Menuju konten utama

Kegamangan UK Setelah Perceraian dengan Uni Eropa

Referendum British Exit, atau Brexit telah usai. United Kingdom (UK) memilih untuk bercerai dari Uni Eropa (EU). Akan tetapi, bukan gegap gempita yang datang menyambut keputusan tersebut, melainkan kebingungan dan kekacauan politik akan bagaimana arah dari masa depan negara tersebut.

Kegamangan UK Setelah Perceraian dengan Uni Eropa
Pendukung "leave" bergembira atas hasil pemungutan suara suara referendum Uni Eropa ditutup di London, Inggris. Antara Foto/Reuters/Toby melville

tirto.id - United Kingdom (UK) selesai melaksanakan referendum pada 23 Juni lalu. Hasilnya, sebanyak 52 persen masyarakat UK memilih untuk lepas dari cengkeraman Uni Eropa.

Hasil itu sangat mengagetkan, tidak hanya di UK tetapi juga seluruh dunia. Ini dikarenakan berbagai hasil survei sebelum referendum digelar menunjukkan, mayoritas masyarakat UK memilih untuk tetap bergabung dengan EU. Sebagai catatan, survei oleh YouGov pada hari referendum diselenggarakan masih menunjukka, mereka yang memilih untuk tinggal (Remain) unggul dengan persentase 52 persen.

Hasil referendum yang mengagetkan itu langsung mendapat sentimen negatif. Nilai mata uang Poundsterling terjun bebas ke titik terendahnya sejak tahun 1985, pada level $1,33. Bursa saham Asia jatuh, pascapengumuman hasil referendum tersebut.

Perdana Menteri (PM) UK James Cameron yang menginisiasi referendum tersebut – namun mengkampanyekan UK untuk tetap berada dalam keanggotaan Uni Eropa – memilih untuk mundur pada bulan Oktober mendatang. Ia mengatakan, akan lebih pantas apabila orang yang melanjutkan kepemimpinan dalam pemerintahan adalah mereka yang mendukung lepasnya UK dari EU.

Banyak pihak percaya, hasil yang di luar dugaan tersebut merupakan keputusan emosional masyarakat UK. Mereka tidak berpikir panjang mengenai dampak apa saja yang akan terjadi pada UK, dan dunia, terutama dalam hal ekonomi. Kebingungan warga UK itu antara lain terlihat dari maraknya pencarian tentang Brexit dan dampaknya ke depan di mesin pencari.

Seperti dilaporkan oleh The Washington Post, berdasarkan data dari Google Trends, pertanyaan yang paling banyak diketik oleh mereka yang berada di UK pasca referendum Brexit terkait EU pada mesin pencari Google adalah pertanyaan “Apakah artinya meninggalkan Uni Eropa?,” “Apakah EU itu?,” Negara mana sajakah yang tergabung dalam EU?,” “Apa yang akan terjadi setelah kita meninggalkan EU?,” dan “Berapa banyak negara yang tergabung dalam EU?”

Gambaran dari kebingungan itu juga tampak dalam sebuah wawancara seorang perempuan dengan stasiun televisi ITV News.“Meskipun saya memilih untuk leave, pagi ini saya bangun dan saya hanya – kenyataan telah menyadarkan saya. [...] Jika saya memiliki kesempatan untuk melakukan voting lagi, saya akan memilih untuk tinggal,” kata perempuan tersebut.

Peta Referendum

Peta kemenangan mereka yang memilih untuk Leave dan Remain sendiri cukup terbagi secara tegas secara demografis dan disparitas ekonomi. Mereka yang memilih untuk Remain adalah warga kota-kota besar seperti London, selain wilayah seperti Irlandia Utara dan Skotlandia. Suara Remain terutama lemah di West Midlands dan Northeast of England, dua daerah yang “terpukul” oleh deindustrialisasi.

Selain dari segi demografis, seperti dikutip dari TIME, dalam sebuah polling mengenai Brexit yang dipetakan berdasarkan umur. Sebagian besar yang memilih untuk Leave adalah generasi tua. Hanya 19 persen dari masyarakat UK yang berusia 18 hingga 24 tahun memilih opsi Brexit. Sementara itu, di antara para pensiunan, sebesar 59 persen menginginkan UK untuk lepas dari EU.

BBC melaporkan, untuk kelompok usia 45 hingga 54 tahun, sebesar 56 persen memilih untuk Leave. Persentase itu terus naik untuk kelompok usia di atasnya, dengan sebanyak 60 persen dari kelompok usia 65+ memilih Leave.

Data yang dirilis oleh The Telegraph sendiri menyatakan bahwa angka keterlibatan referendum Brexit yang tertinggi terdapat pada daerah-daerah dengan jumlah pensiunan lebih dari seperempat dari populasi daerah tersebut.

Kemenangan Leave menegaskan pengaruh besar dari mereka yang berumur 45 tahun ke atas terhadap keputusan UK untuk meninggalkan EU. Tidak sedikit dari generasi muda UK yang gerah dengan kenyataan tersebut.

