tirto.id - Setelah sempat diselenggarakan secara daring, ARTJOG akhirnya dapat dinikmati kembali secara langsung oleh para penikmat seni. ARTJOG 2022 atau ARTJOG MMXXII: Arts in Common - Expanding Awareness menjadi ajang untuk menikmati beragam karya seni kontemporer dengan konsep kesadaran, yang semuanya terangkum dalam karya dan juga program ARTJOG tahun ini.
Rangkaian Seri ARTJOG 2019 – 2022
ARTJOG merupakan perhelatan seni kontemporer Internasional yang secara reguler digelar setiap tahun. Untuk memproyeksikan visi jangka panjangnya sebagai perhelatan regular, pada tahun 2019 ARTJOG menghadirkan sebuah trilogi dengan tema besar ARTJOG Arts in Common, yang memayungi sub-tema kurotorial dalam 3 periode penyelenggaraan. Sub-tema kuratorial tersebut meliputi ARTJOG common|spaces (2019), ARTJOG Time (to) Wonder (2021), ARTJOG Expanding Awareness (2022).
ARTJOG Expanding Awareness (2022) menampilkan 61 partisipan, yang terdiri dari kelompok dan perorangan, dengan usia partisipan merentang dari usia 7 hingga 74 tahun. Tema mengenai kesadaran (awareness) dimaknai sebagai suatu keadaan di mana individu atau sekelompok orang mengetahui dan memahami suatu fakta atau situasi. Catatan kuratorialnya menyebutkan, kesadaran yang dimaksud, terkait dengan kehadiran dalam ruang dan waktu. Kesadaran yang bukan sekadar hasil refleksi kontemplatif atas realitas, tentang apa-apa yang sudah terjadi kemarin dan hari ini di lingkungan terdekat kita, tapi juga mencakupi soal masa depan dan harapan-harapan yang harus diciptakan di dunia yang serba terkoneksi.
ARTJOG 2022 juga mengedepankan perhatiannya kepada kesenian yang mendukung inklusivitas. Seleksi kurotorial dan perancangan program-program edukasinya, menurut teks kuratorialnya, mencakup spektrum yang selama ini eksis diluar ‘arus utama’ seni rupa kontemporer Indonesia. Termasuk, seni yang dipraktikan oleh lingkaran anak-anak, remaja, dan seniman-seniman difabel.
Seri pertama, ARTJOG 2019 - common|spaces, menghadirkan 40 karya seniman dari Indonesia dan mancanegara menyoal “ruang bersama” dalam kehidupan kita sehari-hari, menyajikan karya yang mempersoalkan ruang dan lingkungan secara kritis.
Pada tahun 2020, pandemi menunda penyelenggaraan ARTJOG 2020 - Time (to) Wonder. Merespon keadaan ini, ARTJOG menyajikan ARTJOG edisi khusus dengan tajuk ARTJOG Resilience. Resilience yang diartikan sebagai ketahanan berupaya menunjukan semangat seniman yang terus berproses di tengah keterpurukan, tata kebiasaan baru, dan keterbatasan, berbarengan dengan kerja sosial dalam hidup bermasyarakat.
ARTJOG melanjutkan kembali serial triloginya dengan mengambil tajuk ARTJOG 2020 - Time (to) Wonder pada tahun 2021. Tema ini mengangkat mengenai waktu dalam kerangka sejarah, imajinasi dan ingatan, melalui karya-karya yang berbicara tentang problematika masa lalu, hari ini, dan masa depan.
Kemudian tahun ini, ARTJOG 2022 - Expanding Awareness, menjadi muara bagi serangkaian seri ARTJOG yang sudah berjalan sejak 2019.
Ragam Respon Seniman
Seniman terpilih yang berpartisipasi dalam ARTJOG 2022 mengimplementasikan bentuk kesadaran dengan cara yang mereka pilih. Salah satunya, karya kolaborasi Alex Abbad dan Angki Purbandono dengan tajuk “Catatan Pinggir Jurang”. Di sudut ruangan lantai pertama ruang pamer, karya ini mengajak pengunjung masuk melalui sebuah pintu ke dalam ruang yang penuh sesak dengan bantal. Di antara bantal-bantal, terdapat 250 image milik Angki Purbandono yang dipadukan dengan narasi yang ditulis oleh Alex. Sebanyak hampir 1000 bantal diletakkan di ruangan yang memutar menuju ke atas. Kemudian terdapat sebuah perosotan menjulang tinggi ditengah-tengahnya. Di sini, pengunjung diperbolehkan untuk terjun dari atas melalui perosotan tersebut, atau melalui tangga.
Zulfian Amrullah, Designer dan Manager Artistik ARTJOG menerangkan, “Pada karya ini, seniman berbicara mengenai hal yang lebih luas, mengenai kejatuhan, kondisi yang lumrah dialami setiap orang. Lewat instalasinya itu, seniman membuat tangga melingkar, tempat orang akan mendaki. Pilihan turun melewati perosotan atau tangga putar, menjadi metafora seberapa yakin kita menerima resiko pada pengalaman jatuh yang menyenangkan. Atau, kita bisa saja memilih jalur aman, yang pada karya ini direpresentasikan melalui tangga yang aman.”
Karya kolaborasi Mulayana dan Parti Gastronomi yang bertajuk “Bento Please Cheer Me Up” bercerita tentang kultur pangan dan relasinya dengan kehidupan sehari-hari. Karya Mulyana dan Parti Gastronomi menampilkan jejeran piring berisi replika makanan berbentuk rajutan monster. Zul memaparkan, “Karya Mulyana berbicara mengenai kesadaran gastronomi, akan pentingnya makanan penting bagi tubuh. Lebih jauh lagi, karya ini bercerita tentang kesadaran tentang diri sendiri.” Karya ini adalah salinan dari dokumentasi “menu bento” yang Mulyana dapatkan dalam menjalani kegiatan karantina selama dua minggu di Korea.
Refleksi dari Situasi Pandemi
Situasi pandemi yang cukup lama membuat seseorang tidak hanya harus kreatif dalam bertahan hidup, memanfaatkan waktu luang, dan berteman dengan kesendirian, namun juga kreatif untuk terinspirasi dari kondisi pandemi yang ada. Berawal dari sela panjang di masa pandemi, Ari Bayuaji mengisi kekosongan dengan mengumpulkan plastik-plastik yang tersangkut di pohon-pohon bakau, dan membuatnya menjadi bahan tenun. Karyanya yang bertajuk The Rangda juga memanfaatkan tali, benang plastik, dan nilon yang ia temukan.
Proyek ini akhirnya banyak melibatkan orang-orang yang kehilangan pekerjaan di area tersebut, yang membuat mereka bisa bertahan hidup. “Karya ini sebenarnya menjadi bentuk kesadaran tidak hanyaakan lingkungan hidup, komunitas, namun juga dalam menciptakan karya seni. Bagaimana saya lewat karya ini, akhirnya banyak bekerja dengan ready made object atau found object yang saya temukan di laut,” terang Ari.
Christine Ay Tjoe seniman perempuan yang berasal dari Bandung menjadi Commission Artist tahun ini, dengan karya yang berjudul “Personal Denominator”. Ay Tjoe menampilkan wujud Tardigrada, sejenis hewan air mikroskopis yang memiliki daya hidup yang tangguh dan resilien di muka bumi. Ay Tjoe merespon hal ini melalui karya instalasinya. Ketika menyibak tirai di pintu masuk, kita akan berjalan di atas karya Ay Tjoe yang berupa cetakan berbentuk hewan mikroskopis Tardigrada. Di samping kiri kanan kita akan bertiup angin dari bawah. Sebelum mencapai ujung, ditampilkan instalasi yang berisi bulu angsa yang dibalut dengan benang, seolah-olah bernafas. Karya ini merangkum situasi dan suasana dalam momen di masa pandemi. Yaitu, saat kita akhirnya terlatih menjadi tangguh, resilien, dan belajar untuk menahan diri.
Dibuka di awal Juli 2022 lalu, ARTJOG 2022 masih dapat dinikmati hingga 4 September 2022 mendatang di Jogja National Museum (JNM).
Penulis: Rizka Arichma
Editor: Lilin Rosa Santi