tirto.id - Pada 9 Januari 1949, dalam sebuah pertempuran di desa terpencil bernama Dampit dekat Malang, Jawa Timur, seorang lelaki berusia 42 tahun berlari ke arah pasukan Belanda yang berada di hadapannya. Beberapa peluru kemudian menembus dahinya hingga tewas.
Lelaki itu bernama Abdul Rachman, Wakil Komandan dari Pasukan Gerilya Istimewa yang berdiri pada 24 Juli 1948 di Wlingi, Blitar, Jawa Timur. Ia termasuk orang Jepang yang memilih untuk bergabung dalam perjuangan Indonesia dalam menghadapi Sekutu.
Selain itu, seperti Tomegoro Yoshuzmi yang mendapatkan nama Arif dari Tan Malaka, saat meminta dirinya dibaiat sebagai orang Indonesia. Maka, Abdul Rachman adalah nama Indonesia yang diberikan oleh H. Agus Salim untuk Ichiki Tatsuo.
Berawal dari Pencarian Hidup Baru
Ia Lahir pada 1906 di Taraki, Prefektur Kumamoto, sebelah selatan Kyushu, Jepang, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Keluarganya keturunan Samurai yang mengabdi pada Klan Sagara, yang cukup berpengaruh pada abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-19. Meski begitu, Ichiki dan keluarganya hidup dalam kemiskinan.
Pasca perceraian kedua orang tuanya, ia tinggal bersama sang ibu yang membawanya menjadi penganut Katolik. Saat dirinya menginjak usia lima tahun, ia memiliki nama Sebastian sebagai nama baptis.
Ia tumbuh dewasa saat arus modernisasi di Jepang sedang berlangsung. Selain itu, ia turut mengalami masa transisi dari demokratis pada masa Taisho (1912-1926) menuju militeristik pada masa Showa (1926-1989).
Situasi tersebut mendorong dirinya dan sebagian besar pemuda dari desa untuk mencoba peruntungan baru dan mencapai kesuksesan hidup di luar Jepang, seperti yang santer dikabarkan majalah Shin-Seinen.
Saat menginjak usia 21 tahun, kesempatan untuk meraih kesuksesan hidup datang lewat sepucuk surat dari Indonesia.
Ichiki mendapat undangan dari kawannya, Tsuruoka Kazuo, pemilik toko kelontong-dikenal juga dengan nama toko Jepang-di Palembang untuk datang ke Pagar Alam, wilayah dekat Palembang. Temannya mengajak ia untuk bekerja di studio foto milik Miyahata Sechi (ketua komunitas masyarakat Jepang di Palembang)
Gayung bersambut, pada 22 Januari 1928, ia bertolak ke Palembang untuk memenuhi undangan. Dirinya bahkan belum menamatkan pendidikannya di sekolah menengah dan meninggalkan pekerjaan magangnya di studio foto yang berada di dekat tempat tinggalnya
Dalam waktu satu tahun setengah hidup di Palembang, tercatat ia telah mengirim 35 pucuk surat kepada ibunya.
Surat tersebut berisi tentang: “ambisinya untuk membangun studio foto terbaik di Laut Selatan dan harapannya untuk mengundang keluarga bergabung dengannya di Palembang untuk mencapai kebangkitan keluarga Ichiki yang saat itu sedang mengalami kemunduruan,” tulis Kenichi GotodalamLife and Death of ‘Abdul Rachman’ (1906-49): One Ascept of Japanese Indonesia Relationships.
Selain itu, untuk sementara waktu terjadi perubahan dalam dirinya. Ia merasa superior. Merasa sebagai bagian dari masyarakat kelas satu, ia kerap memandang rendah orang Indonesia dan orang Tiongkok sebagai orang-orang yang malas dan kotor.
Padahal, keberadaannya di perantauan merupakan ciri dari kelompok masyarakat yang gagal menyesuaikan diri dengan modernisasi di Jepang.
Selain menghabiskan waktu di studio foto, aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah membaca buku-buku agama dan filsafat. Hal tersebut, pada akhirnya membuka kesadaran dalam dirinya bahwa cara hidup masyarakat Jepang di sekitarnya tidak dapat mendukung kesuksesan yang ia harapkan.
Sejak saat itu, seiring dengan berkembangnya gelombang nasionalisme Indonesia, Ichiki mulai bergaul dengan masyarakat Indonesia dan meninggalkan pergaulannya dengan masyarakat Jepang serta masyarakat kulit putih di Gereja Katolik.
Pada 1933, ia berkunjung ke Bandung, setelah mengetahui saudaranya, Naohiro, meninggal dunia. Namun, ia memutuskan untuk tidak kembali ke Palembang dan memilih menetap di Kota Kembang.
Dalam pengamatannya, ia melihat bahwa orang Jepang di Kota Kembang hidup bahagia, makmur, dan terjalin keharmonisan dengan masyarakat setempat. Dirinya juga mengamati, telah banyak berdiri toko-toko Jepang dan terdapat sekolah dasar yang didirikan oleh masyarakat Jepang.
Ia kemudian bekerja di studio foto yang dikelola oleh Hoshina Katsukichi. Akan tetapi, karena merasa tidak cocok dengan majikannya, ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan memilih untuk bekerja sebagai kondektur bus di pinggiran kota Bandung.
Kembali ia merasa tidak cocok dengan pekerjaan barunya. Ia kemudian memutuskan untuk tinggal bersama keluarga dari gadis miskin bernama Iti, di sebuah kampung yang berada di Sumedang. Sejak saat itu, hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk menyusun kamus Indonesia-Jepang dan bekerja sebagai tukang kayu.
Ia semakin menyatu dengan orang Indonesia dan merasakan kedamaian dalam dirinya, tanpa mempermasalahkan kemiskinan yang kembali menyertai hidupannya. Lebih dari itu, ia merasa telah menemukan dirinya yang baru.
Ketertarikan dirinya terhadap situasi politik di Jepang, mendorong dirinya untuk sesekali berkunjung ke Japanese Club di Bandung, untuk sekadar mengikuti perkembangan yang terjadi di negaranya dari hasil membaca berita-berita di surat kabar Jawa Nippo dan Nichiran ShogyoShinbun. Pada tahun 1937, kedua surat kabar tersebut berfusi menjadi Toindo Nippo.
Kemudian, berbekal pengetahuan dan pemahamannya terhadap bahasa Indonesia, ia sesekali menerjemahkan artikel-artikel yang dibacanya, khususnya yang bertemakan semangat Bushido. Artikel itu kemudian dijualnya kepada surat kabar lokal untuk menambah penghasilan.
Propaganda Jepang dalam membebaskan Asia menjadi berita yang kerap tampil dalam kedua surat kabar tersebut dan membuat Ichiki hanyut dan terpedaya. Ia sangat meyakini bahwa negaranya akan membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa Barat.
Tidak lama kemudian, atas rekomendasi dari Machida Taisaku (pemimpin komunitas Jepang di Bandung), ia bekerja sebagai jurnalis di surat kabar Nichiran Shogyo Shinbun, yang juga kerap mempropagandakan sentimen anti-Belanda.
Sejak saat itu, bersama jurnalis Jepang lainnya, seperti Tomegoro Yoshizumi, ia masuk dalam radar pengawasan pemerintah kolonial Belanda, karena berpotensi dapat menghasut masyarakat di Hindia Belanda.
Pada tahun 1938, ia berangkat ke Tokyo untuk merealisasikan proyek surat kabar propaganda Jepang yang disiapkan untuk meningkatkan sentimen anti-Belanda secara langsung. Sayangnya, tidak lama kemudian, pemerintah kolonial Belanda mengirim sebuah telegram yang berisi larangan terhadap dirinya untuk kembali ke Jawa.
Selanjutnya, atas rekomendasi Iwata Ainosuke, ia kemudian dipekerjakan secara paruh waktu sebagai peneliti di Biro Laut Selatan Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat, yang bertugas untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan kolonial Barat di Laut Selatan.
Memasuki tahun 1941, ia menikahi seorang gadis. Di samping itu, dengan keyakinan bahwa Jepang akan membebaskan Indonesia, Ichiki semakin menyibukan dirinya dalam persiapan perang di Laut Selatan.
Ia pun menjalin persahabatan dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan yang dikirim secara diam-diam ke Jepang oleh teman Jepangnya di Indonesia. Bahkan, keduanya seringkali menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakan masa depan Indonesia setelah dibebaskan oleh Jepang.
Ia sering meluapkan rasa cintanya untuk Indonesia kepada anggota Kelompok Propaganda ke-16 Angkatan Darat Jepang. Selama perjalanan ke selatan “Ichiki selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya atau lagu-lagu Jawa dan tidak ada yang dibicarakannya selain Merdeka,” kenang Kolonel Machida Keiji dalam Kenichi Goto (1976).
Kembali ke Pulau Jawa
Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang. Rakyat Indonesia menyambutnya dengan penuh suka cita dengan keyakinan bahwa Jepang akan membawa kebebasan dan melenyapkan penderitaan rakyat Indonesia.
Ichiki kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai pemimpin redaksi dari surat kabar Asia Raya yang terbit di Jakarta. Ia mulai berkenalan dengan H. Agus Salim.
Tidak hanya itu, ia beberapa kali dilibatkan dalam acara resmi pemerintah militer Jepang sebagai penerjemah dan “mengusulkan pembentukan komite pengembangan bahasa Indonesia (Indonesiago Seibu Inkai),” tulis tim penyusun buku The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (2010).
Namun, tidak lama kemudian ia kecewa kepada Jepang, yang melarang segala aktivitas politik bagi rakyat Indonesia di awal masa pendudukannya. Dirinya juga sangat menyesali kebijakan-kebijakan Jepang, seperti romusha, yang menimbulkan penderitaan bagi rakyat Indonesia.
Kekecewaan kepada negaranya berlanjut, ketika Perdana Menteri Hideki Tojo dalam sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) pada tahun 1943, tidak sedikit pun menyinggung kemerdekaan untuk Indonesia.
Selanjutnya, ia bekerja secara paruh waktu di Divisi Pendidikan PETA di Bogor, sebagai penerjemah manual tentara Angkatan Darat Jepang, seperti Rikugun Hohei Soten (manual Infanteri).
Sejak saat itu, ia tinggal di rumah yang terpencil di sebuah perkebunan yang berada di Bogor dan mulai menyebut dirinya sebagai "gagak Bogor" – karena kulitnya agak gelap.
Di samping itu, ia turut aktif dalam mengelola majalah untuk PETA dan Heiho yang bernama Pradjoerit. “Melalui pekerjaannya, ia merasa masih bisa memberi pelayanan kepada rakyat Indonesia,” pungkas Kenichi Goto (1976).
Memihak kepada Indonesia
Pada 15 Agustus 1945, Jepang mengangkat bendera putih, tanda menyerah kepada Sekutu dalam perang di Laut Selatan. Jepang kemudian memilih patuh pada perintah Sekutu untuk menjaga status quo Indonesia dan menyatakan tidak terikat lagi pada janji kemerdekaan Indonesia.
Mengetahui sikap Jepang tersebut, kekecewaan dalam diri Ichiki semakin memuncak. Ia bahkan menanggalkan kewarganegaraannya dan memilih untuk membantu perjuangan rakyat Indonesia dalam menghadapi kemungkinan terburuk dari kedatangan Sekutu.
Mengutip kembali buku The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (2010), empat hari setelah mendengar berita kekalahan Jepang, ia bersama dua pemuda Indonesia mendatangi Mantan Kepala Pasukan Kejut PETA, Yanagawa Motoshige, untuk meminta kesediaanya bergabung dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Namun, tawaran tersebut ditolak.
Seturut Iip. D. Yahya dalam Oto Iskandar Di Nata: The Untold Stories (2017), sebelum membentuk Pasukan Gerilya Istimewa, tercatat bahwa Ichiki Tatsuo adalah orang Jepang yang menyerahkan uang rampasan perang kepada Otto Iskandar Dinata untuk membantu perjuangan Indonesia menghadapi Sekutu.
Namun, di tengah ketidakpastian siapa kawan dan siapa musuh, penyerahan uang tersebut berkembang menjadi sebuah fitnah kepada Otto, yang dianggap telah menjual kota Bandung kepada NICA seharga satu milyar gulden.
Setelah itu, Otto dicap sebagai pengkhianat hingga berujung pada penculikan dan dieksekusi mati kepada dirinya oleh Laskar Hitam di Pantai Mauk, Tangerang.
Berita kematian Otto sampai kepada Ichiki. Ia sangat menyesali kematian dari sosok yang dikenalnya sejak bersama-sama terlibat dalam penerbitan majalah Pradjoerit pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa Ichiki kepada Indonesia, Presiden Sukarno menyimpan sebuah prasasti yang memuat namanya di Kuil Buddha Shei Shoji, ketika melawat ke Tokyo pada tanggal 15 Februari 1958.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Dwi Ayuningtyas