Sebagian besar generasi tua di UK tidak dapat melihat keuntungan dari keanggotaan EU yang memberikan kebebasan bagi warga negara anggotanya untuk bepergian secara bebas ke negara anggota lain, sementara kaum muda melihat hal itu sebagai keuntungan terutama dalam pengembangan bisnis.

Kenyataan bahwa generasi tua di UK menentukan masa depan dari generasi muda, dan ketatnya selisih hasil referendum Brexit (berselisih sekitar 1,3 juta suara) menjadi salah satu hal yang banyak diserukan oleh mereka yang memilih Remain untuk melakukan referendum kedua.

Pada tanggal 29 Juni kemarin, tercatat lebih dari empat juta orang telah menandatangani petisi yang dibuat oleh William Oliver Healey pada bulan Mei. Diketahui, angka penandatanganan petisi itu naik drastis pascareferendum.

Petisi tersebut menyatakan: “Kami yang bertandatangan meminta HM Government (Her Majesty’s Government/Pemerintah UK) untuk menerapkan aturan bahwa jika jumlah suara Remain atau Leave kurang dari 60 persen berdasarkan dari jumlah pemilih yang kurang dari 75 persen, maka referendum harus dilakukan lagi."

Sementara itu, petisi kedua yang mendesak Sadiq Khan, walikota London, untuk mendeklarasikan kemerdekaan ibukota Inggris telah mendapat 175.000 tanda tangan.

Kekacauan Politik UK

Dengan suara yang sedemikian besar, anggota parlemen UK tentu saja tidak bisa tidak menghindari begitu saja aspirasi tersebut. Meskipun referendum telah rampung, tetapi nasib UK untuk secara resmi berpisah dengan EU hingga saat ini masih belum ada tanda-tanda yang jelas, setidaknya hingga PM Cameron mengundurkan diri Oktober nanti.

Hal ini karena Cameron menolak untuk melakukan langkah formal yang diperlukan untuk pergi dari EU, seperti yang tertera dalam pasal 50 dari Perjanjian Lisbon, dan menyerahkannya kepada penerusnya untuk secara resmi melakukan prosedur yang tertera dalam pasal tersebut. Sebuah langkah politik yang diambil oleh sang PM untuk memberi waktu bagi UK menstabilkan kondisinya yang terguncang.

Mandat tersebut kemudian secara tidak langsung jatuh pada Boris Johnson, figur partai Konservatif yang memilih untuk Leave. Ini mengingat popularitasnya yang tinggi untuk menggantikan Cameron sebagai PM dan posisinya yang mendukung UK untuk Leave.

Ternyata, pada Kamis (30/6/2016) waktu setempat, Johnson mengumumkan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri menjadi kandidat PM. Hal itu ia katakan dua jam setelah salah satu pendukung kuatnya, Menteri Kehakiman Michael Gove, mengumumkan intensinya untuk maju menjadi kandidat PM.

"Setelah berkonsultasi dengan rekan-rekan dan mengingat keadaan di Parlemen, saya telah menyimpulkan bahwa saya tidak bisa [menjadi kandidat PM]," kata Johnson dalam konferensi pers di London, Inggris, sesaat sebelum batas waktu untuk pengumuman nominasi berakhir, seperti dikutip dari Bloomberg.

Dengan mundurnya Johnson, ada lima kandidat yang maju, selain Gove, mereka adalah Theresa May, Andrew Leadsom, Stephen Crabb, Liam Fox. Dan di antara kelimanya, May – yang merupakan Menteri Dalam Negeri – menjadi favorit utama, menyusul Gove dibelakangnya.

May sendiri bersikap tegas terhadap Brexit, meskipun ia adalah pendukung Remain. Ia mengatakan akan tetap pada jalur yang sudah ditetapkan masyarakat UK, yaitu jalur Brexit. Demikian pula dengan Gove.

"Brexit berarti Brexit," katanya kepada wartawan. "Kampanye ini telah diperjuangkan, pemungutan suara telah digelar, jumlah pemilih tinggi, dan masyarakat memberikan putusan mereka. Jangan sampai ada upaya untuk tetap di dalam Uni Eropa. Tidak ada upaya untuk bergabung kembali melalui pintu belakang dan tidak ada referendum kedua."

Dari pihak Uni Eropa, Kanselir Jerman Angela Merkel juga sudah mendesak UK untuk segera mengambil tindakan, dan menegaskan bahwa kemungkinan untuk UK kembali ke EU sudah tipis.

"Saya ingin mengatakan dengan sangat jelas malam ini bahwa saya tidak melihat adanya cara untuk membalikkan situasi ini. [...] Kita semua perlu melihat realitas situasi. Ini bukan waktunya untuk berangan-angan," komentarnya mengenai kemungkinan UK untuk berbalik arah.

Keputusan UK untuk bertahan atau lepas dari EU masih berada di tangan pengganti PM Cameron dan tentu saja para anggota parlemen, bukan di tangan EU. Mengingat situasi politik yang masih sangat labil di UK, segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam beberapa bulan ke depan.

Baca juga artikel terkait BREXIT atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti