tirto.id - Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dilakukan pemerintah setiap tahunnya dinilai belum efektif untuk pengendalian konsumsi rokok di dalam negeri. Hal ini karena struktur tarif saat ini masih rumit dan rentang tarif CHT antargolongan masih lebar.
Penulis Policy Paper & Expert Visi Integritas, Danang Widoyoko mengatakan, akibat tarif CHT antargolongan yang lebar harga rokok menjadi bervariasi sehingga produk rokok yang lebih murah selalu tersedia di pasaran. Akibatnya, pengendalian konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja, semakin sulit dilakukan.
Menurutnya, diperlukan intervensi dalam kebijakan CHT untuk memastikan upaya pengendalian tembakau memadai, khususnya terkait penyederhanaan struktur tarif CHT.
Upaya ini pun sejalan dengan komitmen pemerintah yang menjadikan penyederhanaan struktur tarif CHT sebagai bagian dari optimalisasi perpajakan dan menjaga kesinambungan fiskal pada RPJMN.
“Reformasi kebijakan cukai tembakau dapat dilakukan antara lain dengan melanjutkan kebijakan peningkatan tarif cukai agar mendekatkan jarak cukai antar golongan, penurunan jumlah produksi yang menjadi kriteria penggolongan cukai serta pengurangan jumlah layer untuk menutup celah penghindaran pajak," ujarnya di Jakarta, Kamis (25/10/2022).
Lebih lanjut dia mengatakan, untuk memastikan bahwa reformasi kebijakan cukai hasil tembakau tetap berlanjut dan berkesinambungan, maka pemerintah perlu menyusun kebijakan yang bersifat lintas tahun (multi years policy) atau menyusun kembali peta jalan (roadmap) tentang struktur tarif cukai tembakau.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI), Olivia Herlinda mengatakan, konsekuensi dari struktur tarif cukai yang kompleks adalah rentang harga yang lebar dari rokok paling mahal dan paling murah. Kondisi itu membuat konsumen memiliki opsi untuk beralih ke harga yang lebih murah.
Olivia menyampaikan bahwa menaikkan cukai rokok dan menyederhanakan struktur tarif cukai sudah terbukti memiliki dampak positif. Menurutnya, selisih tarif cukai Golongan I dan II yang masih besar memungkinkan perusahaan memiliki ruang lebih lebar untuk mengelola biaya sekaligus menjaga harga produk yang kompetitif.
“Banyaknya strata tarif cukai rokok menyebabkan industri rokok dapat mencari celah untuk menyesuaikan harga rokok, hingga menurunkan jumlah produksinya untuk turun golongan demi menghindari tarif cukai yang tinggi. Karena golongan I dan II sebenarnya gap-nya lumayan besar sehingga memungkinkan perusahaan menjual produk dengan lebih murah,” katanya.
Peneliti Bidang Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Rohani Budi Prihatin sepakat bahwa penyederhanaan struktur cukai dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi variasi harga rokok. Apalagi rokok ialah zat adiktif dan cukai merupakan instrumen yang dalam Undang-Undang diatur sebagai alat pengendalian konsumsinya.
“Bagian kelompok mesin paling mudah disederhanakan, daripada SKT. Selain itu roadmap juga harus kita jalankan karena dampaknya bagi penerimaan negara lebih besar, dan di saat yang sama akan menurunkan prevalensi perokok anak sesuai target RPJMN pada 2024,” ujarnya.
Sementara itu, Analis Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febri Pangestu menjelaskan bahwa kebijakan CHT selalu dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan berlandaskan pada empat pilar utama untuk menjamin kebijakan yang seimbang.
“Yang menjadi dasar pertimbangan kebijakan cukai adalah aspek pengendalian konsumsi, rokok ilegal, penerimaan negara, dan kesejahteraan pekerja/petani tembakau,” ujarnya.
Febri mengatakan penyederhanaan struktur tarif cukai sudah masuk dalam Perpres 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024, akan menjadi salah satu hal yang selalu dipertimbangkan Kementerian Keuangan dalam merumuskan kebijakan cukai untuk mendukung prevalensi perokok dewasa maupun perokok anak.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang