tirto.id - Ada tudingan saat pelantikan dua belas wakil menteri Kabinet Indonesia Maju beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo sedang bagi-bagi jabatan ke pendukungnya saat Pilpres 2019.
Tudingan ini dibantah oleh juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman.
"Karena, kan, presiden pengin cepat kerjanya. Beliau mengharapkan wamen-wamen ini bisa membantu masing-masing," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan, beberapa waktu lalu.
Fadjroel membantah Jokowi sedang bagi-bagi kursi ke partai maupun relawan pendukung. “Tepatnya ini untuk mengambil putra-putri terbaik Indonesia," ujar Fadjroel.
Namun, bantahan ini perlu dicermati, terutama terkait komposisi dari pilihan Jokowi di periode pemerintahan keduanya: apakah memang semata-mata karena faktor profesionalitas atau ada motif lain.
Dari penelusuran Tirto, setidaknya hanya 3 dari 12 wakil menteri yang termasuk pejabat profesional. Sisanya, politikus dan bagian dari tim sukses Jokowi-Ma'ruf Amin.
Sebut saja Wahyu Sakti Trenggono, mantan bendahara Tim Jokowi-Maruf yang kini jadi wakil menteri pertahanan; Budi Arie, Ketua Umum Projo kini wakil menteri desa; dan Angela Tanoesoedibjo, putri Hary Tanoe yang kini wakil menteri pariwisata dan ekonomi kreatif
Ada juga Jerry Sambuaga dari Partai Golkar, kini wakil menteri perdagangan; Zainut Tauhid dari PPP sebagai wakil menteri agama; Surya Tjandra dari PSI sebagai wakil menteri agraria; dan Wempi Wetipo dari PDIP sebagai wakil menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
Meski alasan Jokowi memilih mereka berdasarkan klaim sebagai "kandidat terbaik" bagi bangsa dan bukan bagi-bagi kue kekuasaan, mantan Wali Kota Surakarta ini disinyalir ingin memasukkan aspirasi parpol pendukung dalam jabatan-jabatan yang tersedia.
Usai Pilpres, Jokowi sempat menyebut memilih menteri dengan membagi komposisi 55 persen untuk profesional dan 45 persen untuk partai politik.
Namun, komposisi Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 untuk partai politik meningkat dari 41 persen atau 14 menteri menjadi 16 menteri.
Bahkan Jokowi mengajak kompetitor suara terbesar, yakni Partai Gerindra, merapat ke pemerintahan: Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Partai yang sudah mendapatkan kursi menteri dan wakil menteri adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PPP, PSI, dan Perindo
Langkah Presiden Jokowi mengakomodasi partai pendukungnya tak cuma di situ. Tiga partai yang tidak mendapatkan jatah di kementerian, yakni PBB, PKPI, dan Hanura, dicarikan posisi.
Presiden Jokowi menunjuk Diaz Hendropriyono, Ketua Umum PKPI, sebagai satu dari 12 staf khusus presiden. Selain Diaz, politikus PSI Dini Purwono dan politikus PDIP Arif Budimanta ditunjuk sebagai stafsus.
Terkini, Presiden Jokowi melantik sembilan Dewan Pertimbangan Presiden, yang terkesan tidak lepas dari politik kepentingan. Empat dari 9 Wantimpres berlatar belakang partai politik: Wiranto (eks Menko Polhukam, politikus Hanura); Agung Laksono (politikus Golkar); Sidarto Danusubroto (politikus PDIP); dan Mardiono Bakar (politikus PPP).
Dalam catatan Tirto, periode kedua Jokowi diperkuat oleh mayoritas partai pendukungnya di kursi legislatif 2019-2024: PDIP menguasai 128 kursi, Golkar memperoleh 85 kursi, Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PPP 19 kursi.
Sementara parpol lawannya pada Pilpres 2019 di parlemen masing-masing Gerindra 78 kursi, Demokrat 54 kursi, PKS 50 kursi, dan PAN 44 kursi.
Total, koalisi Jokowi di parlemen berjumlah 349 kursi; setelah Jokowi dilantik, ia menggandeng Gerindra sehingga koalisinya di parlemen didukung oleh 427 kursi dari total 575 kursi anggota DPR. Pendeknya, Jokowi kini nyaris ditopang oleh 75 persen anggota DPR.
Kecuali PKS yang menyatakan oposisi, dua partai lain, yakni Demokrat dan PAN, malu-malu mendukung Jokowi; PAN bahkan dalam intrik internal menjelang kongres 2020.
Pengamat: 'Antara Kebutuhan, Hadiah, Pencitraan'
Pendiri lembaga survei KedaiKopi Hendri Satrio tidak memungkiri ada upaya bagi-bagi jabatan pada era kepemimpinan Jokowi kali ini. Menurut Hendri, bagi-bagi jabatan lumrah bagi seorang presiden dalam memimpin negara.
Hendri menilai ada 3 klaster bagi-bagi jabatan era kedua pemerintahan Jokowi. Klaster pertama adalah kebutuhan; Jokowi memilih menteri karena dirinya butuh dalam memimpin Indonesia, contohnya Sri Mulyani di Kementerian Keuangan dan Bambang Brodjonegoro di Kementerian Riset/BRIN.
Klaster kedua adalah hadiah; Jokowi memberikan jabatan tanpa melihat latar belakang tokoh, contohnya posisi di dewan pertimbangan presiden.
Klaster ketiga adalah pencitraan; contohnya menempatkan Nadiem Makarim maupun "stafsus milenial".
Hendri menilai kabinet perdana tahun ini adalah "kabinet coba-coba" karena mungkin saja akan ada reshuffle sebagaimana dilakukan Jokowi pada periode pertama.
Pihak Istana membantah ada upaya bagi-bagi jabatan. Staf khusus Presiden Billy Mambrasar berkata Jokowi memilih pejabat dengan pertimbangan dan seleksi khusus.
"Kalau dianggap presiden memilih jabatan untuk bagi-bagi posisi kepada mereka yang mendukung Bapak [Jokowi], tidak tepat karena setiap orang telah melalui proses screening panjang sebelum ditunjuk untuk jabatan tertentu," kata Billy kepada Tirto, yang mencontohkan dirinya dan stafsus lain, tidak berafiliasi dengan partai politik, sudah "di-screening Bapak dan Pak Mensesneg dan bertemu berkali-kali dengan Bapak sejak setahun lalu sebelum kemudian ditunjuk menjadi stafsus."
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri