tirto.id - KontraS mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo soal upaya penyelesaian HAM berat dalam perayaan HAM internasional, Jumat (10/12/2021) lalu.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti memandang pernyataan Presiden Joko Widodo soal rencana penyelesaian HAM dengan mengedepankan prinsip keadilan bagi korban dan pihak yang diduga pelaku pelanggaran HAM menyakiti perasaan korban.
Aksi Jokowi juga menunjukkan sikap pemerintah yang sama sekali tidak ingin menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
“Penyelesaian pelanggaran HAM berat itu sesuai mandat UU No 26/2000 harus menyeluruh melalui beberapa proses, seperti mekanisme yudisial, pengungkapan kebenaran dan pemulihan, tidak bisa dipilih salah satu atau di bypass,” kata Fatia dalam keterangan, Sabtu (11/12/2021).
Seharusnya pemerintah mengedepankan upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan, terutama kepada korban, keluarga korban dan penyintas. Pernyataan Jokowi justru malah memberikan ruang bagi para pelaku pelanggaran HAM berat.
Wakil Koordinator bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Rivanlee Anandar menambahkan, mekanisme yudisial penting karena menunjukkan keseriusan komitmen presiden dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat. Ia khawatir, pemerintah lebih mengedepankan upaya non-yudisial dan menutup kebenaran.
“Kami khawatir dengan mendorong mekanisme non-yudisial saja, ruang pengungkapan kebenaran itu tertutup karena ada celah untuk mensimplifikasi peristiwa yang terjadi baik kepada korban maupun keluarga korban sebagai kelompok yang terdampak langsung,” tutur Rivanlee.
Menurut Rivanlee, komitmen penyelesaian HAM berat yang disampaikan Jokowi hanya manis di bibir saja alias lip service. Hal itu terlihat dengan Jokowi mengumumkan soal penyidikan kasus pelanggaran HAM berat oleh Kejaksaan Agung.
Menurut KontraS, Jokowi bisa menerbitkan keputusan presiden (Keppres) untuk pembentukan pengadilan Pelanggaran HAM pada 12 kasus HAM yang mandek, selain kasus Paniai yang tengah disidik.
Sebagai catatan, 12 kasus yang dimaksud adalah Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998 di DKI Jakarta; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Wasior 2001-2001 dan Wamena 2003 di Papua-Papua Barat; Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997/1998 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung; Peristiwa 1965-1966 terjadi di lintas provinsi.
Peristiwa penembakan misterius 1982-1985 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Simpang KKA di Aceh; Peristiwa Jambo Keupok di Aceh; Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998 di Jawa Barat/Jawa Timur; Peristiwa Rumoh Geudong 1989 di Aceh; dan Peristiwa Paniai 2014 di Papua.
Dari 12 daftar tersebut, pemerintah lewat Kejaksaan Agung tengah melakukan penyidikan umum perkara Paniai sebagai tindak lanjut surat Komnas HAM.
KontraS beralasan, pembentukan pengadilan HAM lewat Keppres sudah pernah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid lewat Keppres No. 53 tahun 2001 tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 dan Tanjung Priok 1984.
Kemudian Keppres pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc tersebut diubah oleh Presiden Megawati lewat Keppres No. 96 tahun 2001 yang memberikan rincian bahwa pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang dimaksud adalah pelanggaran HAM berat Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dili, dan Soae pada bulan April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984.
Kini, KontraS melihat Jokowi tengah melakukan akrobat politik dalam penyelesaian kasus HAM masa lalu. Salah satu cara adalah dengan penyusunan regulasi penyelesaian HAM berat lewat cara non-yudisial dengan beredarnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat Melalui Jalur Non Yudisial (Rperpres UKP-PPHB).
KontraS khawatir, kehadiran regulasi yang prosesnya tidak transparan dan berpotensi melanggengkan impunitas juga semakin mempertegas bahwa Negara bekerja untuk memutihkan kejahatan para pelaku pelanggaran HAM berat.
Sementara itu, terkait kasus Paniai, langkah Kejaksaan Agung lewat penyidikan umum masih belum layak diapresiasi.
Aksi Kejaksaan Agung justru perlu semakin dipantau agar dan dikritisi agar Tim Penyidik ini dapat bekerja secara profesional, transparan serta independen guna mempercepat pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban dalam kasus Paniai.
KontraS mengingatkan bahwa sudah ada 3 kasus HAM berat yang diselesaikan Kejaksaan Agung, tetapi berakhir buruk sehingga perlu pengawasan serius.
"Tak hanya itu, keluarga korban pelanggaran HAM berat dan masyarakat sipil juga masih menanti janji pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Orang Secara Paksa yang telah mengkrak selama 11 tahun," tutur Fatia.
Sementara itu, ELSAM juga menyoroti soal pernyataan Jokowi yang ingin memberikan keadilan bagi korban dan terduga pelaku HAM berat dan soal penyidikan Paniai.
Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar mengapresiasi sikap Jokowi dalam proses penyidikan Paniai. Namun ia lantas meminjam istilah involusi (pengerutan) dalam penyelesaian kasus HAM berat.
"Involusi ini selain ditujukan dari banyaknya hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, yang belum ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung," kata Wahyudi dalam keterangan, Jumat (10/12/2021).
Selain soal penyelidikan kasus HAM berat yang mandek, contoh involusi lain adalah soal pemberian penghargaan bintang jasa utama kepada Eurico Guterres, eks warga Timor Timur yang sempat divonis 10 tahun penjara oleh Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc pada kasus Timor Timur.
"Langkah di atas, juga sama sekali belum menyinggung arah penyelesaian dari berbagai dugaan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu," kata Wahyudi.
Selain itu, hasil konkrit kebijakan pemerintah saat ini dalam upaya pengungkapan pelanggaran HAM berat belum terlihat jelas. Oleh karena itu, ia pesimistis akan ada penyelesaian HAM berat masa lalu di masa depan.
"Sejauh ini belum menunjukkan progres yang signifikan, sehingga sulit untuk kemudian berharap akan realisasi janji tersebut," kata Wahyudi.
Sebagai catatan, Jokowi menyinggung soal penyelesaian HAM berat dalam pidato perayaan HAM internasional di Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Dalam pidato, Jokowi menyinggung soal upaya pemerintah dalam penyelesaian HAM berat dengan pendekatan berkeadilan bagi korban dan terduga pelaku pelanggar HAM berat.
"Pemerintah berkomitmen untuk menegakkan, menuntaskan, dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku HAM berat," kata Jokowi, Jumat.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto