Menuju konten utama

Produsen Maknyuss Jawab Tudingan Soal Beras Oplosan

TPSF buka-bukaan soal tuduhan yang dialamatkan kepada PT IBU terkait beras dengan merek dagang Maknyuss dan Cap Ayam Jago. Apa saja bantahan mereka?

Produsen Maknyuss Jawab Tudingan Soal Beras Oplosan
Penyegelan pabrik beras PT IBU, Kamis (20/7). FOTO/kementan.

tirto.id - PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF) akhirnya menggelar public expose insidentil, pada Selasa (25/7/2017). Hal ini tidak lepas dari harga saham perusahaan yang terjun bebas usai penggerebekan yang dilakukan Satgas Pangan Polri di gudang anak usaha TPSF, yakni PT Indo Beras Utama (IBU) yang bergerak di bidang industri dan perdagangan beras.

Seperti diketahui, TPSF merupakan perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2003, dan pada awalnya hanya bergerak di bisnis makanan (TPS Food). Perseroan memiliki dua produk utama, yaitu makanan dasar dan beras. Kode sahamnya di bursa adalah AISA.

Untuk makanan dasar mereka punya produk Mie Ayam 2 Telor, Mie Superior, Bihun Superior, Bihun Jagung, Bihunku. Untuk makanan ringan perseroan memproduksi Taro, Bravo, Gulas, Mie Kremez. Di bisnis beras, TPSF memiliki berbagai beras kemasan antara lain Maknyuss, Cap Ayam Jago, Jatisari, Istana Bangkok, Desa Cianjur, Beras Rumah Adat, Rojolele Dumbo.

Kinerja perusahaan ini cukup positif, misalnya, pada triwulan I-2017, TPSF meraup penjualan Rp1,457 triliun. Namun, saham AISA langsung melorot setelah gudangnya digerebek. Pada perdagangan Jumat (21/7/2017), saham AISA ditutup melorot 24,9 persen menjadi Rp1.205. Para investor ramai-ramai melepaskan saham AISA setelah munculnya berita tentang pengoplosan tersebut.

Penurunan saham AISA sempat berlanjut hingga perdagangan Senin (24/7/2017). AISA sempat terpuruk di level Rp905, sebelum akhirnya rebound dan ditutup naik ke Rp1.255. Kenaikan harga saham berlanjut hingga sesi I perdagangan Senin (25/7/2017) sebesar Rp1.325.

Baca juga:

Berkaitan dengan terjadinya penggerebekan yang berdampak pada harga sahamnya, TPSF buka-bukaan soal tuduhan yang dialamatkan kepada PT IBU terkait beras dengan merek dagang Maknyuss dan Cap Ayam Jago. Dalam bahan paparan publik yang diterima Tirto, Selasa (25/7/2017), juru bicara PT IBU, Jo Tjong Seng mengklarifikasi beberapa hal terkait temuan Satgas Pangan Polri tersebut.

Salah satunya, kata Jo Tjong Seng, pihaknya membantah tuduhan menimbun beras sebanyak 1.161 ton di gudang mereka yang berlokasi di Bekasi. Menurutnya, beras tersebut merupakan stok penjualan satu minggu ke depan.

Pihaknya juga menepis anggapan bahwa PT IBU berusaha mematikan pelaku usaha lain dengan membeli gabah pada petani dengan harga yang sangat tinggi, yakni Rp4.900. Menurutnya, petani berhak untuk menjual dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kepada Bulog, atau harga yang lebih tinggi kepada penggilingan manapun.

Menurut Jo Tjong Seng, PT IBU membayar gabah bersih dan bernas dari kelompok tani yang diterima di gudang PT IBU. Harga yang dibayar oleh PT IBU sudah termasuk insentif bagi petani yang memenuhi parameter mutu PT IBU.

Sebelumnya, Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Hendriadi menyebutkan PT IBU membeli gabah dengan harga Rp4.900 per kilogram dari petani, padahal harga yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebesar Rp3.700 per kilogram. Dampaknya para perusahaan beras lain tidak bisa membeli harga tersebut dari petani karena terlalu tinggi.

Di sisi lain, PT IBU juga menjual beras dengan harga kelas premium pada harga Rp13.700 - 20.400 per kilogram di pasar ritel dan umum. Sementara dari segi kualitas, beras yang diklaim sebagai beras premium itu, ternyata rata-rata hanya berjenis IR 64 yang merupakan beras jenis medium yang proses produksinya mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Menanggapi temuan tersebut, Jo Tjong Seng menegaskan bahwa Harga konsumen (HET) ditentukan oleh berbagai faktor dari mata rantai tata niaga beras. PT IBU hanya melakukan bisnis berdasar prinsip B2B (business to business), dan hanya dapat menentukan harga sampai keluar dari Pabrik.

“Industri perlu waktu untuk berdialog mengenai struktur biaya produksi dan tata niaga yang memastikan industri bisa berjalan, dan memenuhi semangat penetapan HET Permendag,” demikian penjelasan yang tertulis dalam paparan publik TPSF.

Paparan publik yang disampaikan TPSF ini memang tidak secara otomatis menyelesaikan persoalan, terutama persoalan hukum yang ditangani kepolisian. Akan tetapi, setidaknya public expose tersebut dapat menjadi acuan investor dalam memutuskan nasib saham AISA di bursa saham.

Baca juga artikel terkait BERAS OPLOSAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti