tirto.id - Kegiatan memasak beras kini sudah semakin mudah dengan hadirnya alat-alat penanak nasi otomatis. Biasanya agar lebih praktis, konsumen memilih beras sosoh karena selain banyak di pasaran, warnanya putih bersih, bulirnya ramping, dan harum.
Selain beras sosoh, ada juga beras giling yang warnanya cenderung semi cokelat, krem, agak butek, dan bulir-bulirnya lebih besar ukurannya dari beras sosoh. Selain itu, ada beras pecah kulit yang berwarna cokelat butek dengan kulit ari yang masih menempel dan bulirnya masih utuh. Perbedaan kondisi dan warna ini karena proses yang berbeda, semakin lama mengalami proses maka warna beras akan semakin putih.
Menurut Prof. Dr. H.MA Rindit Pambayun, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Pusat, para ibu rumah tangga banyak memilih beras sosoh karena awet alias tak mudah basi, tidak seperti nasi yang dihasilkan dari beras pecah kulit. Padahal, di balik fenomena ini ada manfaat yang tersembunyi.
“Segala sesuatu yang mudah basi itu lebih bergizi. Karena mikro organisme butuh zat gizi untuk bisa hidup,” ujarnya dalam diskusi mengenai Teknologi Pengolahan Pangan dan Nutrisi, di Jakarta, Jumat (7/4/2017).
Masalah ini bisa diamati dari tahapan proses penggilingan gabah, kulit atau sekam, hasil pertama yang keluar dari tahapan penggilingan adalah beras pecah kulit. Biasanya beras pecah kulit jarang langsung dikonsumsi. Perlu proses penyosohan untuk menghasilkan beras giling atau beras sosoh. Pada proses penyosohan ini terjadi pengelupasan kulit ari beras, dampaknya beras kehilangan lebih banyak protein, lemak, vitamin, dan mineral. Proses penyosohan yang lama memang menghasilkan beras berwarna putih dan transparan sehingga lebih menarik secara kasat mata.
“Namun, beras sosoh menghilangkan sekitar 80 persen kulit ari, sejumlah itu juga zat gizi dalam beras hilang,” kata Rindit.
Salah Mencuci Beras
Proses pembentukan beras sosoh yang melewati tahapan cukup panjang telah mengurangi kandungan gizi dalam beras. Sayangnya, makin diperparah oleh kebiasaan konsumen dalam mengolah beras sebelum memasaknya. Biasanya, sebelum dimasak, beras terlebih dulu dicuci dengan air, sampai air cuciannya berwarna bening.
Proses pencucian beras yang menghasilkan air tajin bersih malah tambah menggerus zat gizi yang sudah menipis akibat disosoh. Menurut Rindit, pencucian seharusnya hanya menghilangkan kotoran atau debu pada beras artinya tak perlu mencuci beras hingga airnya bening.
“Beras kita semuanya ditelanjangi, dikosek-kosek sampai bersih. Akhirnya kandungan vitamin B1-nya hilang dan kita jadi lebih mudah lemas, lesu, tidak optimal dalam berpikir,” katanya.
Kebiasaan mecuci beras pada umumnya akan menghasilkan air cucian pertama yang berwarna keruh. Warna keruh bekas cucian beras menunjukkan bahwa lapisan terluar dari beras ikut terkikis. Padahal, mencuci beras cukup dilakukan 1-2 kali saja. Dalam air cucian beras yang biasanya masih terkandung beragam Vitamin B1 atau Thiamin. Vitamin B1 ini berguna dalam pertumbuhan dan diperlukan dalam pembakaran karbohidrat untuk mendapat kalori.
Semakin banyak kebutuhan kalori semakin banyak pula kebutuhan akan vitamin B1. Air cucian beras dapat mengandung setidaknya 80 persen kandungan B1, sebanyak 70 persen Vitamin B3, ada 90 persen vitamin B6, mengandung 50 persen Mangan, dan 50 persen zat fosfor. Sayangnya, Thiamin merupakan salah satu vitamin larut air, kehilangan Thiamin selama pengolahan, biasanya terjadi pada saat proses pencucian beras yang banyak digosok dan berulang kali.
“Padahal, jika memakan beras pecah kulit tanpa dicuci habis, zat gizi yang terkandung dalam beras sudah mencukupi kebutuhan gizi dalam tubuh,” katanya.
Kebiasaan sehari-hari sering kali luput dari perhatian untuk hal-hal penting, termasuk saat menentukan jenis beras dan mengolahnya sebelum dimasak. Asupan gizi harian bisa dimulai dari memilih dan mengolah beras yang Anda konsumsi sehari-hari.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra