materi Matematika simbolik itu belum cocok diajarkan kepada anak usia di bawah 9 tahun.
"Simbol belum bisa digunakan sampai umur sembilan tahun. Oleh karena itu, berpikir konkret yang harus dimulai sejak PAUD hingga kelas tiga SD. Ini kelalaian kita," ujar Fasli.
Fasli mengatakan Matematika seharusnya diajarkan lewat hal-hal yang konkret, yakni lewat hal-hal yang ditemui siswa dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi Fasil, cara ini bisa membuat Matematika tampak lebih menyenangkan untuk dipelajari.
"Misalnya, sebelum ditulis '10' orang lebih baik [guru] kumpulkan saja sepuluh orang. Dari situ, [siswa mengengetahui bahwa] oh ini sepuluh. Lalu, kalau dikurang dua, berarti ada dua orang pergi. Tinggal dihitung. Jadi, itu ngga perlu ada simbol. Hal-hal seperti ini bisa dilakukan," ujar Fasli.
Lebih jauh lagi, Fasli menegaskan pengajaran konten-konten Matematika tidak lebih penting daripada pengajaran berpikir matematis. Namun, pengajaran berpikir matematis sering dilupakan.
"Berpikir Matematika lebih penting daripada konten satu kali satu atau satu kali tujuh. [Perkalian] itu bisa dengan cepat anak hafal, tetapi dia mengerti rasional dari perkalian itu," sebut Fasli.
Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika dideklarasikan sejumlah orang dan komunitas yang berkecimpung di dunia pendidikan, terutama Matematika. Kata 'buta' digunakan mewakili sistem pendidikan di Indonesia yang belum cukup memadai dalam memberikan pemahaman logika Matematika kepada siswa.
"Dibilang buta dalam artian enggak tahu sama sekali itu enggak. Yang ditekankan di sini, bukan anak-anak Indonesia yang buta Matematika," ujar Niken Rarasati, peneliti pendidikan yang berkantor di SMERU Institute, salah satu komunitas yang turut dalam deklarasi.
Rektor Universitas Indonesia Muhammad Anis yang hadir dalam deklarasi tersebut mengatakan mempelajari Matematika membuat orang memahami logika dalam berpikir. Menurutnya, Matematika penting dikuasai siapapun, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal.
"Oleh karena itu, gerakan untuk memelekkan warga Indonesia terhadap matematika itu sesuatu yang positif dan perlu didukung bersama," ujar Anis kepada Tirto.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Irwan Syambudi