tirto.id - Setelah menerima saran dari Dr. Ulrich Kratz, pada tahun 1985, Annabel Gallop menjadikan Siti Rukiah sebagai subjek penelitian tesisnya di bidang studi Indonesia dan Melayu di SOAS (School of Oriental and African Studies), London.
Selanjutnya, sebagai langkah awal penelitiannya, ia melawat ke British Library – tempatnya bekerja sekarang sebagai Kepala Koleksi Asia Tenggara – di London, untuk melihat karya-karya dari Rukiah.
Penelusurannya terhadap Rukiah tidak berhenti di British Library. Sebagaimana penuturannya dalam artikel berjudul An inspiring Indonesian Woman Writer: S. Rukiah (2021), melalui bantuan S. Budiarjo – eksil Indonesia yang tinggal di London – ia menyurati Rukiah yang tinggal di Purwakarta. Gayung bersambut, ia menerima surat balasan dari sosok yang dijadikan sebagai subjek penelitiannya itu.
Dalam surat balasan tersebut, termaktub kalimat, "Saya sangat senang dan terharu menerima suratmu, dan mendengar bahwa kamu mengetahui dan mempelajari karya-karya saya yang telah terbit puluhan tahun yang lalu, karena saya sendiri sudah lupa, sudah lama sekali.”
Setelah saling berbalas surat, barulah pada Oktober 1986, setelah dijemput Windu Pratama – putra Rukiah – di Jakarta, ia dapat secara langsung bertatap muka dengan Rukiah di Purwakarta. Tidak ada raut muka yang mencerminkan kengerian masa lalu yang dialami Rukiah selama pertemuan itu. Sebaliknya, Annabel menangkap senyum lembut dari raut mukanya.
Berkhidmat dalam Sastra dan Majalah
Rukiah lahir di Purwakarta, Jawa Barat pada 27 April 1927. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengenyam pendidikan di sekolah rendah perempuan selama dua tahun. Pada 1946, saat menginjak usia 19 tahun, ia mengajar di sekolah rendah perempuan. Selain itu, di tahun yang sama, ia mulai merintis karier kepenulisannya dengan menulis puisi di majalah Godam Djelata (majalah yang turut didirikan Sidik Kertapati, suaminya kelak).
Hingga akhir tahun 1950, ia semakin produktif dalam menulis. Tercatat, ia berhasil menciptakan 22 puisi, enam cerpen, serta novel Kejatuhan dan Hati, yang sebelumnya merupakan edisi khusus di majalah Pujangga Baru, sebelum akhirnya diterbitkan kembali oleh Pustaka Rakyat pada tahun 1950.
Mengutip laman Ensiklopedia Sastra Indonesia, perjalananya sebagai sastrawan tidak berjalan mulus begitu saja. Beberapa kali karyanya ditolak oleh majalah pada awal-awal ia menulis. Lebih daripada itu, ia pernah dihadapkan pada sebuah fitnah yang menyatakan bahwa karya-karya yang ditulisnya merupakan hasil plagiat. Namun, atas saran dari H. B. Jassin, ia terus berkarya dan mendiamkan fitnah tersebut.
Menginjak usianya yang ke 21 tahun, ia mulai bekerja di majalah-majalah terkemuka pada saat itu,seperti Indonesia, Mimbar Indonesia, sekaligus jadi koresponden di Purwakarta untuk majalah Pujangga Baru. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1949, ia menjadi redaktur majalah budaya Irama yang dirintisnya di Purwakarta.
Memasuki tahun 1950, ia hijrah ke Jakarta dan mulai bekerja sebagai sekretaris redaksi majalah Pujangga Baru. Dua tahun berikutnya, pada 1952, karya-karya yang telah ditulisnya pada kisaran tahun 1948-1949 berhasil dihimpun dan diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul Tandus yang terdiri dari 34 puisi dan 6 cerpen.
Mengutip tulisan Yeri Wirawan dalam Independent Woman in Postcolonial Indonesia: Rereading the Work of Rukiah, berkat Tandus, Rukiah terpilih sebagai salah satu pemenang hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Sebagai sastrawan, ia memiliki perhatian terhadap anak-anak. Itu dibuktikan melalui kumpulan sajaknya yang berjudul "Taman Sandjak Si Kantjil" yang ditujukan untuk anak-anak berusia 8-10 tahun. Selain kumpulan sajak, ia menulis cerita anak, seperti “Si Rawun dan Kawan-Kawannya” yang diterbitkan pada tahun 1955 hingga “Dongeng-dongeng Kutilang” yang terbit pada tahun 1962.
Perhatiannya kepada literasi anak-anak terus terus berlanjut. Menurut Hawe Setiawan dalam artikel "Cendrawasih dari Priangan", pada tahun 1951, ia hijrah ke Bandung. Di sana ia mengasuh majalah anak Tjendrawasih yang diterbitkan oleh P.T. Ganaco.
Selain menulis dan mengajar, ia turut serta dalam deru revolusi sebagai anggota Palang Merah Indonesia (PMI) di Purwakarta. Pada masa-masa itulah, ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Sidik Kertapati yang merupakan anggota dari Lasykar Rakyat Jakarta Raya.
Pada tahun 1952, keduanya menikah dan dikaruniai enam orang anak. Sejak saat itulah, nama penanya berganti dari S. Rukiah menjadi S. Rukiah Kertapati dalam setiap karyanya, seperti diungkapkan Samantha Aditya dalam program Jas Merah rilisan Mojok.
Tergabung dalam LEKRA Hingga Berhenti Menulis
Yeri Wirawan (2018) melanjutkan, sebagai sastrawan, Rukiah tergabung dalam Lekra. Ia turut hadir dalam kongres nasional pertama Lekra di Solo pada Januari 1959. Dalam kongres tersebut, ia turut menggagas konsep “turba” yang harus dilakukan dalam kerja para seniman Lekra. Selain itu, bersama pelukis Affandi, Hendra Gunawan, dan sastrawan Rivai Apin, ia terpilih sebagai anggota Dewan Nasional Lekra.
Pada tahun 1961, Rukiah bahkan menghadiri kongres penulis di Jerman Timur sebagai perwakilan Lekra. Selanjutnya, ia semakin aktif menulis dan menjadikannya sebagai penulis yang progresif. Selama periode awal tahun 1960-an, tulisannya kerap menghiasi lembar Api Kartini, Zaman Baru, juga Harian Rakyat. bersama Pramoedya Ananta Toer, ia bahu-membahu mengasuh rubrik kebudayaan di surat kabar Bintang Timur, Lentera.
Peristiwa Gestok pada tahun 1965, mengubah kariernya sebagai sastrawan. Keterlibatannya dalam Lekra menyebabkannya ia harus berpisah dengan keluarganya. Kepada BBC News Indonesia, penulis dan peneliti Giovanni Dessy Austriningrum menceritakan, bahwa setelah meletusnya Gestok, “Rukiah ditangkap dan menjadi tahanan di kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta dan rutan Bandung."
Selama masa penahannya, ia kerap diselimuti kegetiran. Hal ini tercermin dalam surat balasan yang kedua kepada Annabel Gallop pada Desember 1985.
“Selama di penjara, saya tidak diizinkan untuk melihat anak-anak yang saya cintai. Dan selama saya ditahan, saya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak saya: apakah mereka hidup melarat di kolong jembatan, atau apakah mereka mati kelaparan? (...) Jadi, bisa dibayangkan bagaimana saya tersiksa dan menderita di penjara. Pada akhirnya, kerinduan saya yang sangat besar akan anak-anak saya dan ketakutan saya terhadap mereka memaksa saya untuk menulis surat kepada Pemerintah untuk memohon pembebasan, dalam kondisi apapun," tulis Rukiah.
Pada 24 April 1969, pemerintah menerima permohonan pembebasan dengan syarat Rukiah dilarang untuk menulis kembali. Selain itu pemerintah akan melarang setiap penerbit untuk menerbitkan tulisannya, jika ia memaksa untuk menulis kembali. Menurutnya, hukuman yang dirasa berat tersebut, tidak terlepas dari gaya penulisannya yang kritis. Namun, karena rasa cinta kepada keenam anaknya, ia menerima semua persyaratan tersebut.
Dalam situs Perpustakaan Online Genosida 1965-1966, setelah dibebaskan, Rukiah kembali ke Purwakarta. Kehidupannya terasa berat, ia tidak dapat berjumpa dengan suaminya, Sidik Kertapati yang melarikan diri dan menjadi eksil di Belanda selama puluhan tahun setelah meletusnya Gestok di tahun 1965.
Pilihan suaminya tersebut tidak terlepas dari aktivitasnya yang dekat dengan Barisan Tani Indonesia (BTI). Maka, untuk menghidupi keenam anaknya, Rukiah beralih menjadi penjual kue. Kecintaanya terhadap tulis-menulis benar-benar ditinggalkannya demi keselamatan keluarganya.
Pada tahun 1996, ia menghembuskan napas terakhirnya di Purwakarta. Nama dan karya-karyanya dihilangkan dalam dunia sastra Indonesia. Barulah pada tahun 2017, kedua karya terbaik darinya yang berjudul Kejatuhan dan Hati dan Tandus diterbitkan kembali oleh Penerbit Ultimus di Kota Bandung.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Nuran Wibisono