tirto.id - Maskapai penerbangan nasional Lion Air mengatakan usul pengamat penerbangan dari Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, untuk menaikkan kapasitas angkut penumpang menjadi 100 persen, patut dipertimbangkan. Kapasitas maksimal saat ini ditetapkan 70 persen dalam rangka social distancing mencegah penyebaran virus Corona.
Direktur Operasi Layanan Kebandarudaraan Lion Air Group Wisnu Wijayanto mengatakan kapasitas normal dapat diterapkan karena di tiap pesawat pasti terpasang alat penyaring udara bebas bakteri high-efficiency particulate air (HEPA). HEPA membuat penumpang aman dari penularan COVID-19.
“Kelengkapan HEPA pada kabin pesawat terbang patut menjadi peluang rujukan untuk menentukan persentase jumlah penumpang yang dapat diizinkan,” kata Wisnu dalam diskusi, Rabu (23/9/2020). “Kami siap kalau diminta kolaborasi dengan Badan Litbang Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan bila harus ada penelitian yang menggunakan fasilitas kami terhadap kapasitas 100 persen.”
Selain itu, kebijakan ini dapat dilakukan karena pada dasarnya hanya penumpang yang sehat yang boleh terbang. Kesehatan penumpang dibuktikan lewat syarat menyerahkan hasil rapid test non-reaktif atau swab test negatif.
Kapasitas penumpang sebetulnya sudah dinaikkan selama pandemi. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 sebelumnya hanya memperbolehkan kapasitas 50 persen, lalu direvisi menjadi 70 persen lewat Permenhub Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Permenhub 18/2020.
Dukungan juga datang dari Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja. “Secara internasional sirkulasi udaranya cukup sehat,” katanya dalam sebuah diskusi, Senin (14/5/2020). “Jadi kalau di RS ICU mungkin pergantian udaranya 5-6 menit, di pesawat itu 2-3 menit.”
Ia lantas merujuk beberapa kasus dan studi terkini. Misalnya, “studi MIT (Massachusetts Institute of Technology) di Januari, ada satu penumpang yang teridentifikasi COVID-19 terbang dari Wuhan ke Toronto Kanada tanpa ada satu penumpang lain pun yang tertular di dalam pesawat.”
Kemudian, “bahkan IATA (International Air Transport Association) sudah melakukan riset Januari-Maret, pengecekan 18 major airlines, hanya tiga kasus COVID-19 yang terjadi penularan tapi itu pun belum terbukti [terjadi di pesawat].”
Risiko Tetap Ada
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan baiknya para pengusaha “menahan diri dulu” dengan memperingatkan bahwa penularan COVID-19 di Indonesia masih menggila. Pun dengan pemerintah. Ia menilai semestinya usul ini tidak perlu diakomodasi.
“Kasus terkonfirmasi penularan per hari kita 4.000 orang lho, mohonlah menahan diri,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis (24/9/2020).
Menurutnya ini bukan perkara teknologi HEPA di dalam pesawat saja. Para pengusaha diminta melihat secara menyeluruh. “Penumpang itu bisa tertular di ruang tunggu, kemudian saat dia turun dari pesawat. Jadi lihatnya harus holistik, jangan bilang aman kalau di pesawat doang.”
Menurutnya yang paling bijak saat ini adalah tetap patuh pada protokol kesehatan yang salah satunya adalah jaga jarak. Dengan menambahkan kapasitas, maka kerumunan orang di bandara semakin banyak. “Mau secanggih apa pun [teknologi], penularan tetap bisa terjadi selama kita tidak menjaga jarak,” katanya.
Senada dengan Dedi, Ketua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) M Bigwanto pun menyebut risiko penularan akan tinggi jika tak ada social distancing di tempat tertutup.
“Terlalu besar risikonya meskipun dengan sirkulasi udara yang baik. Apalagi untuk penerbangan yang lama. Karena ruang di pesawat itu sebenarnya sudah relatif sempit,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.
Jika tetap hendak dikaji, baiknya jangan langsung mengarah ke teknologi di dalam pesawat, tapi buka dulu data angka penularan COVID-19 di klaster transportasi. “Dilihat berapa banyak kasus penyebaran di transportasi umum, khususnya pesawat. Dari situ kebijakan yang diambil bisa lebih objektif.”
Data Laporan Produksi Angkutan Udara Badan Usaha Angkutan Udara (BUAU), beberapa pesawat komersial mengalami kenaikan jumlah penumpang pada Juni dan Juli 2020 usai Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) awal direlaksasi.
Misalnya Garuda Indonesia. Pada Januari penumpang mereka mencapai 1.100.649, Februari 994.400, dan Maret 599.885. Pada awal PSBB, April, jumlah penumpang turun signifikan menjadi hanya 54.737. Penurunan terus berlanjut sampai Mei, hanya 24.794 penumpang. Jumlah penumpang mulai naik pada Juni, setelah relaksasi, yaitu 73.950. Pada Juli naik lagi menadi 115.089 penumpang.
Pola serupa dialami Lion Air, Pada Januari terdapat 2.364.741 penumpang, kemudian Februari 2.209.970 penumpang, lalu Maret 1.768.423 penumpang. Penurunan terjadi pada April, 307.538 orang. Pada Mei, jumlah penumpang bahkan hanya 16.217. Penumpang naik lagi pada Juni (284.248) dan Juli (698.973).
Air Asia Pun demikian. Pada Januari mereka mengangkut 315.601 penumpang, Februari 278.014, lalu Maret 152.919. Pada awal April dan Mei, maskapai ini sepenuhnya tidak beroperasi. Baru pada Juni Air Asia beroperasi lagi dengan mengangkut 321 penumpang dan Juli 4.028 penumpang.
Dengan demikian, pelonggaran kebijakan memang berbanding lurus dengan jumlah penumpang.
Pernyataan narasumber bahwa pesawat tidak 100 persen aman memang benar. Buktinya, pada 22 Agustus lalu, ditemukan enam penumpang pesawat di Pontianak yang terbang dari Jakarta positif COVID-19. Penerbangan maskapai tersebut ke rute yang sama akhirnya ditutup sementara.
Peristiwa ini sekaligus membantah pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang mengatakan “mereka yang terbang enggak ada yang terpapar COVID-19.”
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino