tirto.id - Di depan ribuan buruh saat acara May Day 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bakal mendukung aktivis buruh Marsinah sebagai pahlawan nasional. Di samping Prabowo saat berpidato di Monumen Nasional pada 1 Mei lalu itu berdiri Ketua Partai Buruh Said Iqbal, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jumhur Hidayat, dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban.
Prabowo mengungkap dukungan itu setelah mendapat usul dari pimpinan kelompok buruh. Pada suatu momen, Prabowo sempat mengarahkan para pimpinan kelompok buruh untuk mengusulkan satu nama aktivis yang layak sebagai pahlawan nasional.
“Dan mereka mengusulkan, bagaimana kalau Marsinah jadi pahlawan nasional? Asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh sepakat, saya akan mendukung Marsinah menjadi pahlawan nasional,” begitu kata Prabowo, diiringi tepuk tangan para buruh yang hadir.
Said Iqbal mengklaim ihwal usul menjadikan Marsinah sebagai pahlawan datang dari dirinya. Sebelum Prabowo pidato dalam Hari Buruh saat itu, Said meminta Prabowo menyampaikan usulnya tersebut di depan ribuan massa buruh.
“Jadi saya sampaikan, Pak Presiden, bahwa buruh tidak ada satupun yang pernah dijadikan pahlawan nasional. Dan karena itu sebaiknya Bapak nanti saat pidato bisa menyampaikan agar Marsinah dijadikan sebagai pahlawan nasional," ujar Said kala itu.

Sembilan belas hari berselang setelah dukungan terbuka Prabowo, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan bahwa diskursus soal Marsinah jadi pahlawan nasional mulai bergulir di Nganjuk, Jawa Timur, daerah asal aktivis buruh itu. Dia memastikan proses penetapan gelar pahlawan bakal lebih dari satu tahun karena mesti melewati sejumlah proses sesuai aturan berlaku, termasuk pengusulan dari masyarakat dan pemerintah daerah Nganjuk.
“Jadi saya kira usulan itu disambut dengan baik lah oleh para tokoh-tokoh buruh, juga oleh masyarakat setempat ya, disambut dengan baik,” ujarnya.
Pada bulan yang sama, Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi, mengatakan niatan menjadikan Marsinah sebagai pahlawan nasional sudah terlintas sejak lama. Seturut itu, dia mengklaim bahwa upaya pengajuan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah telah lama dirancang oleh pihak pemerintah dan keluarga besar Marsinah.
Katanya, sudah dibentuk tim khusus untuk mengurus syarat pengusulan Marsinah sebagai pahlawan selepas dukungan terbuka Prabowo.
Tinggal satu syarat utama saja yang belum terpenuhi, yaitu uji publik dan seminar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ketika proses itu rampung, maka seluruh berkas persyaratan bisa dilimpahkan ke Kementerian Sosial sebagai leading sector sebelum kepala negara memberi restu gelar.
“Secara pribadi saya mengenal Marsinah dan keluarganya. Karena kakaknya, Marsini adalah teman sekolah saya,” ujar Marhaen.
Lima bulan kemudian, Mensos Saifullah Yusuf ke Nganjuk menghadiri seminar yang membahas pengusulan gelar pahlawan bagi Marsinah. Forum yang bertajuk Marsinah: Perjuangan, Kemanusiaan, dan Pengakuan Negara, ini menjadi bagian proses pengusulan gelar pahlawan.
Gus Ipul, sapaan akrab mensos itu, menerangkan bahwa pengusulan Marsinah sebagai pahlawan nasional didasarkan pada nilai kemanusiaan. Marsinah dianggap melampaui capaian dari tokoh besar di level politik maupun pejabat yang justru memiliki pengaruh besar pada pergerakan sosial, dengan keberaniannya.
"Marsinah adalah simbol tentang apa artinya menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang berani berkata benar, bahkan ketika dunia memilih diam," kata Gus Ipul.
Dukungan Presiden Prabowo terhadap usulan itu, menurut Gus Ipul, menyiratkan pesan pentingnya mengambil pelajaran moral dari perjuangan Marsinah.

