tirto.id - Dunia mengenal Charles Ponzi sebagai penipu kelas wahid. Pada 1920, Ponzi, imigran asal Italia, memulai bisnis pembelian international reply cupon (IRC) dI Eropa. Ia menyadari ada selisih harga. Jadi ia mengajak investor untuk menanam modal guna membeli IRC di Eropa, untuk kemudian ditukar dengan perangko di Amerika Serikat yang harga jualnya lebih mahal.
Selisih harga itu menggiurkan. Apalagi Ponzi menjanjikan laba 40 persen dalam 45 hari, dan laba 100 persen dalam waktu 90 hari. Meski semula kesulitan mencari investor, banyak orang berduit kemudian datang karena tergiur laba besar.
Waktu berjalan. Ponzi sadar skema yang ia jalankan menemui jalan buntu. Ia tak tahu bagaimana cara menjual IRC supaya jadi uang tunai. Begitu pula perkara jumlah kupon yang harus disediakan. Untuk investasi sebesar 1.700 dolar, harus ada 53 ribu lembar kupon IRC yang disediakan Ponzi. Itu pun masih harus dijual supaya bisa berbentuk uang tunai.
Tapi, investasi baru terus berdatangan. Dari dana baru itulah Ponzi membayar laba yang dijanjikan pada investor lama. Investor lama senang karena Ponzi menepati janji dan kembali menanamkan modal lebih besar. Begitu seterusnya. Gali lubang tutup lubang. Hingga publik sadar ada yang janggal.
Orang yang berkecimpung di dunia ekonomi tahu: mustahil mendapatkan laba amat besar dalam waktu amat singkat. Harian The Boston Post mulai mengusut kejanggalan ini. Dengan bantuan Clarence Barron, jurnalis ekonomi yang mengepalai perusahaan informasi keuangan Dow Jones & Company, mereka membongkar skema Ponzi.
Kepanikan mulai merebak. Namun tepat di sana, seorang pendusta yang baik tak akan kehilangan ketenangannya. Ponzi terus berusaha meyakinkan para investor. Ia mengeluarkan uang simpanan untuk membayar para investor yang panik. Ponzi juga menyewa ahli publikasi dan pencitraan agar namanya tetap wangi. Tapi apa boleh buat, kasusnya sudah semakin besar dan mendapat lampu sorot amat terang.
Investigasi terus dilakukan. Pemeriksaan keuangan dijalankan. Hasilnya, keuangan perusahaan berada dalam kondisi merah, utang menumpuk. Sebagian besar uang dipakai untuk gaya hidup mewah Ponzi. Ia membeli mobil mahal, vila, dan membayari ibunya berlibur ke Amerika Serikat.
Para investor yang datang belakangan hanya bisa gigit jari. Dalam artikel "The Greatest Financial Scandals: Charles Ponzi" yang dimuat di Business Week, disebutkan kerugian yang disebabkan oleh Ponzi mencapai 20 juta dolar, atau sekitar 225 juta dolar di masa sekarang.
Ini adalah salah satu penipuan terbesar dalam sejarah. Skema gali lubang tutup lubang ini kemudian diberi nama Skema Ponzi. Hingga sekarang, penipuan dengan skema ini masih sering dipakai.
Pada 2008, Bernard Madoff menggunakan skema yang mirip: membuat para investor kehilangan uang 18 miliar dolar. Dua tahun kemudian, giliran seorang motivator asal Melbourne bernama Christopher Koch memakai skema serupa dan menjaring uang senilai 1,7 juta dolar.
Di Indonesia, banyak bisnis multi jenjang yang memakai skema ala Ponzi. Begitu pula kasus First Travel yang bikin gonjang-ganjing Indonesia beberapa waktu belakangan. Banyak korban yang terus berjatuhan menjadikan hal ini bukan perkara keteledoran semata, melainkan bukti bahwa pembohong yang meyakinkan bisa membuatmu menyerahkan hampir semua yang kau punya.
Baca juga:
- Akal-Akalan Madoff Memikat Investor Kakap dengan Skema Ponzi
- "Waspada, Banyak Travel Umrah dengan Skema MLM dan Ponzi"
- Cara First Travel Menipu Jemaah Umrah
Kenapa Kita Bisa Terkecoh Para Penipu
Jika melongok korban Skema Ponzi, kebanyakan korban bukanlah orang yang kekurangan informasi atau berpendidikan rendah. Melainkan mereka yang berdompet tebal dengan pendidikan tinggi. Dari sana muncul pertanyaan: Bagaimana mereka bisa tertipu?
Dalam wawancara bersama Science of Us, penulis Maria Konnikova menjelaskan tak sembarang orang bisa menjadi penipu. Semua orang bisa berbohong, tapi tak semua bisa menipu.
"Seorang bisa menipu kalau ia meyakinkan, sehingga orang tak sadar kalau mereka ditipu. Mereka harus berpikir kamu adalah orang jujur. Kalau tak begitu, orang hanya akan menganggapmu pembohong rendahan," ujar penulis buku The Confidence Game: Why We Fall for It … Every Time (2016).
Konnikova menyebut ada tiga hal yang menjadi bahan bakar orang untuk menipu: psikopatik, narsisme, dan Machiavellianisme —merujuk pada pemikir asal Italia, Niccolo Machiavelli.
Untuk menipu orang, ujar Konnikova, seseorang harus tega terlebih dulu. Manusia normal selalu punya perasaan bersalah usai melakukan kebohongan. Namun, psikopat tak punya kesadaran itu. Karenanya ia bisa lebih tega dalam menipu orang.
Narsisme adalah apa yang diperagakan oleh Frank Abagnale Jr. Ia percaya diri, menjurus narsis, bahwa ia lebih lihai ketimbang orang lain. Termasuk para polisi yang memburunya. Dan perasaan narsis itu akan membuatmu merasa benar dan layak melakukan penipuan.
Baca juga: Kisah-Kisah Kriminal yang Mengundang Tawa
Sedangkan Machiavellianisme adalah bentuk paling purna dari seorang penipu. Orang yang berada pada titik ini adalah orang yang bisa "merayu, melakukan muslihat, dan meyakinkan orang lain. Tujuannya tentu mendapatkan apa yang mereka mau," ujar Konnikova.
Tentu tak semua orang menjadi seperti yang diungkap oleh Konnikova. Tak banyak orang yang berhasil menjadi penipu meyakinkan. Tapi satu yang pasti: kita semua pernah berbohong.
Bella DePaulo, psikolog sosial di Universitas California, pernah melakukan penelitian sekitar dua dekade lalu. DePaulo dan para koleganya meminta 147 orang dewasa mencatat setiap kali mereka berbohong. Hasilnya, seperti dikutip oleh National Geographic, para subjek ini rata-rata berbohong satu hingga dua kali dalam sehari.
Kebohongan ini juga punya skala. Dari yang kecil seperti berbohong soal buang sampah, hingga serius seperti menyembunyikan perselingkuhan dari pasangan atau klaim palsu saat pendaftaran kuliah.
Tak semua motif kebohongan atau penipuan berlandaskan uang. Bisa jadi untuk membangun reputasi. Universitas Maryland pernah mengadakan survei tentang pengalaman kuliah para mahasiswa. Jawaban itu kemudian dicocokkan dengan catatan kuliah mereka. Hasilnya cukup bikin garuk kepala.
Hanya 2 persen yang mengaku lulus dengan IPK lebih rendah dari 2,5. Padahal, kenyataannya, ada 11 persen responden yang lulus dengan IPK di bawah 2,5. Hasil lain: ada 44 persen yang mengaku pernah menyumbang untuk kampus, padahal hanya 28 persen yang menyumbang. Ini membuktikan kebohongan dilakukan untuk membuat mereka merasa lebih baik, atau terlihat lebih baik.
National Geographic baru-baru ini membuat laporan menarik tentang kebohongan. Salah satu bagian dari laporan ini adalah grafik berisi alasan-alasan orang berbohong. Alasan terbesar, yakni 22 persen, adalah untuk menutupi kesalahan. Perenang Olimpiade asal Amerika Serikat, Ryan Lochte, pernah melakukannya tahun lalu. Ia mengaku dirampok. Padahal, ia dan kawan-kawannya mabuk dan ditangkap oleh petugas keamanan.
Alasan lain perkara keuntungan finansial. Dalam skala tertentu, kebohongan berlandaskan motivasi ekonomi bisa menjelma jadi kejahatan tak terperi. Mereka hidup mewah selagi para korban merana. Ponzi, Madoff, pasangan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan dari First Travel, adalah penipu seperti itu.
Sebagian orang melakukan penipuan karena ingin membuat orang terkesan. Masih ingat kasus Arya Pradana, anak muda Indonesia yang mengaku sebagai dokter di Real Madrid?
Kisahnya dimuat di banyak media besar Indonesia. Tapi ternyata klaimnya adalah kebohongan, dan terbongkar saat seorang anggota forum terkenal di Indonesia melakukan penelusuran. Beberapa orang juga rela membayar demi mendapat penghargaan dari lembaga abal-abal, tak lain karena ingin membuat dirinya seolah-olah penting dan diakui.
Dunia media sosial memberikan babak baru perkara kebohongan dan penipuan. Di satu sisi, media sosial menjadi pabrik kebohongan alias hoaks yang disebar macam propaganda. Lincah. Gesit. Bikin bergidik. Namun, di sisi lain, media sosial bisa membuat kebohongan dan penipuan terbongkar dengan cepat.
Percayalah, ada banyak orang yang dengan senang hati meluangkan waktu untuk membongkar berbagai macam kebohongan itu.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam