Menuju konten utama
Kasus Korupsi Kepala Daerah

Kasus Korupsi Suami-Istri & Bahaya Mengentalnya Dinasti Politik

Kurnia berpendapat dinasti politik harus dihindari dalam iklim demokrasi dan antikorupsi.

Kasus Korupsi Suami-Istri & Bahaya Mengentalnya Dinasti Politik
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) diampingi Direktur Penyidikan Asep Guntur Rahayu (kiri) dan Juru Bicara Ali Fikri (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait penetapan tersangka yakni Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR Fraksi NasDem Ary Egahni di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/3/2023). KPK menetapkan pasangan suami istri tersebut sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dengan jumlah uang yang diterima tersangka sebesar Rp8,7 miliar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

tirto.id - Kasus korupsi yang menyeret Bupati Kapuas, Ben Brahim S Bahat dan istrinya yang juga anggota DPR RI, Ary Egahni menambah daftar panjang kasus rasuah kepala daerah yang melibatkan dinasti politik, khususnya pasangan suami istri. Motifnya hampir sama: suap dan jual beli jabatan.

KPK pada Agustus 2021 juga menangkap pasangan suami istri Hasan Aminuddin dan istrinya Puput Tanriana Sari. Keduanya adalah pejabat publik yang terlibat kasus suap jabatan kepala desa. Saat itu Hasan Aminuddin merupakan anggota DPR RI –pernah jadi bupati Probolonggo dua periode--, sementara istrinya menjabat sebagai Bupati Probolinggo.

Jika ditarik ke belakang, maka daftarnya akan semakin panjang. Berdasarkan catatan Tirto, kasus korupsi kepala daerah yang menyeret pasangan suami-istri ini rata-rata adalah suap. Misalnya, Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu) dan istrinya, Lili Martiani Maddari yang ditangkap KPK pada Juni 2017.

Kasus lainnya antara lain: Mantan Wali Kota Cimahi, Atty Suharty dan suaminya, Itoc Tochija; eks Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti (divonis Maret 2016); mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh (divonis 9 Maret 2015); mantan Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzanna Budi Antoni (divonis Januari 2016); dan mantan Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah (kasasinya ditolak MA pada Januari 2016).

BUPATI KAPUAS DITAHAN KPK

Para tersangka selaku Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah Ben Brahim S Bahat (tengah) dan istri yang juga anggota DPR Fraksi NasDem Ary Egahni (kedua kanan) berjalan menuju ruangan konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/3/2023). KPK menetapkan pasangan suami istri tersebut sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dengan jumlah uang yang diterima tersangka sebesar Rp8,7 miliar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Praktik Korupsi Politik Masif

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, kasus terbaru yang menyeret Bupati Kapuas dan istrinya, menandakan praktik korupsi politik masih berlangsung. Dalam kasus ini, tidak hanya dilakukan aktor politik, tapi hasil korupsinya malah digunakan untuk kepentingan politik pribadi.

“Dana korupsi keduanya diduga untuk mendanai kegiatan politik, seperti kontestasi pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif serta pembiayaan lembaga survei,” kata Kurnia kepada reporter Tirto, Rabu (29/3/2023).

Kurnia mengatakan, maraknya korupsi politik ini juga sejalan dengan data KPK. Sejak 2004 hingga 2022, dari total 1.519 tersangka, 521 di antaranya memiliki irisan dengan politik, mulai dari anggota legislatif (DPR RI dan DPRD) serta kepala daerah (gubernur, wali kota, maupun bupati).

Berkaca dari data tersebut, kata Kurnia, ICW mendorong penegak hukum intens untuk memeriksa transaksi mencurigakan, apalagi jelang pemilihan umum.

“Dalam konteks mendekati tahun pemilu, ICW mendesak aparat penegak hukum dapat berkoordinasi secara intens dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan untuk mendeteksi adanya transaksi mencurigakan dari aktor politik daerah,” kata Kurnia.

Kurnia juga mendesak agar kasus Ben dan Ary dikembangkan dalam dugaan tindak pidana pencucian uang. Sejalan dengan hal tersebut, KPK dapat membandingkan harta kekayaan keduanya yang dilaporkan ke KPK melalui instrumen LHKPN dengan kondisi terkini. Jika ditemukan ada harta kekayaan yang diduga keras milik mereka namun tidak dilaporkan, maka patut diduga telah terjadinya tindak pidana pencucian uang.

ICW juga mengingatkan kepada KPK agar serius dalam membongkar kejahatan korupsi politik. Sebab, kata Kurnia, selama ini terutama saat era kepemimpinan Firli Bahuri, lembaga antirasuah itu terbilang melempem bila menangani perkara yang ada irisannya dengan wilayah politik.

Menguatnya Dinasti Politik

Sementara terkait keberadaan dinasti politik, kata dia, penetapan tersangka oleh KPK ini mesti dijadikan momentum untuk mengkritisi kembali putusan MK pada 2015. Ia mengingatkan bahwa MK seolah menutup mata dengan kondisi faktual politik Indonesia dengan mengedepankan dalih diskriminasi.

Kurnia berpendapat, dinasti politik harus dihindari dalam iklim demokrasi dan antikorupsi. Ia beralasan, selain menutup peluang terpilihnya figur lain karena adanya dugaan konflik kepentingan, sumber pembiayaan politik kerabat keluarganya yang ingin maju dalam kontestasi politik kerap kali memanfaatkan dana dari rekan keluarga yang masih menjabat.

“Bagi ICW, dinasti politik akan sangat sulit dihilangkan. Sebab selain karena MK membenarkannya, figur tertinggi di republik ini, yaitu Presiden Joko Widodo, juga tidak menganggap hal itu sebagai praktik yang mestinya ia hindari,” kata Kurnia.

Kurnia mengakui bahwa fenomena pasutri duduk di dua posisi, yakni eksekutif dan legislatif atau sebaliknya, tidak lepas dari putusan MK tentang konflik kepentingan. Hal itu akhirnya memunculkan momen di mana suami di eksekutif dan istri di legislatif atau sebaliknya.

“Kalau dalam konteks Kapuas, kita melihat lebih lanjut dan itu sebenarnya sudah analisa sejak lama bahwa ketika ada anggota keluarga sama-sama menjabat di jabatan publik, maka ada subsidi yang melanggar hukum karena bagaimanapun anggota keluarga akan membantu anggota keluarga lainnya dengan memanfaatkan jabatan publik untuk mendanai kontestasi elektoral anggota keluarganya yang lain,” kata Kurnia.

Kurnia juga menilai, hal ini sudah mulai menjadi pola laten sebagai sebuah dinasti politik dan menjadi pola baru dalam upaya melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Ia beralasan, keluarga pasti akan berupaya melanggengkan kekuasaan dan saling membantu untuk tetap berkuasa, bahkan tidak menutup kemungkinan melakukan pelanggaran hukum.

“Kalau tidak ada pembatasan yang jelas dalam regulasi yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah, maka fenomena ini akan terus menerus berulang dan sebenarnya kalau kita lihat, kan, banyak yang terjadi seperti ini, namun belum tersangkut kasus hukum," tutur Kurnia.

Analis politik dari Indostrategi, Arif Nurul Imam menilai, fenomena pasangan suami istri aktif di legislatif dan eksekutif secara bersamaan tidak lepas dari semangat politik dinasti. Ia sebut, persoalan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti Filipina, Singapura hingga Amerika.

“Tetapi, masalahnya politik dinasti di Amerika misalnya tetap berbasis meritokrasi, sementara di Indonesia dinasti politik mengabaikan faktor meritokrasi,” kata Imam kepada reporter Tirto.

Imam menilai, dinasti politik memang membawa dampak buruk karena kekuasaan dipegang oleh kelompok tertentu, baik penguasaan legislatif maupun eksekutif. Hal itu akan membuat kinerja lembaga legislatif dan eksekutif tidak berjalan optimal dalam pemerintahan.

Ia mengatakan, fenomena dinasti politik muncul karena tidak ada pembatasan regulasi. Jika ada pembatasan, maka akan muncul asumsi mencabut hak politik seseorang padahal setiap orang memiliki hak politik memilih dan dipilih.

Situasi itu semakin buruk ketika pasangan suami-istri yang memiliki mental korup ingin menguasai daerah dengan menguasai legislatif maupun eksekutif dan berusaha mempertahankan kekuasaan secara turun-temurun. Akhirnya, sistem yang buruk ditambah mental korup memunculkan dinasti politik yang laten.

Baca juga artikel terkait DINASTI POLITIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz