tirto.id - Presiden Jokowi membantah agenda reformasi di bidang lembaga perbankan non-bank seperti asuransi dan dana pensiun tidak berkaitan dengan masalah kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Ia mengatakan, reformasi tersebut merupakan kebutuhan dunia lembaga non-bank seperti asuransi dan dana pensiun.
"Nggak ya. Kebetulan pas ada peristiwa Jiwasraya. Tapi nggak itu. Tapi memang [industri asuransi] memerlukan itu," kata Jokowi di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Presiden juga mengatakan, kedua industri tersebut memerlukan reformasi. Menurut dia, perbaikan terdiri atas pengaturan, pengawasan, dan permodalan.
Menurut Jokowi, reformasi tersebut akan membuat industri asuransi dan dana pensiun bisa berjalan lebih baik.
"Lembaga keuangan non-bank memerlukan itu, sehingga nanti akan dilakukan oleh OJK tentu saja dan akan di-support secara penuh oleh pemerintah," lanjut Jokowi.
Sampai saat ini, dalam kasus Jiwasraya, presiden sudah membaca seluruh laporan soal Jiwasraya. Ia pun sudah menginstruksikan kepada kementerian dan lembaga terkait untuk menangani masalah tersebut.
"Sudah saya sampaikan pada saya yang paling penting menteri BUMN, OJK, Menteri Keuangan nanti akan menyelesaikan masalah bisnis ekonominya. Kemudian urusan hukum itu urusan di Kejaksaan Agung. Saya kira penting untuk diselesaikan," kata Jokowi.
Penyidikan korupsi Jiwasraya oleh Kejaksaan Agung kini telah memasuki fase penetapan tersangka. Ada lima orang tersangka yakni Eks Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo; Dirut PT Hanson International, Benny Tjokrosaputro; Komisaris PT Trada Alam Mineral, Heru Hidayat; Eks Dirut PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hendrisman Rahim; dan mantan pegawai PT Jiwasraya, Syahmirwan.
Kejaksaan Agung menyelidiki Jiwasraya untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana. Adanya dugaan penyalahgunaan investasi yang melibatkan grup-grup tertentu (13 perusahaan) yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Hal ini diduga terkait transaksi-transaksi tersebut, Jiwasraya sampai dengan bulan Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara sebesar Rp13,7 Triliun. Potensi kerugian tersebut timbul karena adanya tindakan yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yakni terkait dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi JS Saving Plan.
Asuransi JS Saving Plan telah mengalami gagal bayar terhadap Klaim yang telah jatuh tempo sudah terprediksi oleh BPK-RI sebagaimana tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan dan biaya operasional.
Jiwasraya dianggap merugikan negara karena berinvestasi pada aset aset-aset dengan high risk (risiko tinggi) untuk mengejar high return (keuntungan tinggi) yakni penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp5,7 Triliun dari Aset Finansial.
Dari jumlah tersebut, 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45) dan sebanyak 95 persennya merupakan dana yang ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Kedua adalah Penempatan Reksadana sebanyak 59,1 persen senilai Rp14,9 triliun dari Aset Finansial. Dari jumlah tersebut, 2 persennya yang dikelola oleh manajer investasi Indonesia dengan kinerja baik (Top Tier Management) dan 98 persennya dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali