Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Kekuatan Itu Penting, Tapi Wajib Amanah Agar Tak Menindas

Islam menginginkan umat untuk kuat. Namun bukan sekadar kuat secara fisik.

Kekuatan Itu Penting, Tapi Wajib Amanah Agar Tak Menindas

tirto.id - Kata "kuat" diambil dari khasanah bahasa Arab. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf qaf, dan ya’ yang maknanya, antara lain, adalah "keras, kuat", sebagai antonim/lawan kata dari "lemah".

Kekuatan dimaksud dapat berwujud secara fisik atau kalbu bagi manusia. Dapat juga berwujud dari luar, misalnya bantuan pihak lain yang melahirkan kekuatan atau bahkan bantuan Allah SWT. Kekuatan batin menjadikan seseorang tegar menghadapi ancaman serta penuh percaya diri.

Islam menuntut pemeluknya memiliki kekuatan lahir dan batin. Kekuatan lahir diperoleh dengan makanan bergizi dan latihan olahraga, sedang kekuatan batin dengan iman dan memohon bantuan Yang Mahakuat, Allah SWT.

Kekuatan lahir tidak banyak gunanya jika tidak dibarengi dengan iman, bahkan kekuatan lahir dapat mencelakakan jika tanpa mengindahkan tuntunan agama dan moral. Karena itu, Nabi SAW., mengingatkan tentang makna hakiki kekuatan sengan sabdanya:

“Bukannya yang kuat siapa yang dapat menjatuhkan pegulat, tetapi siapa yang dapat menahan diri ketika ia marah.” (HR. Bukhari)

Islam mengajarkan umatnya untuk selalu kuat, tidak menjadi peragu. Keraguan yang lahir akibat kelemahan pribadi akibat lemahnya iman. Nabi SAW., bersabda:

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun keduanya baik. Bersungguh-gungguh meraih apa yang bermanfaat untukmu dan mohonlah bantuan kepada Allah, jangan melemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka jangan berkata: ‘Seandainya aku melakukan ini dan itu’, tapi ucapkanlah:’Ini telah ditakdirkan Allah apa yang Dia kehendaki dilakukan, (jangan berkata seandainya) karena seandainya membuka pintu (masuk) setan’." (HR Muslim).

Kekuatan yang dimaksud oleh Nabi SAW., di atas dapat beragam. Antara lain kekuatan ekonomi, kekuatan pemikiran, ilmu, dan kepribadian yang melahirkan rasa percaya diri walaupun seseorang berdiri sendirian. Rasul SAW., berpesan:

“Janganlah salah seorang di antara kamu menjadi immi’ah sehingga berkata/bersikap: Kalau orang berbuat baik, aku pun akan berbuat baik dan bila mereka berbuat buruk aku pun demikian. Tetapi hendaklah kalian memperkuat diri, maka bila orang berbuat baik, kalian berbuat baik juga dan bila melakukan keburukan, kalian menghindari keburukan mereka.” (HR at-Tirmidzy).

Ini bukan sikap konsisten/istiqamah yang dituntut, tetapi sikap lemah karena mengandalkan manusia, sedang kekuatan si kuat adalah anugerah Allah SWT yang dianugerahkan-Nya setelah seseorang berusaha lalu menyerahkan diri kepada-Nya. Perhatikanlah pesan Nabi SAW., di atas: "Bersungguh-sungguhlah meraih apa yang bermanfaat untukmu, dan mohonlah bantuan kepada Allah. Jangan melemah!"

Yang lemah biasanya menerima apa adanya dan/atau mencari pembenaran atas sesuatu yang tidak wajar. Itulah pintu masuk setan atau nafsu yang selalu memperindah keburukan atau mencarikan alasan pembenaran bagi yang lemah.

Tidak jarang seseorang diundang ke satu pesta yang menghadirkan jamuan yang haram/minuman keras yang -- oleh tuan rumah -- dianggap sebagai tradisi dan cara penghormatan yang wajib diberikan. Yang lemah iman atau lemah kepribadian akan rela menyantap atau meminumnya karena segan, tetapi yang kuat akan menolak, bahkan menolak hadir.

Perlu dicatat bahwa ketidakhadiran atau sikap menolak itu tidak harus ditampakkan dengan kasar, apalagi dalam bentuk penghinaan. Lebih-lebih jika itu dilakukan tuan rumah tanpa maksud melecehkan. Bahkan terhadap mereka yang secara terang-terangan melecehkan ajaran agama atau simbol-simbol agama dan negara, tidak serta merta dihadapi dengan keras, apalagi melampaui batas. Dalam konteks ini, kekuatan yang diperlukan adalah kekuatan menahan emosi, bukan kekuatan melampiaskannya.

Dewasa ini tidak jarang orang-orang picik melakukan penghinaan terhadap Islam dan Nabi umat Islam. Allah telah mengingatkan tentang hal ini, antara lain dalam Q.S. Ali-Imran ayat 186: "Sungguh kamu akan diuji menyangkut harta kamu dan diri kamu. Dan kamu sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersutukan Allah, gangguan yang banyak. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan."

Di sini yang dituntut setelah menyampaikan keberatan atas pelecehan adalah kekuatan mengendalikan emosi untuk memberi kesempatan kepada yang bersalah memperbaiki sikapnya. Atau kalau itu tidak mereka penuhi, maka pengendalian diri menjadi sarana untuk berpikir lebih matang guna mengambil sikap yang terbaik dan yang tidak berdampak lebih buruk bagi umat Islam.

Kekuatan jiwa melahirkan tekad untuk mengambil langkah yang tepat dan cara-cara yang tepat, serta waktu yang tepat guna mencapai maksud yang tepat. Penangguhan mengambil tindakan karena situasi yang belum tepat, walau terkesan “kelemahan”, pada hakikatnya adalah kekuatan.

Sahabat Nabi, Auf bin Malik RA., menyampaikan bahwa satu ketika Rasul SAW., memutuskan perkara yang melibatkan dua orang yang bersengketa. Yang kalah, kendati merasa benar, berucap: Hasbuna Allah wa ni’ma al-wakil; cukuplah bagi kami Allah yang menangani dengan baik, Dia adalah sebaik-baik wakil.

Infografik al mujib al asma al husna

Mendengar ucapannya, Nabi SAW., bersabda:

“Allah mengecam kelemahan, tetapi hendaklah engkau cerdas sehingga jika engkau dikalahkan oleh sesuatu, ucapkanlah hasbi Allah wa ni’ma al-wakil; cukuplah bagiku Allah karena aku yakin bahwa seandaiknya seluruh umat berkumpul untuk memberi manfaat atau menampik mudarat, maka itu tidak akan terjadi kalau tidak diizinkan Allah. Cukup bagiku Allah karena aku yakin bahwa Dia adalah sumber kebaikan; dalam genggaman tangan-Nya segala kebajikan sehingga apapun putusan-Nya maka itulah yang terbaik.

Seorang muslim berkewajiban menghimpun kekuatan dan menghiasi diri dengannya sehingga tidak terjadi pelecehan atasnya. Tetapi jika setelah berusaha dan berusaha, maka jalan terakhir adalah berserah diri kepada Allah. Bertawakal adalah menyerahkan urusan yang dihadapi kepada Allah dengan keyakinan bahwa Dialah yang akan menyelesaikannya sebaik mungkin.

Penyerahan tersebut, setelah usaha maksimal, merupakan kekuatan dan dengan demikian seorang mukmin selalu kuat. Sekali dengan usahanya menghimpun kekuatan dan kali lain karena keyakinannya bahwa Allah bersamanya setelah menyerahkan diri kepada-Nya.

Dalam al-Quran terdapat dua ayat yang menggunakan kata qawiy yang menyifati makhluk. Pertama, Nabi Musa AS., yang diuji dengan kalimat sebagai orang yang kuat lagi dapat dipercaya (QS. Al-Qashash ayat 26). Dan kedua, Ifrit, yakni yang genius dari jenis jin yang menyampaikan kemampuannya dengan kalimat: Sesungguhnya aku benar-benar kuat lagi dapat dipercaya (QS. An-Naml ayat 39).

Kekuatan makhluk baru terpuji bila disertai oleh sifat amanah/kepercayaan. Tanpa sifat ini, kekuatan dan kekuasaan dapat digunakan untuk menindas dan menindas, sedang kekuatan tidak dimaksudkan untuk meneror, menindas, dan menjajah.

Allah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan kekuatan material dan spiritual, sebagaimana ditegaskan dalam (QS. Al-Anfal ayat 90), bukan untuk tujuan menggunakannya -- kecuali terpaksa --bukan juga untuk tujuan meneror, tetapi untuk menghalangi musuh melakukan penganiayaan dan pelecehan akibat rasa takutnya dari kaum muslim.

Demikian, wa Allah a’lam.

=====

*) Naskah dinukil dari buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait KULTUM QURAISH SHIHAB atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS