tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan angka stunting di Indonesia pada tahun 2022 sebanyak 21,6%. Angka tersebut turun 2,8% dari tahun sebelumnya 2021 yakni 24,4%.
Hal tersebut diketahui setelah Kemenkes melakukan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 dengan jumlah sampel 334.848 bayi dan balita di 486 Kabupaten/Kota pada 33 Provinsi di Indonesia.
"Kami ingin melaporkan bahwa prevalensi stunting turun," kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi saat konferensi pers di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2023).
Berdasarkan prevalensi, lima provinsi dengan tingkat stunting yang tinggi berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) 35,3%; Sulawesi Barat 35%; Papua 34,6%; Nusa Tenggara Barat 32,7%; dan Aceh 31,2%. Sementara itu provinsi terendah yakni DKI Jakarta 14,8% dan Bali 8%.
Maria menuturkan terdapat empat faktor penurunan stunting: inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian ASI, sumber protein hewani, dan konseling gizi.
"Ini faktor-faktor yang mempengaruhi. Yang diberi ASI itu banyak. Tapi kita yang kasih ASI eksklusif 6 bulan itu cuma 16,7%, kemudian kita dorong mesti didukung agar ASI eksklusif 6 bulan, dilanjut 24 bulan tapi dengan sumber protein hewani," ucapnya.
Ia menjelaskan penurunan stunting 2022 terjadi akibat peningkatan empat sumber gizi tersebut bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Yakni IMD meningkat dari 47,2% pada 2021 menjadi 60,1% pada 2022.
Kemudian pemberian ASI meningkat dari 73,5% pada 2021 menjadi 96,4%. Sumber protein hewani meningkat dari 53,3% menjadi 69,9% pada 2022. Serta konseling gizi dari 21,5% menjadi 32%.
Sementara itu, angka pemberian ASI eksklusif 6 bulan terjadi penurunan dari 48,2% pada 2021 menjadi 16,7% pada 2022. Gizi yang berasal dari susu dan olahan juga menurun dari 37,0% menjadi 30,1% pada 2022.
"Kalau kita mau menurunkan stunting, jangan sampai anak stunting baru nambah," tuturnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri