Menuju konten utama
Mozaik

Sidik Kertapati, Eksponen Pejuang Revolusi yang Terasingkan

Setelah malang melintang di era revolusi, Sidik Kertapati akhirnya terjebak di negeri asing akibat Peristiwa G30S.

Sidik Kertapati, Eksponen Pejuang Revolusi yang Terasingkan
Header Mozaik Sidik Kertapati. tirto.id/Tino

tirto.id - Ajip Rosidi menyambangi Belanda pada 1989 dan bertemu dengan Agam Wispi, penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjadi eksil di Amsterdam. Sebelumnya, keduanya hanya bertegur sapa via surat-menyurat. Mereka bertemu di sebuah toko buku di stasiun Amsterdam.

Setelah berbincang agak lama, Ajip menanyakan alamat rumah Sidik Kertapati.

"Aku tidak tahu, tetapi sebentar akan aku tanyakan kepada kawan yang tahu nomor teleponnya," jawab Agam Wispi sebagaimana tercatat dalam buku Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008, hlm. 1062-1063).

Menurut Agam Wispi, seperti dikutip Ajip, "Bung Sidik itu menjadi korban orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebutnya 'kejam' karena tidak menaruh hormat kepada Sidik Kertapati yang besar jasanya dalam revolusi kemerdekaan."

"Sidik Kertapati sama sekali tidak punya paham komunisme. Bahkan dia tidak mengerti apa komunisme," tambahnya.

Menurut Ajip, karena Sidik Kertapati mengepalai sebuah organisasi petani, dia dipengaruhi agar organisasinya itu difusikan dengan Barisan Tani Indonesia (BTI).

"Untuk itu, Sidik Kertapati diberi kedudukan dalam partai, dicalonkan menjadi anggota DPR sebagai orang yang tak berpartai,” tulis Ajip.

Tumbuh Kembang di Dua Masa

Sidik Kertapati lahir di Klungkung, Bali, pada 19 April 1920. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan ke MULO Surabaya. Dalam buku Kami Perkenalkan (1952, hlm. 80) disebutkan, ia memilih sekolah dagang, Handels Vak School (HVS) Surabaya, selepas lulus dari MULO.

Kala belajar di HVS Surabaya, ia bergabung dengan Serikat Buruh Bengkel. Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (2005, hlm. 28) Sidik Kertapati juga bergabung dengan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) bersama D.N. Aidit, M. H. Lukman, dan lain-lain.

Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda, Pemerintah Kolonial segera melakukan sejumlah penangkapan terhadap beberapa pemimpin pergerakan nasional. Dalam Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia (1965, hlm. 95), Sidik Kertapati menjadi salah satu sasaran peringkusan di samping S. K. Trimurti, Wikana, dan Asmarahadi Tjokroaminoto.

"Mereka ini dimasukkan kamp tawanan di Garut dan disiapkan untuk dilarikan ke Australia dengan melalui pelabuhan Tjilatjap," catat penulis buku tersebut.

"Niat ini lantas gagal karena pelabuhan Tjilatjap dibom Djepang," imbuhnya.

Transformasi cara-cara politik Sidik Kertapati terjadi pada zaman pendudukan Jepang. Ia menempuh gerakan bawah tanah. Ia bergabung dengan Asrama Menteng 31 yang kemudian dikenal sebagai Asrama Angkatan Baru Indonesia.

Kendati demikian, ia tidak satu garis dengan Sutan Sjahrir. Rudolf Mrázek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (1994, hlm. 231), melabeli Sidik Kertapati sebagai "pemuda non-Sjahririan", bahkan bertendensi anti-Sjahrir.

Ia tergabung dalam organisasi bawah tanah yang dipimpin D.N. Aidit, yaitu Banteng Merah.

"Sidik Kertapati dll mengirimkan surat gelap, surat antjaman kepada beberapa pemimpin² jang passip, apalagi jang sudah 'bermain mata' dengan saudara tua,” catat penulis buku Republik Indonesia Kotapradja Djakarta-Raja (1959, hlm. 141) yang disusun oleh Kementerian Penerangan.

Tak hanya Banteng Merah, kemunculan Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom) juga membuat Sidik Kertapati tertarik untuk terlibat di dalamnya. Gerindom didirikan oleh para pemuda revolusioner. Dibubarkannya Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan berdirinya Djawa Hooko Kai adalah alasan di balik terbentuknya Gerindom.

Ia termasuk yang gencar mendesak agar proklamasi kemerdekaan segera dilaksanakan.

"Kami setuju bahwa kami harus memproklamasikan kemerdekaan kita sendiri. Pelajar-pelajar yang vokal untuk membicarakan hal itu adalah Chaerul Saleh, Adam Malik, Lukman, dan Sidik Kertapati," ujar Aidit seperti dicatat Arnold C. Brackman dalam Indonesian Communism: A History (1963, hlm. 42).

Setelah proklamasi kemerdekaan, Sidik Kertapati turut menenteng senjata bersama Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR). Sembari bergerilya, ia tercatat sebagai redaksi untuk majalah Godam Djelata—corong LRJR.

Di sekitar peristiwa Perjanjian Linggarjati, Sidik Kertapati bentrok dengan seorang anggota TNI. Ia tertembak di bagian paha. Hingga wafat, peluru itu terus bersarang di tubuhnya karena sudah hancur.

Penangkapan-Penangkapan

Tahun 1947 menjadi babak baru dalam hidupnya. Siti Rukiah, seorang aktivis dan sastrawan, sering mengirim cerita pendek ke majalah Godam Djelata. Dari majalah, Sidik mulai menjalin hubungan secara intens dengan Rukiah.

Dalam buku kumpulan tulisan Yang Terlupakan dan Dilupakan: Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia (2021, hlm. 17), Dessy Austriningrum menyebut bahwa Rukiah mulai bertemu dengan Sidik Kertapati di salah satu acara politik. Sejak itu, keduanya mulai saling berkirim surat dan membangun hubungan.

Sidik menjadi politikus DPR-RIS kemudian DPR Sementara kala RIS bubar, setelah berpisah dengan laskar rakyat imbas keputusan pemerintah setelah Konferensi Meja Bundar (KMB). Selain menjadi anggota DPR, ia membangun organisasi tani bernama Sarekat Kaum Tani Indonesia (SAKTI).

Tantangan pertama Sidik Kertapati sebagai politikus muncul satu tahun kemudian. Pada 26 Maret 1951, sekitar pukul 11 malam, ia berjalan-jalan di Grand Theater Jakarta. Tepat saat itu, Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR) meringkusnya.

Tentara mengira Sidik Kertapati adalah Sidik Sjamsi—buronan tantara waktu itu.

"Apalagi ketika dipanggil, dia (Sidik) juga menjawab—tentu saja karena nama depan mereka sama—sehingga ditangkaplah Sidik Kertapati,” tulis Arief.

Dalam koran Java Boedi edisi 3 April 1951, ia meyakini kritiknya sebagai anggota komisi pertahanan di parlemen tentang tentara meneror warga di Karawang adalah sebab ia ditangkap.

Pada Agustus 1951, Kabinet Sukiman memberlakukan operasi penangkapan—Razia Agustus—terhadap orang-orang kiri. Sidik Kertapati menjadi salah satu korbannya.

Saat ditahan, surat-menyurat masif dilakukan oleh dirinya dan Rukiah. Pada 2 Februari 1952, ia menikahi Rukiah.

Saat itu, aktivitas utama Rukiah adalah membantu suaminya dalam menyusun buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 yang terbit lima tahun kemudian.

Meskipun Sidik adalah simpatisan PKI, ia merupakan wakil satu-satunya di parlemen dari Angkatan Communis Muda (Acoma) pimpinan Ibnu Parna.

Pada akhir kabinet Wilopo, terjadi Peristiwa Tanjung Morawa. Sidik Kertapati sebagai perwakilan Sarekat Kaum Tani Indonesia (SAKTI), menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Ia menuntut dihentikannya proses pengambilalihan tanah kepada Deli Planters Vereneeging (DPV), dan semua orang yang ditangkap segera dibebaskan.

Penangkapan kembali menimpa dirinya pada 11 Mei 1954. Atas perintah Komando Tentara Teritorium III Kolonel Alex Kawilarang, ia ditangkap di Jakarta lalu dipindahkan ke Bandung.

Berdasarkan koran The Christian Science Monitor edisi 8 Juni 1954, penangkapan ini didasarkan atas dugaan bahwa Sidik Kertapati adalah pemimpin organisasi Bambu Roentjing yang meneror Jawa Barat sejak masa revolusi.

Ia satu bulan mendekam di penjara. Tuntutan serikat petani dan parlemen membuat Sidik Kertapati dibebaskan.

Infografik Mozaik Sidik Kertapati

Infografik Mozaik Sidik Kertapati. tirto.id/Tino

Huru-hara dan Terjebak di Negeri Asing

Setelah konflik internal, posisi Sidik Kertapati di parlemen tidak lagi merepresentasikan Acoma, tetapi SAKTI—lalu bersatu dengan BTI.

"Sidik menjadi anggota PKI, dan menurut daftar 1955, ia terpilih menjadi anggota parlemen PKI," tulis Harry Poeze (2020, hlm. 77).

Ia menjadi anggota parlemen wakil PKI hingga 6 Juli 1959. Empat hari berikutnya, Sukarno merombak lembaga-lembaga negara. Parlemen hasil pemilu 1955 dibubarkan, diganti oleh DPR-Gotong Royong yang beranggotakan 283 orang. Sidik Kertapati dan Sayuti Melik duduk di parlemen sebagai representasi Angkatan ’45.

Keanggotaan di parlemen tidak bertahan lama, keburu meletus Peristiwa G30S 1965. Ia kala itu tengah berada di Tiongkok. Seturut buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia (1970, hlm. 656), posisinya di DPR-GR digantikan oleh Kolonel Laupase Malao sejak 16 Juni 1966. Mengetahui kondisi politik Indonesia yang tak tentu, ia memutuskan tidak pulang ke Indonesia untuk sementara.

Namun, prediksinya salah. Mesin politik Orde Baru solid hingga 32 tahun kemudian. Hal ini menyebabkan ia terpaksa bertahan di tanah pengasingan (Tiongkok) tanpa istri dan sanak keluarga selama bertahun-tahun.

Warsa 1986 ia pindah ke Belanda. Ia sempat menelepon Rukiah dan anak-anaknya dengan nama samaran Heru Prahara. Sebaliknya, pada 1989, Rukiah sempat menulis surat kepadanya.

Hingga kematian Rukiah pada 1996, ia tak pernah bertemu lagi dengan istrinya. Menurut Julie Shackford-Bradley dalam Autobiographical Fictions: Indonesian Women’s Writing from the Nationalist Period (2000, hlm. 41), Sidik Kertapati merasakan penuh penyesalan terhadap dirinya sendiri.

Setelah Reformasi 1998, ia akhirnya kembali ke Indonesia. Sidik Kertapati meninggal dunia pada 2 Juli 2007.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI 45 atau tulisan lainnya dari Alvino Kusumabrata

tirto.id - Politik
Kontributor: Alvino Kusumabrata
Penulis: Alvino Kusumabrata
Editor: Irfan Teguh Pribadi