Menuju konten utama
31 Juli 1556

Jejak Inspiratif Ignatius dari Loyola & Pendirian Serikat Jesuit

Jalan hidup Ignatius dari Loyola berubah usai mendapat luka serius dalam sebuah pertempuran. Kisahnya jadi inspirasi umat Katolik hingga kini.

Jejak Inspiratif Ignatius dari Loyola & Pendirian Serikat Jesuit
Header Mozaik Ignatius Loyola. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pada abad ke-16, Gereja Katolik menunjukkan tanda-tanda keterpurukan yang cukup parah. Bobroknya sistem manajemen internal kelembagaan, skandal dan intrik berkepanjangan, hingga lemahnya kredibilitas kelembagaan telah sangat melemahkan nilai-nilai spiritualitas yang pada awalnya menjadi bagian integral dari aktivitas Gereja. Keadaan itu diperparah dengan gagalnya beberapa upaya untuk mereformasi Gereja. Bahkan, beberapa upaya itu justru menimbulkan perpecahan.

Di tengah silang sengkarut konflik internal itu, ada dua faktor yang oleh para sejarawan dianggap sebagai momentum penting yang secara efektif “menyelamatkan” Gereja Katolik dari ambang kehancuran.

Momentum yang pertama adalah Konsili Trente. Konsili ini menegaskan kembali identitas dan misi rohani Gereja, merumuskan kembali “kebudayaan” Katolik, serta melakukan pembacaan yang lebih relevan atas realitas peradaban dan visi jangka panjang Gereja Katolik di tengah komunitas masyarakat global.

Konsili Trente juga secara langsung merangkul kembali setiap golongan masyarakat dengan menembus batasan-batasan seperti bahasa, ras, dan status sosial. Secara teknis, Konsili Trente juga merumuskan berbagai terminologi Katolik—seperti keselamatan, sakramen, kanonik—secara lebih detail sekaligus menjawab tudingan yang diarahkan oleh komunitas Protestan yang memberontak dari otoritas Vatikan.

Momentum penting kedua adalah lahirnya Societas Iesu, sebuah ordo dalam struktur kelembagaan Gereja Katolik yang kini dikenal dengan nama Serikat Yesus atau Serikat Jesuit (SJ). Ordo ini didirikan di Paris pada 27 September 1540 dan diformalkan di Roma. Sejak itu, Paus Paulus III memberikan izin langsung pendirian ordo ini dan mencatatnya sebagai salah satu ordo resmi Gereja Katolik.

Akan tetapi, usaha mendirikan SJ bukanlah usaha yang ringan. Tujuh orang pendirinya harus mengatasi berbagai tantangan yang rumit. Bahkan, ada keraguan bahwa membentuk ordo baru adalah langkah yang tepat.

Mereka yang mendengar ide pendirian SJ mulanya cenderung skeptis. Mereka memilih untuk bergabung dengan ordo lain yang lebih mapan, seperti Ordo Fransiskan atau Cartusian.

Di antara ketujuh pendiri, Ignatius dari Loyola dikenal paling unik karena bukan seorang pastor ataupun golongan rohaniawan. Dia hanyalah pemuda biasa yang punya karier militer cukup bagus dan hasrat berperang yang tinggi untuk Kerajaan Kastila—leluhur bangsa Spanyol.

Ignatius mengaku baru mendengar bisikan Tuhan ketika kakinya terluka parah dan harus menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit milik Gereja Katolik.

Luka yang Mengubah Hidup

Sebagai serdadu, Ignatius sangat kompeten. Meski masih muda, dia punya pengalaman panjang dan kerap terlibat dalam pertempuran-pertempuran penting sejak usia 18 tahun. Sejak 1504, dia mengabdikan diri pada bangsawan Antonio Manrique de Lara. Keahlian diplomasi, kepemimpinan yang baik, serta semangat bergelora Ignatius membuat sang bangsawan tak ragu mengangkatnya sebagai Servant of the Court, salah satu posisi paling penting dalam kerajaan.

Dari sekian banyak perang yang dilalui, Ignatius selalu selamat dan tak pernah medapat luka parah. Namun, sebuah perang besar di Pamplona pada 20 Mei 1521 mengubah hidupnya secara drastis.

Ceritanya, Ignatius tengah bertugas memimpin pertahanan dari serbuan pasukan ekspedisi Prancis-Navarra. Dia tak menyangka hari itu sebuah bola meriam yang ditembak ke arahnya langsung menghantam kaki kanannya dan membuat tempatnya berdiri hancur lebur. Beruntung, nyawa Ignatius berhasil diselamatkan.

Beberapa kawan mengangkat tubuhnya yang terluka parah dan merawatnya sebentar sebelum mengirimnya pulang ke tempat ayahnya di Loyola. Ada juga rumor yang menyebutkan bahwa Ignatius sebenarnya ditolong oleh sekelompok tentara Prancis yang kagum dengan kegagahannya selama perang.

