tirto.id - Wiwin, 49 tahun, biasa membeli beras Rojo Lele untuk kebutuhan sehari-hari. Ia termasuk konsumen beras Rojo Lele garis keras. Baginya varietas beras ini punya kualitas putih, pulen, dan tak tergantikan dengan beras lain.
“Saya mending mahal sekalian berasnya, tapi enak. Kalau beras enak, lauk apapun juga jadi enak,” katanya kepada Tirto.
Namun, beberapa hari ini hatinya jadi galau semenjak ramai berita penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Unggul di Bekasi. Meski bukan merek beras yang ia beli, tapi sebagai ibu-ibu, Wiwin khawatir bahwa beras yang dibelinya bukan kualitas sesungguhnya. Wiwin tak paham soal ini, dan barangkali banyak ibu-ibu sepertinya yang juga merasakan hal sama.
Baca juga: Mensos Pastikan Beras Oplosan di Bekasi bukan Beras Rasta
PT IBU dianggap melakukan praktik pengoplosan beras medium bersubsidi lalu dipoles menjadi beras premium yang harganya jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Namun, persoalannya bukan hanya sampai di situ, banyak informasi yang simpang siur.
Baca juga: Simpang Siur Penggrebekan Gudang Beras Maknyuss
Akong, salah satu pengusaha beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur merespons positif niat pemerintah mengatur tata niaga pangan khususnya di sektor beras. Namun, ada hal yang luput dari persoalan beras khususnya soal ketentuan mengoplos beras. Menurutnya, hampir semua pedagang beras sudah melakukan praktik ini sejak lama dan secara aturan pun tak ada larangan. Secara umum pedagang hanya mengenal dua jenis beras, yaitu komoditas yang curah dan beras kemasan.
“Kita ini bebas dari zaman merdeka ambil beragam varietas beras dicampur dan dijual kemana saja,” katanya kepada Tirto.
Pengertian mengoplos yang selama ini beredar di masyarakat bisa saja salah kaprah dan cenderung dipandang negatif. Pengusaha lazim membeli gabah dari petani dengan varietas yang berbeda-beda, lalu memadukannya antar jenis beras yang dibeli mereka.
“Sudah biasa itulah (mencampur beras) dan tidak merugikan, bahkan rasa nasinya akan lebih enak. Tapi malah bilang ngoplos, kita jadi sulit,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Akong, Anton pengusaha beras lainnya juga secara spesifik menjelaskan mekanisme pemilihan beras yang dilakukan di tingkat petani. Ia membeli harga lebih tinggi untuk gabah yang dihasilkan petani di daerah pegunungan, seperti Bandung dan Cianjur. Sebab, kandungan air dan udaranya masih bagus sehingga menghasilkan beras yang juga bagus dibandingkan di dataran rendah.
Untuk menghasilkan satu standar mutu yang konsisten, Anton mencampur beras yang dirasa pulen dengan yang kurang pulen. Biasanya beras yang tampilannya bagus tapi belum tentu enak dikonsumsi. “Nah kita tahu bagaimana komposisi (beras) ini dicampur (beras) ini enak. Namun, mutu beras tetap berdasar Standar Nasional Indonesia (SNI),” jelasnya kepada Tirto.
Peneliti Pangan IPB, Andreas Santoso juga tak menampik persoalan mengoplos beras, termasuk antar varietas, karena sudah jadi praktik yang umum bagi pedagang. “Memang ada yang khusus kumpulkan varietas tertentu. Tapi sebagian besar dicampur karena dia ambil dari petani mana-mana,” jelas Peneliti Pangan IPB, Andreas Santoso kepada Tirto.
Apa yang diceritakan Anton dan Akong ada benang merahnya, yaitu soal kebiasaan umum mengoplos beras oleh pedagang dan keberadaan SNI beras yang memang masih bersifat sukarela alias tak berlaku wajib. Apa kaitan keduanya?
Baca juga: Kesalahan dalam Mengolah Beras
Membedah Kualitas Beras Berdasarkan SNI
Riak dalam perdagangan beras bukan kali ini saja terjadi, sudah berkali-kali menjadi isu yang bergulir liar. Dalam kasus PT Indo Beras Unggul yang baru saja bergulir, multi persoalan menghinggapi mereka mulai dari tudingan menjual beras di atas HET beras, pencampuran atau pengoplosan beras, hingga penggunaan beras subsidi--beras yang benih dan bibitnya disubsidi pemerintah. Juru Bicara PT Ibu, Jo Tjong Seng (Asen) menegaskan proses pencampuran gabah lazim terjadi secara alami di tingkat petani sejak pasca panen. Namun istilah oplos memang cenderung negatif.
“Bisa jadi varietasnya sama tetapi galurnya berbeda. Kita perlu sedikit hati-hati pakai kata oplos,” katanya.
Baca juga: Produsen Bantah Jual Beras Subsidi
Menurutnya, PT IBU telah memproduksi beras kemasan yang telah mengacu parameter fisik beras premium pada SNI. Parameter fisiknya dapat terlihat mulai dari derajat sosoh yang menjelaskan tingkat keputihan dan kebersihan yang diklaim sangat putih dan bersih. Sementara, untuk kadar air, beras produksinya tidak boleh melampaui 14% yang dipantau kualitasnya melalui pengujian laboratorium secara periodik. Artinya kualitas beras dalam konteks kaidah SNI tak berkaitan dengan varietas sebuah beras.
Penkategorian beras dengan istilah premium maupun medium tidak mengacu pada varietas jenis beras tapi lebih pada parameter fisik. Sebab, kualitas beras diukur berdasarkan kualifikasi SNI berdasar antara lain soall derajat sosoh, kadar air, beras kepala, butir patah, butir menir, butir merah, butir kuning, butir kapur, benda asing, dan butir gabah. Pengkategorian medium dan premium mengacu pada SNI beras.
“Bukan berarti jenisnya IR64 lalu dia (otomatis) medium. Tidak, ini informasi menyesatkan di masyarakat,” kata Peneliti Pangan IPB, Andreas Santoso kepada Tirto.
Dalam SNI 2015, klasifikasi beras dibedakan menjadi empat tingkatan mutu, antara lain premium, medium I, medium II, dan medium III. Syarat umum keempat kelas tersebut adalah bebas hama dan penyakit, bebas bau apek, asam dan bau asing lainnya. Lalu bebas dari campuran dedek dan bekatul, serta bebas dari bahan kimia yang membahayakan juga merugikan konsumen.
Baca juga: Tak Ada Beras Premium dan medium
Sementara, terdapat syarat khusus mutu beras pada kualitas premium. Yaitu memiliki derajat sosoh minimum 100 persen, artinya, tingkat terlepasnya lapisan perikarp, testa, dan aleuron dari butir beras sudah 100 persen dan tak memiliki sisa yang belum terlepas. Lalu, spesifikasi kadar air maksimal 14 persen, kadar air ini ditentukan dari jumlah kandungan air di dalam butir beras yang dinyatakan dalam satuan persen dari berat basah. Komponen mutu beras kepala minimal 95 persen, beras kepala adalah butir beras dengan ukuran lebih besar atau sama dengan 0,8 bagian dari butir beras utuh. Terakhir, butir patah, yakni butir beras dengan ukuran lebis besar dari 0,2 sampai dengan lebih kecil 0,8 bagian dari butir beras utuh maksimal 5 persen.
Untuk kualifikasi beras medium I, II, dan III berturut-turut memiliki derajat sosoh minimum 95 persen, 90 persen, dan 80 persen. Lalu kadar air maksimum 14 persen pada medium I dan II, serta 15 persen pada medium III. Beras kepala minimalnya terdapat pada kelas medium secara berturut-turut 78 persen, 73 persen, dan 60 persen.
Selanjutya kelas medium I memiliki butir patah maksimum 20 persen, sedangkan untuk butir patah golongan II maksimal 25 persen, dan butir patah golongan III maksimal 35 persen. Pada komponen mutu butir menir, butir merah, butir kuning, butir kapur, benda asing, dan butir gabah semakin rendah kelas mediumnya, maka semakin tinggi pula angka persennya.
Dalam SNI tak mencantumkan seperti apa definisi “beras oplosan" tentu ini memberi ruang yang samar-samar. Sehingga strategi bisnis mencampur beras untuk mendapatkan kualitas mutu yang konsisten seharusnya bukan suatu masalah. Yang jadi persoalan adalah bila ada sebuah produk beras kemasan yang diklaim berkualitas premium pada labelnya tapi setelah diuji justru tak sesuai SNI, maka jelas melanggar UU perlindungan konsumen--menjual produk tak sesuai dengan yang dicantumkan.
Pemerintah memang ingin membenahi tata niaga beras agar harga beras menggapai titik keseimbangan yang menguntungkan bagi petani, pedagang, dan konsumen. Namun, selagi persoalan aturan soal beras masih samar-samar termasuk soal definisi beras subsidi, kisruh hingga kasus hukum soal beras bakal terus terulang.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra