Menuju konten utama

Jangan Hanya Impor, Indonesia Harus Mandiri Bikin Mobil Listrik

Indonesia berpotensi lebih untung jika mengembangkan mobil listrik sendiri ketimbang hanya mengimpor.

Jangan Hanya Impor, Indonesia Harus Mandiri Bikin Mobil Listrik
Petugas keamanan mengisi daya mobil operasional Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/11/2024). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.

tirto.id - Industri otomotif Indonesia semakin ramai dengan kedatangan VinFast, jenama mobil berteknologi ramah lingkungan asal Vietnam. Tidak hanya mendatangkan VF3 yang berjenis SUV mini, VinFast juga berkomitmen untuk membangun pabrik mobil listrik di Indonesia. Dengan total investasi mencapai US$200 juta atau sekitar Rp3,2 triliun, pabrik VinFast dikabarkan bakal berdiri di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Selain itu, VinFast bakal menanam investasi jangka panjang yang nilainya mencapai US$1,2 miliar.

Pabrik yang rencananya akan beroperasi pada akhir 2025 tersebut ditarget memiliki kapasitas produksi mencapai 50 ribu unit per tahun. Ia diperkirakan bakal menyerap sebanyak 1.000 hingga 3.000 tenaga kerja. Nantinya, pabrik tersebut akan memproduksi model e-SUV dengan kemudi kanan, seperti VF3, VF5, VF6, dan VF7.

Kami melakukan peletakan batu pertama untuk membangun pabrik di Subang. Namun, kami berharap dapat menyelesaikan sebelum akhir tahun ini,” ujar CEO VinFast, Pham Sanh Chau, di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

Anak perusahaan VinFast, Green and Smart Mobility Joint Stock Company (GSM), telah lebih dulu hadir di Indonesia. Sejak 18 Desember 2024, taksi-taksi berwarna biru muda dari GSM telah mengaspal di jalanan Jakarta.

Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menilai bahwa masuknya investasi VinFast di Indonesia membuktikan bahwa industri mobil listrik Vietnam berkembang jauh lebih pesat daripada Indonesia. Jika dibandingkan dengan Vietnam, menurutnya, Pemerintah Indonesiatelanjurterbiasa mengimpor mobil listrik ketimbang memproduksi sendiri.

Karena, oknum-oknum pejabat Indonesia itu merangkap jadi makelar. Mereka kan makelarnya mobil anak bangsa itu, kan,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (12/2/2025).

Berdasar data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesales (dari pabrik ke dealer) mobil listrik di Indonesia sampai akhir 2024 ialah sebesar 42.889 unit, melonjak 151,53 persen dari periode sebelumnya.

Sementara secara keseluruhan, Indonesia mendatangkan 97.010 unit mobil listrik hingga Desember 2024, tumbuh 9,1 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 88.915 unit.

Dari jumlah itu, Toyota menjadi importir terbesar dengan membawa 33.594 unit. Kemudian, disusul oleh produsen mobil listrik dan hibrida asal Cina, BYD, yang mendatangkan 16.767 unit mobil di sepanjang 2024.

Suzuki menduduki posisi ketiga dengan membawa 12.542 unit mobil ke Tanah Air. Sementara itu, Mitsubishi Motors berada di posisi empat dengan memasukkan 5.822 unit mobil, serta ada Mazda di posisi lima dengan mengimpor 4.377 unit mobil ke Indonesia.

Besarnya angka impor mobil listrik tersebut patut disayangkan. Pasalnya, menurut Djoko, Indonesia sudah cukup mampu untuk memproduksi mobil listrik sendiri. Ini terlihat dari PT Industri Kereta Api (Persero) atau Inka yang berhasil merakit bus listrik yang digunakan sebagai angkutanresmi dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 2022.

Lagi-lagi sangat disayangkan, bus listrik produksiInka tersebut kini sudah tak terdengar lagi kabarnya.

Ketika mereka-mereka itu disuruh, diminta untuk menyediakan bus, ada yang setuju, ada yang tidak mau. Akhirnya, buat PT Inka. PT Inka sudah buat, tapi ternyata enggak di-support oleh negara. Enggak dibayar lagi PT Inka-nya. Akhirnya, negara itu enggak beres. Enggak suka kalau bangsanya itu buat [kendaraan listrik] sendiri,” tegas Djoko.

Beda Indonesia dan Vietnam Soal Mobil Listrik

Dalam hal dukungan terhadap industri mobil listrik, Pemerintah Vietnam berbeda 180 derajat dari Indonesia. Demi mencapai target nol emisi pada 2050, Pemerintah Vietnam serius mengembangkan industri mobil listrik secara mandiri.

Keseriusan itu diwujudkan dengan membebaskan biaya registrasi, menurunkan tarif cukai bagi pabrikan-pabrikan yang memproduksi kendaraan berbasis listrik, dan memberikan pengecualian pajak mobil mewah untuk kendaraan listrik.

Dari sisi nonfiskal, Pemerintah Vietnam memberikan akses jalur khusus untuk kendaraan berpenumpang banyak, pengecualian jalur tol, pengisian daya gratis di jalan-jalan raya nasional, hingga mendukung penuh penelitian dan pengembangan teknologi kendaraan listrik.

Sementara di Indonesia, insentif malah lebih banyak dikucurkankepadaimportir-importir mobil listrik, baik dalam bentuk complete build-up(CBU) alias impor utuh maupun completely knocked-down(CKD) atau komponen rakitan.

“Perilaku pejabat kita harus diubah. Selama perilaku pejabat kita seperti ini, tidak bakal Indonesia itu maju. Kita hanya sebagai pemakai bisnis ini, tidak produsen. Jadi, Indonesia itu hanya tempat penjualan sampahnya negara lain. Yang untung adalah para oknum pejabat,” tutur Djoko.

Padahal, Indonesia berpotensi lebih untung jika mengembangkan mobil listrik sendiri ketimbang hanya mengimpor. Sebab, dalam pengembangan kendaraan listrik, akan tercipta pula ekosistem kendaraan listrik yang pastinya juga akan melibatkan banyak tenaga kerja dalam proses produksi.

Ya kalau [bikin] begini kan harusnya uangnya kan untuk bangsa sendiri juga kan, masuk juga ke negara. Pasar kita lebih baik. Kalau kita mau buat, prototipenya bisa. Cuman pejabatnya gak mau. Semuanya serba impor-impor,” jelas Djoko.

Selain tak ada dukungan dari pemerintah, sulitnya pengembangan mobil listrik di Indonesia juga disebab oleh banyaknya jenama mobil yang sudah masuk di Tanah Air, terutama pabrikan Jepang.

Pakar Otomotif, Bebin Djuana, menjelaskanbahwa banyaknya jenama mobil di Tanah Air membuat pemerintah tak bisa hanya menunjuk satu produsen untuk fokus pada pengembangan mobil listrik.

Belum lagi, ada banyak kepentingan ekonomi dan politik di Indonesia sehingga pemerintah tak bisa dengan mudah menunjuk jenama tertentu untuk menjadi pionir produsen mobil listrik asli Indonesia.

Itu sistem politiknya kan juga beda. Kalau di Vietnam, ketika pemerintahnya sudah menentukan atau menyampaikan kepada pengusaha bahwa kita akan mengarah ke kendaraan listrik, maka itu akan dijalankan oleh pengusahanya. Sementara di Indonesia, memang kita kondisi sudah beda karena banyak merek yang ada di negara kita,” kata Bebin saat dihubungi Tirto, Rabu (12/2/2025).

Selain itu, kebijakan terkait mobil listrik di Indonesia terbilang “kendor”. Hal itu membuat para pengusaha memproduksi mobil sesuai dengan perhitungan keuntungan yang telah mereka buat. Sehingga, visi pemerintah dan produsen pun tak berkesesuaian.

Nah, makanya kok si VinFast bisa sampai segitu besarnya, ya karena mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pemerintah. Sementara juga di sana, kan pemerintahnya tinggal tunjuk VinFast. Kalau di Indonesia, mau tunjuk siapa untuk menjadi leader?” imbuh Bebin.

Upaya Pemerintah

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Setia Diarta, mengakui bahwa pengembangan industri mobil listrik sangat penting dilakukan Indonesia.

Apalagi, untuk mencapai target nol emisi, strategi dekarbonisasi melalui inovasi teknologi dan konsep industri hijau menjadi hal yang mutlak dilakukan.

Karenanya, Setia mendorong industri otomotif Indonesia untuk memperkuat pengembangan kendaraan ramah lingkungan dan berdaya saing tinggi.

“Dengan detil market share penjualan domestik pada tahun 2024, untuk jenis EV [mobil listrik jenis hybrid, PHEV dan BEV] mengalami peningkatan sebesar 60 persen dari tahun sebelumnya,” kata Setia dalam gelaran Carbon Neutrality Mobility Event Toyota, dikutip Antara, Rabu (12/2/2025).

Perlu diketahui, dari total penjualan mobil yang sebanyak 865.723 unit, mobil battery electric vehicle(BEV) berkontribusi sebanyak 43.143 unit. Angka itu naik 152 persen dibanding periode sebelumnya yang hanya sebesar 17.062 unit.

Angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan minat dan concern masyarakat terhadap kendaraan energi terbarukan,” imbuh Setia.

Sementara itu, untuk menggenjot pertumbuhan industri mobil listrik pada 2025, pemerintah telah menyiapkan berbagai kebijakan. Salah satunya adalahpemberian fasilitas bea masuk dan pajak pertambahan nilai untuk barang mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah (DTP) kepada perusahaan yang sedang membangun fasilitas produksi atau mengembangkan lini produksi kendaraan bermotor berbasis baterai (KLBB).

Kemudian, pemerintah juga akan menanggung PPN kendaraan listrik sesuai dengan capaian tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk pabrikan kendaraan penumpang dan komersial yang memasarkan produknya di Indonesia.

Tentu kendaraan yang masuk [insentif] adalah kendaraan yang ramah lingkungan. Mau KBH2 [Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau] yang sebelumnya sudah ada, termasuk kategori ramah lingkungan karena CO₂-nya rendah, lebih kecil dibandingkan kendaraan lainnya," kata Setia dalam acara Prospek Otomotif 2025 beberapa waktu lalu.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi