Menuju konten utama

Kasus Beras Maknyuss Membikin Pedagang Khawatir

Beberapa peritel sementara menarik beras cap Maknyuss dan Ayam Jago.

Kasus Beras Maknyuss Membikin Pedagang Khawatir
Pedagang melayani konsumen pembeli beras di salah satu agen penjual beras yang masih menjual beras merk Maknyuss yang diduga palsu karena kandungan karbohidratnya, di kawasan Aren Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (25/7). ANTARA FOTO/Risky Andrianto

tirto.id - Kasus beras yang menimpa PT Indo Beras Utama (IBU) kembali membuka kasus lama soal polemik perdagangan beras, termasuk isu beras oplosan yang mengulang dan menahun. Di sisi lain aturan soal harga beras untuk stabilisasi harga di era Presiden Jokowi justru memicu masalah baru di lapangan termasuk bagi para peritel hingga iklim investasi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai pihak yang ikut penggerebekan Tim Satgas Pangan Polri, terhadap PT IBU pekan lalu, nyatanya masih meraba-raba menyoal industri perberasan di Indonesia yang dapat stereotipe penuh dengan mafia. Sebagai wasit persaingan usaha, KPPU berkehendak industri perberasan bisa efisien dan jauh dari persaingan usaha tak sehat yang merugikan konsumen dan petani. Bagaimana caranya?

Menjawab “kebingungan”, KPPU menggelar Focus Group Discussion (FGD) tertutup, Selasa (25/7) di kantor KPPU Jalan Juanda yang dihadiri banyak dunia usaha perberasan dan perwakilan pemerintah dan kepolisian. Persoalan mengerucut pada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diatur oleh Permendag No 47 tahun 2017, yang dianggap tidak sesuai dengan realita di lapangan.

Harga beras medium maupun premium HET-nya dipatok Rp9000/kg. Padahal, aturan Permendag ini pula yang menjadi dasar satgas pangan melakukan penggerebekan di gudang PT IBU pekan lalu. PT IBU dianggap menjual beras jauh di atas HET—ditambah tudingan memakai beras subsidi.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf menanyakan kemungkinan bila harga beras dari petani Rp7.300/kg dan konsumen membeli dengan harga Rp9000, dengan asumsi ada pemangkasan rantai perdagangan dari mulai penggiling, pedagang, pengecer. Ia berasumsi dengan selisih sekitar Rp1000/kg bagi perantara, pengusaha beras sudah bisa menikmati keuntungan Rp46 triliun dari total produksi beras di Indonesia per tahun.

“Bagaimana dengan ide ini?” tanya Syarkawi.

Namun, gagasan ini nampaknya sulit direalisasikan. Perwakilan Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) yang hadir memberi gambaran seperti bumi dan langit dengan yang dikehendaki oleh KPPU.

Pemerintah memang mengatur harga gabah di petani Rp3700/kg khususnya bagi penyerapan Bulog. Namun bagi pelaku swasta, harga gabah kering panen (GKP) dan ongkos angkutnya saat ini kenyataannya sudah mencapai Rp4700/kg. Saat digiling akan terjadi pengurangan bobot, dengan asumsi rendemen 50 persen atau bobot yang terpakai hanya separuh saja, maka harga beras di penggilingan sudah mencapai Rp9400/kg—melampaui harapan KPPU atau HET yang sudah ditetapkan.

“Kalau kita penggilingan tergantung bagaimana harga di tingkat petani, kalau rendah, ya kita turun juga,” kata Abdul WarisPattiwiri, perwakilan dari Perpadi yang juga mantan petinggi Bulog ini.

Harga itu akan semakin membengkak bagi perusahaan beras kemasan. Biaya iklan, biaya tenaga kerja, biaya distribusi membuat harga beras kemasan makin tinggi. Selama ini, harga beras khususnya kemasan memang tak bisa disamakan dengan beras curah. Beras kemasan umumnya sudah punya parameter SNI yang harus dipenuhi. Harga beras kemasan yang tinggi juga diklaim disebabkan investasi mesin yang bisa mencapai puluhan miliar mulai dari mesin penggilingan hingga pemolesan. Artinya, HET yang ditetapkan oleh pemerintah sudah pasti akan sulit dipenuhi oleh para produsen beras kemasan.

“Harga Rp9.000 itu dari mana ya dasarnya?” tanya Direktur Utama PT. Food Station Tjipinang Jaya, Arief Prasetyo Adi, sebagai pengelola Pasar Induk Beras Cipinang.

Pertanyaan ini pun sulit dijawab oleh KPPU, sehingga rencananya KPPU akan berkoordinasi kembali dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. KPPU juga akan menggelar FGD susulan pada Kamis (27/7), pukul 10.00 untuk mencari formulasi harga beras yang pas khususnya beras medium yang sudah diatur dalam SNI.

Setelah kasus penggerebekan gudang beras PT IBU, secara langsung dunia usaha khususnya peritel kena dampaknya. Adanya beberapa kasus razia di daerah diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey.

“Di tingkat daerah pelaksana tugas, kelas satpol pp sudah melakukan razia. Kami mau sampaikan ini sangat mengganggu di perdagangan,” kata Mandey.

Peritel saat ini sedang gamang setelah kasus beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago. Saat ini ada beberapa peritel yang berinisiatif menarik sementara kedua beras tersebut. Namun di sisi lain, bila ada penarikan maka akan memengaruhi stok beras kemasan yang ada di toko atau pasar.

“Ini yang kita minta dari kemendag kejelasan soal produk tersebut, apakah kita menjual produk tersebut atau menunggu sampai habis,” tanya Mandey.

Ketua Komite Tetap Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Thomas Darmawan, berharap persoalan kasus beras ini harus segera diselesaikan. Dalam kasus PT IBU, yang induk usahanya PT Tiga Pilar Sejahtera sudah terpukul harga sahamnya setelah kasus ini bergulir. Belum lagi aspek peluang investasi di industri perberasan yang bisa kena dampak.

“Jangan sampai toko-toko pada takut, sehingga konsumen jadi problem, harga saham jadi anjlok, semua (investor) tanya kepada saya, ini kenapa?" ucap Thomas.

Kekhawatiran lain dari kasus ini, bila terus berkembang bahkan sampai terjadi razia di lapangan, akan memengaruhi perdagangan. Dalam beberapa kasus oleh perusahaan tertentu pengiriman berasnya sempat terhambat karena ada kekhawatiran.

Di Jakarta yang bukan lumbung padi, kasus ini bisa berisiko mengganggu distribusi pasokan beras ke Pasar Beras Cipinang, Jakarta Timur, yang menjadi penyuplai beras utama di Jakarta dan sekitarnya. Direktur Utama PT. Food Station Tjipinang Jaya, Arief Prasetyo Adi, menegaskan memang sejauh ini stok beras di pasar Cipinang masih aman di kisaran angka 43 ribu ton.

“Kalau ini berlarut bisa berbahaya,” kata Arief.

Baca juga artikel terkait BERAS OPLOSAN atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani