tirto.id - Masyarakat sudah mengenalnya dengan nama Kedaulatan Rakyat (KR). Ia terbit 40 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu surat kabar tertua yang masih beredar hingga hari ini. Tapi, pada 1966, koran ini muncul dengan nama baru yakni Dwikora.
Kala itu, tak lama setelah tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965, Departemen Penerangan memberlakukan regulasi baru yang mengatur bahwa setiap surat kabar atau penerbitan harus dinaungi suatu badan dari pemerintah atau partai politik.
Demi menyelamatkan eksistensinya, KR berganti nama menjadi Dwikora yang dianggap lebih umum dan “aman”. Dwikora kemudian dipayungi langsung oleh Departemen Penerangan sehingga bisa tetap melenggang di saat banyak koran lain yang terkena pemberangusan pada masa ontran-ontran itu.
Nama Dwikora ternyata hanya dipakai selama 59 edisi. Setelah itu, pemerintah mengizinkan harian yang berpusat di Yogyakarta ini kembali memakai nama 'Kedaulatan Rakyat'. Pada waktu itu, KR menjadi salah satu surat kabar yang kerap dinanti pemberitaannya.
KR pernah melakukan cetak kilat pada sore hari dalam bulan Mei hingga Desember 1966 untuk memenuhi rasa penasaran publik mengenai berita tentang Mahkamah Militer Luar Biasa dan penangkapan orang-orang yang dituding terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sepanjang era Orde Baru, KR tetap meluncur mulus tanpa halangan berarti. Harian ini bahkan semakin besar hingga memantapkan diri sebagai koran paling mapan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya bahkan sampai detik ini.
Media Propaganda Jepang
Kedaulatan Rakyat (KR) pertama kali terbit pada 27 September 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu, di Yogyakarta dan merupakan salah satu surat kabar perdana yang hadir setelah Indonesia merdeka. Namun, embrio koran ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Jepang yang menduduki Indonesia sedari 1942.
Kala itu, seperti yang tertulis dalam Seri Peninggalan Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (1990) yang disusun Suhatno dan kawan-kawan, untuk melayani keperluan pemberitaan di Jawa Tengah bagian Selatan, di Yogyakarta diterbitkan surat kabar bernama Sinar Matahari.
Sinar Matahari pada zaman Jepang merupakan salah satu media propaganda. Diterbitkan atas prakarsa Sendenbu atau Barisan Propagandis Jepang, surat kabar ini bertugas menyebarluaskan program-program politik pemerintahan Dai Nippon dan merekrut para pegawai dari orang-orang Indonesia.
Namun, sebut Mahtisa Iswari dalam tulisan bertajuk “Kedaulatan Rakyat: Saksi Jatuh Bangunnya Pemerintahan Indonesia” yang terhimpun dalam Seabad Pers Kebangsaan (2007), Sinar Matahari justru mewartakan berita-berita yang menguntungkan bangsa Indonesia, terutama setelah Jepang mengalami kekalahan beruntun dalam Perang Pasifik.
Orang-orang Indonesia yang menjadi jurnalis atau pegawai koran Sinar Matahari kala itu antara lain: Soemantoro, Bramono, Moeljono, dan Samawi. Mereka inilah yang menjadikan surat kabar yang seharusnya menyiarkan propaganda Jepang justru sebagai media informasi bagi rakyat Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Akibatnya, pemerintah Jepang mengancam akan menutup koran tersebut. Namun, sebelum itu terjadi, para anggota redaksi Sinar Matahari justru memilih menghentikan penerbitan untuk sementara.
Tak lama berselang, Jepang benar-benar kalah perang disusul Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Lahirnya Koran Perjuangan
Empat puluh hari setelah proklamasi, tepatnya tanggal 27 September 1945, Sinar Matahari yang sempat mati suri dihidupkan kembali. Namun, nama yang dipakai bukan lagi 'Sinar Matahari' karena nama itu identik dengan simbol Dai Nippon.
Dikutip dari Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (2004) karya Ibnu Hamad, atas saran Soedarisman Poerwokoesoemo, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNI) Yogyakarta waktu itu, surat kabar jelmaan Sinar Matahari tersebut diberi nama Kedaulatan Rakyat (KR). Nama ini diambil dari nukilan Pembukaan UUD 1945.
Para jurnalis Indonesia yang dulu bekerja di koran Sinar Matahari kini mengawaki keredaksian Kedaulatan Rakyat. Ada Soemantoro sebagai pemimpin redaksi, Bramono selaku pemimpin umum, serta Samawi menempati posisi wakil pemimpin redaksi.
Di awal kemerdekaan itu, sajian KR benar-benar memantik semangat patriotisme. Di edisi perdananya, muncul berita utama bertajuk “Kekoeasaan Pemerintah Daerah Djogdjakarta” dengan subjudul “Seloeroehnja di Tangan Bangsa Indonesia.”
Berita lainnya dalam edisi pertama surat kabar KR yang dicetak sebanyak 1.000 eksemplar serta diedarkan ke seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya itu mengangkat judul “Indonesia Merdeka Adalah Tjiptaan Indonesia Sendiri.”
Di hari kedua, oplah Kedaulatan Rakyat langsung meningkat menjadi 3.000 eksemplar dan bertambah 1.000 eksemplar lagi pada hari ketiga. KR pun menjadi koran perjuangan dalam masa mempertahankan kemerdekaan itu.
Namun, kiprah KR mulai mengendur pada 1947. Soemantoro sang pemimpin redaksi didakwa terlibat peristiwa 3 Juli 1947 bersama tokoh-tokoh progresif macam Tan Malaka, Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Chaerul Saleh, Sayuti Melik, Soedarsono, Mohammad Yamin, dan lainnya.
Sepeninggal Soemantoro, kondisi internal KR diperparah dengan hengkangnya sejumlah tokoh utama, termasuk Bramono yang mundur lalu menerbitkan koran baru bernama Soerjo Tjondro. Begitu pula dengan redaktur Soeprijo Djojosoepadmo yang pindah ke surat kabar lain.
Kedaulatan Rakyat, koran perjuangan yang pertama-tama hadir di alam kemerdekaan itu, kini terengah-engah, sekarat, dan terancam tamat lebih cepat.
Eksistensi Melintas Generasi
Samawi yang masih bertahan di Kedaulatan Rakyat tidak ingin koran yang susah payah dicetuskannya itu mati begitu saja. Namun, ia merasa sulit jika harus mempertahankan KR sendirian setelah ditinggal sejumlah tokoh sentralnya.
Berpikir keras, Samawi teringat kepada seorang koleganya, jurnalis senior bernama Madikin Wonohito, yang dulu pernah membantunya saat menghidupkan Sinar Matahari menjadi KR.
Madikin, kelahiran tahun 1912 dan lulusan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat) di Batavia, sejatinya adalah seorang wartawan lapangan alias reporter sejak era pendudukan Jepang. Ia kerap berkeliling ke berbagai daerah untuk meliput dan melaporkan berbagai kejadian penting.
Dikutip dari Apa dan Siapa Orang Indonesia (1984), Madikin pernah mengelola majalah PETA dan Pradjoerit pada masa pendudukan Jepang, ia juga sempat memimpin suplemen bertajuk "Minggoe Pagi" yang dinaungi harian Gelora Rakjat.
Madikin menerima ajakan Samawi untuk ikut menegakkan Kedaulatan Rakyat. KR pun berhasil bangkit dari keterpurukan. Koran ini bahkan semakin kuat berkat dukungan moral dan materi dari salah satu pemimpin kultural di Yogyakarta yaitu Pakualam IX.
Terungkap dalam buku Profil Pers Indonesia (1998), penguasa Kadipaten Pakulaman, salah satu kerajaan turunan Dinasti Mataram, itu memerintahkan agar KR dibawa ke pasar-pasar dan tempat-tempat publik lainnya agar semakin dikenal masyarakat.
Hasilnya, KR kian mantap menempatkan diri sebagai salah satu media paling berpengaruh di Yogyakarta.
Kecerdikan melewati masa-masa krisis akibat G30S 1965, meskipun sempat berganti nama menjadi Dwikora, membuat perjalanan KR melaju mulus selama Orde Baru pimpinan Soeharto, yang dikenal represif terhadap media massa.
Kedaulatan Rakyat—yang kepemimpinannya dilanjutkan keturunan Samawi dan Madikin—terus eksis. Berulang kali muncul media pesaing, tetap saja gagal meruntuhkan dominasi KR di Yogyakarta. KR terlalu sukar digoyang lantaran punya akar sejarah kuat dan memiliki banyak pelanggan kultural yang setia.
KR kini tak sendiri. Di bawah PT Badan Penerbitan (BP) Kedaulatan Rakyat Group, lahir sejumlah produk media lainnya yang satu payung dengan KR, seperti koran Merapi, Minggu Pagi,Swara Kampus, KR Radio, KRjogja.com, dan seterusnya.
Bagi orang asli dan mereka yang masih bermukim di Yogyakarta, barangkali hari-hari terasa belum lengkap jika tidak membaca Kedaulatan Rakyat.
Editor: Ivan Aulia Ahsan