Menuju konten utama
Mozaik

Agen Dinas Rahasia Jepang dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Dalam kekalutan revolusi kemerdekaan, seorang intel Jepang melakukan aksi-aksi yang mendukung perjuangan Indonesia.

Agen Dinas Rahasia Jepang dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Header mozaik Yoshizuma Tomegoro. tirto.id/Tino

tirto.id - Kapal Cramer berlayar dari Tanjung Priok menyusuri Selat Sunda pada 9 Januari 1942. Ia membawa sekitar seribu orang Jepang yang ditawan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kapal sejenak menepi di Cilacap, menjemput tawanan lainnya. Perjalanan lalu dilanjutkan menuju Pelabuhan Adelaide, Australia.

Kala itu, hubungan Jepang dengan Belanda memanas setelah buntunya kesepakatan Perdagangan II antara keduanya pada Juni 1941 di Batavia.

Jepang menuntut ketersediaan minyak dalam jumlah yang lebih besar untuk cadangan bahan bakar pesawat. Belanda curiga Jepang tengah bersiap untuk perang. Terlebih, Jepang telah menyatakan diri bergabung ke dalam Blok Axis bersama Jerman dan Italia.

Dalam perjalanan, para tawanan dihadapkan dengan situasi sulit. Udara bau dan kotor. Para wanita hamil kesulitan mendapatkan air minum, dan beberapa tahanan mulai terserang disentri, tubuh mereka mulai kurus kering.

"Kalau tidak keliru, ada tiga orang Nippon dalam perjalanan ke Australia yang mati dalam Kapal Cramer. Mayat orang yang meninggal itu, oleh serdadu Belanda, hanya dibungkus dengan kain goni, tanpa disembahyangkan terlebih dahulu langsung dibuang ke laut," kenang Tomegoro Yoshizumi, dikutip dari Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi (2014) Wenri Wanhar.

Setibanya di Pelabuhan Adelaide, para tawanan dipisahkan. Yoshizumi yang tidak membawa anak dan istri, diberangkatkan kembali menggunakan kereta api menuju sebuah kamp bernama Lab Day.

Bersama tawanan lain, ia harus tidur di atas rumput kering, membangun kemah, dan upah kerja sebagai tukang yang hanya satu sen dalam sehari. Tak jarang ia mendapat perlakuan kasar dari para penjaga kamp. Ia akhirnya menderita penyakit radang paru-paru.

"Lebih dari 100 orang Nippon dirawat di rumah sakit akibat keadaan buruk di kamp," ungkapnya.

Mengutip surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 27 Januari 1942, pembuangannya ke Australia berawal saat ia ditangkap oleh PID (Polisi Rahasia Belanda) di Bangka, Sumatra Selatan, pada 9 Desember 1941. Saat itu ia membawa uang senilai 57.000 gulden yang diakuinya diterima dari Konsulat Jenderal Jepang.

Menarik Simpati Pribumi dan Peranakan Tionghoa

Yoshizumi pertama kali datang ke Hindia Belanda pada tahun 1932. Ia mendapat tugas sebagai intel dari militer Jepang untuk mengawasi situasi dan kondisi Hindia Belanda.

Saat pertama kali datang, ia menyamar sebagai pekerja di toko kelontong milik saudaranya. Setelah itu, ia berubah menjadi seorang saudagar dan membangun hubungan baik dengan orang-orang pribumi di Jawa dan Sulawesi.

Tiga tahun berikutnya, Yoshizumi bekerja sebagai jurnalis di surat kabar propaganda Jepang Nichiran Shogyo Shinbun yang kerap mempropagandakan jargon "Asia untuk Asia".

Dalam beberapa tulisannya, ia menyerukan persatuan bagi orang-orang Jepang di Hindia Belanda untuk mengakhiri penindasan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini mendorong terbentuknya organisasi pertama Jepang yang berdiri di Surabaya pada 1938 bernama Nihon Jin Seinen Kai.

Mengutip buku Ten Years of Japanese Burrowing in the Netherlands East Indies (1942), di saat bersamaan, sentimen anti-Jepang semakin tinggi di kalangan peranakan Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda setelah Jepang menginvasi Manchuria pada 1937.

Di bawah instruksi Ataru Toyoshima (kepala seksi urusan Tionghoa di Konsulat Jepang) di Batavia, Yoshizumi dilibatkan dalam sebuah operasi yang ditujukan untuk meredam sentimen tersebut dan menumbuhkan sentimen anti-Belanda di kalangan Pribumi dan peranakan Tionghoa.

Aktivitasnya ini mengundang kecurigaan PID dan Pemerintah Kolonial Belanda. Akibatnya, mengutip surat kabar Soerabaiasche-Handelsblad edisi 28 Januari 1942, pada Februari 1941 Yoshizumi diusir dari Hindia Belanda.

Setibanya di Jepang, ia bekerja di Seksi Delapan Departemen Tiga dari Angkatan Laut Jepang. Yoshizumi kemudian dilibatkan dalam sebuah operasi rahasia ke Bangka yang berujung pada pembuangannya ke kamp tawanan di Australia.

Membentuk Hana Kikan

Setelah berbulan-bulan di kamp Lab Day, Australia, pada 1 Oktober 1942 ia kembali ke Batavia, bagian dari pertukaran tawanan perang dengan Sekutu, khususnya Inggris.

Tidak lama kemudian ia berangkat ke Makassar untuk mendirikan dan melatih anggota organisasi intelijen Angkatan Laut Jepang bernama Hana Kikan. Organisasi ini dibentuk untuk mengumpulkan informasi tentang wilayah pendudukan Angkatan Laut Jepang.

Pada November 1942, penyakit selaput dada yang dideritanya akibat penyiksaan Sekutu di pembuangan, ia sementara waktu kembali ke Jepang untuk menjalani pengobatan.

Di sela-sela masa pemulihan, ia kerap menyambangi KOA Senmon Gakko (Sekolah Kejuruan KOA) dan Konan Gakuin Minami (Sekolah bahasa Konan), yang juga sering didatangi para jurnalis Tohindo Nippo, seperti Ichiki Tatsuo.

Yoshizumi berhasil merekrut para pelajar untuk menjadi anggota Hana Kikan yang diberi pelatihan di Makassar selama dua bulan. Setelah itu, mereka disebar ke beberapa wilayah yang diduduki Angkatan Laut Jepang (Kaigun).

Serangan bom Sekutu di Makassar, membuat markas Hana Kikan dipindahkan ke Surabaya yang merupakan basis Armada Laut Kedua di Selatan. Meski demikian, hingga awal Februari 1944, permintaan untuk pengiriman pelajar masih terjadi sebelum akhirnya bubar pada 1 April 1944.

Membantu Perjuangan Indonesia

Yoshizumi kemudian bertolak ke Jakarta dan diangkat sebagai kepala intelijen Kaigun Bukanfu di bawah pimpinan Laksamana Muda Tadashi Maeda.

Di tengah posisi Jepang yang kian terdesak dalam Perang Pasifik dan janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang, ia mulai membangun hubungan dengan para tokoh perjuangan Indonesia dan memilih untuk membantu kemerdekaan Indonesia.

Pada Oktober 1944, bersama sahabatnya, Shigetada Nishijima, setelah mendapat jaminan perlindungan dari Laksamana Maeda, ia mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di kantornya yang terletak di Jalan Kebon Sirih No. 80. Asrama ini dipersiapkan untuk memberi pelatihan kepemimpinan bagi para pemuda Indonesia.

Seturut Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946 (2008), pada Mei-Juni 1945, ia bersama kerabat kerjanya, Entol Chaerudin, melawat ke Banten untuk membuka hubungan dengan para ulama, jawara, dan pemuda. Mereka diberi pelatihan perang gerilya dalam menghadapi ancaman Sekutu.

Hal ini menjadi modal berharga untuk mendukung perjuangan Tan Malaka di Banten selatan. Selain itu, bersama Nishijima, ia turut memberi bantuan logistik, seperti sebuah mobil, makanan, fasilitas radio, dan senjata.

Infografik mozaik Yoshizuma Tomegoro

Infografik mozaik Yoshizuma Tomegoro. tirto.id/Tino

Sikap dukungan tersebut didasari kekagumannya kepada Tan Malaka ketika keduanya berjumpa untuk pertama kalinya di rumah Ahmad Subarjo di Jalan Cikini 82. Bahkan ia tak segan untuk "dibaiat" demi menjadi orang Indonesia. Tan Malaka kemudian menyematkan nama Arif untuk mengganti nama Yoshizumi.

Setelah beberapa waktu menemani Tan Malaka di Banten selatan, ia kemudian bertolak menuju sebuah galangan kapal yang didirikan kolonial Belanda bernama Marine Establishment di Ujung, Surabaya. Ia menemui Affandi--Kepala Serikat Buruh Penataran Angkatan Laut (PAL)--yang sebelumnya bekerja di galangan kapal tersebut.

Di bawah bimbingannya, Affandi menggerakkan ribuan buruh PAL untuk mempreteli dan mengeluarkan barang-barang dari galangan kapal agar tidak dapat dimanfaatkan oleh Sekutu di kemudian hari.

Barang-barang itu justru dimanfaatkan untuk memproduksi senjata sendiri yang berujung pada pendirian pabrik dan bengkel senjata pertama di Indonesia yang berada di Mojopanggung, Blitar, dan Kediri.

Pada Juli 1946, meletus pertempuran laut pertama pasca kemerdekaan di Selat Bali antara TKR Laut bersama beberapa pasukan pemuda dengan pasukan patroli Belanda. Pertempuran tersebut terjadi dalam misi perebutan senjata Jepang di Bali.

Meski tidak terlibat secara langsung, Yoshizumi adalah orang yang memantik pertempuran setelah memberikan informasi kepada Prabowo (salah satu pimpinan pemuda di Surabaya) tentang keberadaan senjata Jepang di Bali.

Pada 10 Agustus 1948, ia gugur di Gunung Sengon saat memimpin aksi gerilya dari Pasukan Gerilya Istimewa. Makamnya dapat dijumpai di Taman Makam Pahlawan Raden Widjaja Blitar. Ia adalah salah satu orang Jepang yang tercatat turut hadir menyaksikan perumusan naskah Proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.

Menurut Nishijima dalam Benedict Anderson (2018), keputusan Yoshizumi membantu perjuangan Indonesia tidak lepas dari perlakuan buruk Sekutu kepadanya selama berada di kamp tahanan.

Baca juga artikel terkait INTELIJEN atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi