Menuju konten utama

Kontroversi Tiga Menteri Baru Jokowi: Terawan, Tito & Zainudin

Tiga orang menteri baru Jokowi terlibat kontroversi. Menteri Kesehatan Terawan bermasalah dengan kode etik kedokteran, Mendagri Tito terseret buku merah, Menpora Zainudin terseret kasus Akil Mochtar dan Jero Wacik.

Kontroversi Tiga Menteri Baru Jokowi: Terawan, Tito & Zainudin
Presiden Indonesia Joko Widodo, barisan depan keenam dari kiri, dan wakilnya Ma'ruf Amin, ketujuh dari kiri, berpose untuk para fotografer saat pengumuman kabinet baru di Istana Merdeka di Jakarta, Indonesia, Rabu, 23 Oktober 2019. AP / Dita Alangkara

tirto.id - Menggunakan kemeja putih dan celana kain hitam, Terawan Agus Putranto masuk ke pelataran Istana Kepresidenan sambil memegang gawai di tangan kiri. Tangan kanannya melambaikan tangan berulang kali.

Hari itu, Selasa 22 Oktober, ia dipanggil Presiden Joko Widodo. Publik menduga ia akan dijadikan menteri kesehatan dalam kabinet baru Jokowi. Namun, saat itu mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat itu tak mengatakan apapun, ia hanya mengubah gesture sekali dengan memberi acungan jempol.

Setelah bertemu Jokowi, Terawan baru buka omongan terkait penunjukan sebagai menteri kesehatan. Ia pun memutuskan pensiun dini dari karier dokter militernya.

“Saya tinggal semua. Saya harus fokus untuk membantu Bapak Presiden dalam kabinet ini,” kata dokter berpangkat Mayor Jendral itu.

Hari berikutnya, Terawan dicegat wartawan. Penyebabnya bukan lagi soal penunjukannya sebagai menteri, tetapi terkait surat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tertanggal 30 September 2019 yang dikirim ke Presiden Jokowi.

Surat rahasia itu berisi keberatan MKEK apabila Terawan dijadikan menteri kesehatan karena pertimbangan masalah etik. Tapi surat itu bocor ke publik.

“Yang berkasus itu siapa? Biarin aja. Saya kan enggak pernah nanggapi,” kata Terawan menanggapi surat itu. “Nggak perlu [memenuhi panggilan MKEK]. Kita [saya] kan memang bukan waktunya. Ada tata caranya. Saya waktu itu kan militer.”

Kasus yang dimaksud MKEK dan Terawan itu merujuk pada polemik metode cuci otak dengan Digital Substrction Angiography (DSA) untuk pengobatan pada tahun 2018. Pengobatan itu dilakukan Terawan dan diklaim bisa menyembuhkan stroke.

Sikap Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) saat itu tegas, selama belum ada hasil uji klinis terhadap metode ‘cuci otak’ Terawan, maka penggunaannya harus dihentikan sementara. Sedangkan MKEK IDI menyatakan mereka juga menunggu hasil penelitian Kemenkes untuk bisa mengambil langkah berikutnya.

Karenanya, MKEK saat itu hanya menyebut pelanggaran etik Terawan terkait Pasal 4 dan Pasal 6 Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Dua pasal itu memuat pelarangan dokter memuji diri sendiri dan senantiasa berhati-hati mengumumkan dan menerapkan pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya.

Setelah itu MKEK memanggil tiga kali Terawan, tapi ia tidak hadir. Hasilnya, putusan sanksi pemecatan dari MKEK keluar pada 26 Februari 2018.

Dalam perkembangannya, pada bulan April 2018, sanksi terhadap Terawan ditangguhkan. Saat itu DPR meminta agar Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Konsil Kedokteran Indonesia meninjau ulang masalah pemecatan Terawan.

Pengkajian kemudian dilakukan oleh Kemenkes dalam tim Health Technology Assessment (HTA). Bulan Desember 2018, tim ini masih belum terlihat buah kerjanya. Metode ‘cuci otak’ dengan Digital Substrction Angiography (DSA) untuk pengobatan dari Terawan kemudian menggantung begitu saja.

Ketua Dewan Penasihat MKEK Prijo Sidipratomo tak mau menjawab soal surat dan sanksi terhadap Terawan ini, sedangkan Broto juga tak membalas pertanyaan Tirto melalui pesan singkat ataupun panggilan telepon.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Slamet Budiarto tak mau menjawab perihal status Terawan sekarang. Dia mengaku tak tahu mengenai surat dari MKEK dan mengklaim seharusnya masalah Terawan adalah urusan internal IDI semata.

“MKEK harusnya tidak etis membuat surat tersebut. Pelanggaran kodeki (kode etik kedokteran Indonesia) tidak terkait dengan jabatan seseorang,” kata Slamet kepada Tirto.

Terawan sendiri sampai sekarang tidak mengakui metode cuci otak-nya bermasalah. Pada November 2018, dia mengklaim metodenya sudah mengantongi izin praktik dari Kemenkes.

"Sebenarnya sudah, kalau tidak memberikan [izin] pasti ada surat keputusan tidak boleh melakukan," kata Terawan di Jakarta usai menandatangani kerja sama pengobatan DSA untuk 1.000 turis Vietnam pada Senin (12/11/2018).

Soal etik Terawan sebenarnya berpengaruh bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurut UU Praktik Kedokteran, yang bertugas mengatur, mengesahkan, menetapkan, serta membina, dokter dalam adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Masalahnya, di dalam KKI pun ada berbagai unsur keanggotaan. Salah satu unsur tersebut adalah Departemen Kesehatan di bawah naungan Kemenkes yang kini jadi kekuasaan Terawan.

Kendati begitu, Slamet Budiarto tak mau berkomentar banyak soal kemungkinan Terawan menggunakan posisinya untuk melegalkan praktik cuci otak atau pengobatan lainnya yang belum teruji di kemudian hari. Dia malah memberi pertanyaan retoris yang terkesan mendukung praktik Terawan.

“Mau tanya, apakah ada pasien yang komplain? Atau menuntut?” kata Slamet. Ketika ditanyakan lagi soal status Terawan, dia mengelak, untuk ke sekian kalinya: “Saya nggak berwenang menjawab. Silakan hubungi Ketum PB IDI.”

Padahal dalam Pasal 5 ayat (2) di dalam UU Kesehatan, pasien berhak memperoleh pelayan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Metode ‘cuci otak’ Terawan jelas tidak memenuhi standar keamanan karena belum ada uji klinis yang diakui Kemenkes.

Terseret Dugaan Korupsi

Selain masalah etik, menteri Jokowi-Ma’ruf Amin juga disandera dugaan korupsi. Menteri Dalam Negeri yang baru, Tito Karnavian diduga terlibat dalam kasus dokumen buku merah.

Buku merah adalah sebutan untuk catatan transaksi keuangan perusahaan milik pengusaha impor daging Basuki Hariman. Hariman merupakan terdakwa kasus suap kepada Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam uji materi undang-undang peternakan dan kesehatan hewan.

Dalam buku itu, diduga ada sejumlah nama pejabat penting yang menerima uang dari Basuki, termasuk Tito. Tito tercatat menerima aliran uang sebanyak sembilan kali dengan total Rp8,1 miliar.

Saat dikonfirmasi oleh tim Indonesia Leaks soal namanya dalam buku merah, dia hanya mengatakan “sudah dijawab oleh humas.”

Barang bukti penting itu dirusak oleh dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kepolisian. Dalam rekaman kamera pengawas (CCTV) dua penyidik, yakni Roland Ronaldy dan Harun tertangkap kamera sedang melakukan perusakan buku merah di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada 7 April 2017.

Tidak hanya merusak, Roland juga mengganti BAP Kumala Dewi Sumartono, sekretaris Basuki. Dalam BAP yang dibuat Roland, catatan aliran uang dalam buku merah dihilangkan. Padahal, aliran dana yang tercantum dalam buku merah menjadi salah satu poin dalam BAP sebelumnya yang dibuat oleh Surya Tarmiani.

Roland dan Harun kemudian dikembalikan KPK ke institusi Polri. Namun alih-alih mendapat sanksi dari Polri, keduanya justru mendapat promosi. Roland menjadi Kapolres Cirebon, sedang Harun berkesempatan mengikuti sekolah pimpinan (Sespim) Polri.

Setelah perusakan itu, polisi menyita barang bukti buku merah dari KPK. Alasannya untuk menindaklanjuti dugaan perusakan buku merah. Tapi pada akhirnya polisi pun menyebut keduanya tak terbukti melakukan perusakan.

Sementara itu, dugaan aliran uang seperti yang tercatat dalam buku merah itu sampaikan kini tidak pernah diungkap. Barang bukti buku merah itu tidak pernah diungkap oleh polisi.

Selain Tito, ada juga nama Zainudin Amali yang jadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Zainudin terseret sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2014.

Saat itu Zainudin pernah dimintai uang sebanyak Rp 10 miliar oleh Akil dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2014. Pembicaraan itu terjadi dalam blackberry messenger Oktober 2013.

Ia mengakui bahwa permintaan itu datang dari Akil dengan tawaran kemenangan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf. Keduanya diusung oleh beberapa partai, salah satunya Partai Golkar.

Kasus lain yang menyeret nama Zainudin adalah suap terhadap menteri ESDM, Jero Wacik. Pada 2014 Zainudin pernah dipanggil sebagai saksi untuk tersangka mantan Sekjen ESDM Waryono Karno. KPK bahkan pernah menggeledah rumah Zainudin saat ia masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR.

Saat bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Zainudin mengaku diminta menandatangani pakta integritas yang menyatakan dirinya tidak terlibat kasus korupsi.

"Iya teken pakta integritas, isinya kerja dengan baik akan menjalankan tugas sesuai undang-undang dan peraturan yang ada," ungkap Zainudin.

Infografik HL Indept Indonesia Maju

Kontroversi tiga menteri kabinet Indonesia Maju. tirto.id/Lugas

Ironi Pemberantasan Korupsi

Usai mengumumkan nama-nama kabinetnya, Jokowi berpesan kepada menterinya agar tidak melakukan korupsi. Pesan ini justru berkebalikan dengan keputusan Jokowi yang justru melibatkan Tito dan Zainudin dalam kabinetnya.

Jokowi pun tidak lagi menggandeng KPK untuk menelusuri rekam jejak calon menterinya. Padahal pada periode pertama, Jokowi menggandeng KPK untuk memberikan catatan terhadap calon menterinya.

Itu yang membuat Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari kecewa. “Dulu Pak Jokowi menggunakan KPK untuk membangun citra kabinet yang anti-korupsi. Sekarang kan fokusnya berbeda,” kata Feri kepada Tirto.

Tahun ini, pemerintahan Jokowi menyepakati revisi Undang-undang KPK yang justru melemahkan KPK. Revisi ini membuat mahasiswa di pelbagai wilayah di Indonesia menggelar demo besar-besaran.

Sebelum polemik revisi UU KPK, pemilihan Pimpinan KPK juga menjadi sorotan publik. Terutama terhadap ketua KPK terpilih, Firli Bahuri. Firli dinilai tidak layak karena memiliki rekam jejak masalah etik semasa ia bertugas di KPK.

“Jadi ya sudah, dia menjalankan kepentingan dia dan kelompoknya saja. Jokowi dan partai politiknya saja,” kata Feri. “Karena ada figur-figur tertentu yang kalau diberikan kepada KPK akan menjadi bahaya merah [rapor merah]. Bukan tidak mungkin Jokowi mau menghindari polemik.”

Dengan tidak digunakannya KPK dalam pemilihan menteri, Feri meyakini mantan Gubernur DKI Jakarta itu bukanlah figur yang benar-benar peduli pada pemberantasan korupsi. Padahal, ada banyak orang di Indonesia yang sama—atau lebih berkapasitas dapat menduduki jabatan menteri dan juga bersih dari korupsi.

Baca juga artikel terkait KABINET INDONESIA KERJA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Restu Diantina Putri & Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mawa Kresna