Apakah Marsinah Memenuhi Syarat jadi Pahlawan Nasional?
Adapun gelar pahlawan nasional merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, persisnya berdasar Pasal 25 dan 26. Gelar ini sejatinya diberikan kepada individu yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Mulanya pengusulan mesti dimulai dari masyarakat yang mengajukan nama calon pahlawan kepada bupati atau wali kota setempat. Setelah itu, bupati/wali kota bakal meneruskan usulan itu ke gubernur, sebelum akhirnya nama calon diserahkan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). Dari situ, nama direkomendasikan ke menteri sosial.
Setelah proses sampai Kementerian Sosial, barulah ada proses verifikasi kelengkapan administrasi. Setelahnya, usulan dilanjutkan ke TP2GP di tingkat pusat untuk dikaji mendalam. Apabila semua dinilai sesuai, menteri sosial bakal mengusulkan kepada presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan guna mendapat persetujuan.
Salah satu syarat umum, calon pahlawan didasari memiliki moral yang baik, setia pada bangsa, dan tidak pernah mengkhianatinya. Juga, ada syarat khusus, satu di antaranya memimpin atau terlibat aktif dalam perjuangan fisik, politik, atau bidang lain demi kemerdekaan dan tidak pernah menyerah pada musuh.
Dari sekian syarat di atas, Marsinah rasanya telah melampauinya. Dia memimpin gerakan menuntut keadilan bagi kelas buruh di era Orde Baru yang menempatkan nilai demokrasi dan HAM sangat mahal harganya. Dia juga tak menyerah untuk tetap hidup setelah mendapat penyiksaan brutal yang diduga kuat dilakukan aparat kala itu.
Dalam laporan bertajuk “Militer dan Politik Perburuhan Indonesia" yang diterbitkan YLBHI, Marsinah ditemukan sempat berjalan sempoyongan di hutan perbatasan Madiun-Nganjuk pada 8 Mei 1993, tiga hari setelah Marsinah lepas kontak dari kawan-kawan pabriknya. Di hari yang sama, Marsinah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk.
Jenazah divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo. Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut.
Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kemih dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.
Upaya mencari keadilan atas kasus Marsinah justru didapati kejanggalan. Mereka yang duduk sebagai terdakwa dalam persidangan diduga sebelumnya dipaksa untuk mengakui merencanakan pembunuhan Marsinah. Padahal aparat Kodam V Brawijaya-lah yang membuat skenario palsu strategi perencanaan dan eksekusi pembunuhan Marsinah itu.
Hingga kini, belum terungkap siapa pembunuh Marsinah dan dari siapa komando itu datang.
Upaya Menjadikan Soeharto Pahlawan Juga
Jauh sebelum Prabowo mendukung Marsinah sebagai pahlawan nasional, Presiden Soeharto yang berstatus mertua Prabowo lebih dulu digembar-gemborkan menjadi pahlawan setelah nama Suharto dihapus dalam satu pasal di TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal 4 dan berbunyi:
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia”.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat itu mengusulkan Soeharto layak dijadikan pahlawan nasional. Dia mengajak publik untuk tidak terpaku pada apa yang telah terjadi di orde baru.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan upaya menjadikan Marsinah sebagai pahlawan nasional adalah langkah politis demi kepentingan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Dengan dihapusnya nama Soeharto dalam TAP MPR XI/1998 merupakan gong mewujudkan mertua Prabowo itu sebagai pahlawan, setelah selalu terbentuk hambatan yuridis.
Dan dengan Marsinah kelak ditetapkan pahlawan nasional, maka itu akan menjadi preseden sekaligus legitimasi politik bagi pemerintah untuk memuluskan Soeharto jadi pahlawan. Sebab, pembunuhan Marsinah dianggap sebagai salah satu simbol terkuat dugaan pelanggaran HAM semasa orba.
Usman mengatakan selain Marsinah, Gus Dur yang digembar-gemborkan menjadi pahlawan nasional juga digunakan untuk kepentingan Soeharto dengan gelar serupa di masa pemerintahan Prabowo ini.
“Jadi sekarang mereka mencoba mencari cara di luar kendaraan yuridis itu dengan legitimasi politis dan legitimasi sosiologis. Nah, legitimasi politis tentu mudah karena tidak ada oposisi. Paling tukar guling dengan PKB, partainya Gus Ipul melalui penetapan Gus Dur sebagai pahlawan,” kata Usman kepada Tirto, Senin (13/10/2025).

“Atau legitimasi sosiologisnya ditempuh dengan mengangkat nama Marsinah. Seolah-olah kebijakan itu mengakomodir keinginan semua pihak. Baik itu kekuatan partai politik maupun kekuatan-kekuatan masyarakat sipil hak asasi manusia yang mendesak pengusutan kasus Marsinah lebih lanjut,” ia menambahkan.
Usman mewanti-wanti kepentingan pemerintah sekarang untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan adalah demi kepentingan politik. Ditambah, untuk menyelamatkan wajah TNI dari sejarah kelam semasa Orba.
Usman juga menyebut seluruh kebijakan Prabowo, termasuk upaya untuk penetapan Soeharto sebagai pahlawan, itu untuk melegitimasi kekuasaannya, serta membangun fondasi untuk keberlangsungan kekuasaannya di masa depan.
“Dan biasanya pemerintahan yang membangun pengkultusan individu termasuk terhadap diktator yang pernah berkuasa di dalam negeri, itu adalah pemerintahan yang fasis. Dan itu tidak dipisahkan dari kebijakan penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan yang berpotensi glorifikasi kepada kepahlawanan tokoh seperti Soeharto atau Prabowo nantinya,” imbuhnya.
Senada, Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra juga mengatakan ada upaya mencuci sejarah kelam militer dan Prabowo semasa Orba dengan mempahlawankan Marsinah. Ini yang menurut Dimas mesti dibaca kritis oleh publik.
“Kami lihat punya kepentingan di situ [usul Marsinah sebagai pahlawan] untuk menciptakan delusi di publik soal sejarah masa lalu Prabowo dan institusi militer,” ujar Dimas kepada Tirto, Senin (13/10).
Menurutnya, hal mendasar justru pengungkapan siapa dalang atau aktor intelektual pembunuhan Marsinah. Prabowo dianggap memilih cara aman dengan mempahlawankan Marsinah dibanding membuka kembali kasus hukum yang bisa saja menyeret elite militer di balik penyiksaan Marsinah.
“Karena memberi pengakuan seperti pemberian gelar pahlawan itu mudah dan kecil risikonya. Dan kalau Prabowo adalah benar negarawan dan berani menjawab keraguan publik yang selama ini menganggap Prabowo alergi dengan HAM dan demokrasi, harusnya tidak berhenti pada pengakuan gelar saja,” tuturnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id

