Di Loyola, Ignatius menjalani beberapa operasi untuk menyelamatkan kaki kanannya. Di masa ketika teknik medis belum mengenal anestesi, dia harus menahan sakit selama perawatan itu. Pada akhirnya, serangkaian operasi itu membuat kaki kanannya lebih pendek dari kaki kiri—dengan kata lain, dia kini pincang.

Kepincangan itu terang memaksanya berhenti dari militer. Dia juga tak bisa pergi terlalu jauh untuk sementara waktu karena ada masih ada serangkaian perawatan yang harus dijalani. Konon, di waktu-waktu inilah, Ignatius mendapatkan pengalaman religi dan merasa mendengar suara Tuhan menyapanya.

Menekuni Spiritualitas Kristiani

Di masa pemulihan setelah operasi itu, Ignatius memesan buku-buku bacaan mengenai kisah perjuangan, perang, dan roman patriotik yang khas di masa kerajaan-kerajaan Eropa kala itu. Dia memang sejak lama gemar membaca catatan perang dan kisah-kisah yang berkaitan dengan kehidupan ksatria Eropa karena minatnya yang tinggi pada dunia militer.

Namun, permintaan itu tidak bisa dipenuhi. Buku-buku semacam itu bahkan tidak pernah ada di rak buku rumah sakit yang dikelola oleh Gereja Katolik, tempatnya dirawat.

Magdalena Araoz, kakak iparnya, adalah salah satu orang yang paling rajin mengunjunginya selama masa rehabilitasi. Ignatius memang dikenal sangat dekat dengan Magdalena. Bahkan, ada kabar dia pernah jatuh hati pada perempuan yang kecantikannya sempat “mengganggu” aktivitas doanya.

Selain itu, dalam autobiografinya yang berjudul The Pilgrim’s Journey, Ignatius mengaku kerap berimajinasi mengenai seorang perempuan bangsawan yang disebutnya “certain noble lady”, meski tak diketahui secara pasti siapa perempuan yang dimaksud.

Mengetahui Ignatius kesulitan mendapatkan buku bacaan, Magdalena berbaik hati membawakan buku-buku miliknya kala berkunjung. Dia tak menyangka buku-buku pinjamannya itu kelak turut andil secara tak langsung mengubah sejarah Gereja Katolik.

Buku-buku yang dibawa Magdalena sebagian besar bertema religi, khususnya mengenai kehidupan Yesus dan orang-orang kudus lain. Lewat buku-buku itulah, mata batin Ignatius seakan terbuka. Dia langsung mengalihkan minatnya dan makin tekun mempelajari spiritualitas Kristiani.

Infografik Mozaik Ignatius Loyola

Infografik Mozaik Ignatius Loyola. tirto.id/Ecun

Salah satu buku penting yang dia baca adalah De Vita Christi yang secara langsung mengilhaminya untuk mengikuti teladan Fransiskus Asisi, salah satu orang kudus. Di masa-masa kemudian, Ignatius bahkan mengembangkan metode meditasinya sendiri dengan cara membayangkan berada pada peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam Perjanjian Baru.

Tak hanya mengembangkan metode meditasi, Ignatius bersama teman-temannya juga berjuang untuk mendirikan Serikat Jesuit. Namun, ordo baru ini belum memiliki seorang pemimpin. Maka mereka kemudian bersepakat memilih Ignatius sebagai pemimpin—yang kemudian disebut superior.

“Draf pertama Konstitusi Ordo disetujui, dan batu pondasi bangunan diletakkan. Hal berikutnya adalah mengembangkannya di semua bagiannya, dan, di atas segalanya, memilih seorang pemimpin,” kata Pastor Geelli, SJ dalam bukunya The Life of St. Ignatius of Loyola (1988, hlm. 392).

Kebutuhan untuk memilih siperior semakin mendesak terutama karena Serikat Jesuit telah mendapat Sri Paus. Bahkan, Sri Paus telah berencana mengirim para pastor Serikat Jesuit ke seluruh dunia untuk menjalankan misi religi.

Sejak resmi berdiri pada 1540, aktivitas Serikat Jesuit terkonsentrasi pada bidang pendidikan, penelitian, kebudayaan, pelayanan kesehatan, serta kerja-kerja sosial. Dalam perkembangannya, Serikat Jesuit semakin terlibat jauh dalam kerja-kerja evangelisasi dan pelayanan di lingkungan Gereja Katolik. Hingga Abad ke-20, pastor Jesuit telah tersebar di lebih dari 112 negara.

Ignatius dari Loyola meninggal di Roma pada 31 Juli 1556, tepat hari ini 466 tahun yang lalu. Cerita mengenai perjuangan dan jasanya dalam reformasi Gereja Katolik terus menjadi kisah inspiratif bagi para calon pastor dan murid-murid sekolah Katolik di seluruh dunia hingga hari ini.

Baca juga artikel terkait GEREJA KATOLIK atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi