tirto.id - Jaksa Penuntut Umum KPK tak hanya menuntut Gubernur Bengkulu Nonaktif Ridwan Mukti dihukum 10 tahun penjara terkait dengan kasus suap yang melibatkannya. Jaksa KPK juga meminta majelis hakim di perkara ini mencabut hak politik Ridwan Mukti untuk dipilih dalam ajang pemilu.
"Dia gubernur, namun sesuai fakta persidangan terbukti berbuat korupsi meminta dan menerima uang Rp1 miliar dari kontraktor," kata Jaksa KPK Khaerudin dalam persidangan Tipikor di Pengadilan Negeri Kota Bengkulu, Kamis (7/12/2017) seperti dikutip Antara.
Tuntutan pencabutan hak politik selama lima tahun itu melengkapi pidana kurungan dan denda yang dibebankan kepada Ridwan Mukti akibat perbuatannya. "Cuma hak untuk dipilih, untuk memilih tetap bisa, kami merasa ganjaran ini adil," kata Khaerudin.
Jaksa KPK menuntut Ridwan Mukti beserta istrinya Lily Martiani Maddari dengan pidana 10 tahun karena terbukti menerima dan meminta suap berupa uang senilai Rp1 miliar dari kontraktor proyek pembangunan jalan di Provinsi Bengkulu.
"Terdakwa ini tidak punya niat baik di persidangan dan menyangkal perbuatan yang telah terbukti di fakta persidangan. Selain itu, mereka berbeda dengan Rico (pengusaha yang turut ditangkap), dia perantara," kata Khaerudin.
Selain tuntutan 10 tahun pidana kurungan, Ridwan dan Lily juga dibebankan denda Rp400 juta atau subsider empat bulan kurungan.
KPK mendakwa Ridwan dan Lily diyakini melanggar Pasal 12 huruf a dan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sementara itu, kuasa hukum Ridwan, Rujito merasa keberatan pencabutan hak politik dari kliennya sebagaimana tuntutan jaksa. "Tentu kami keberatan, karena hak politik secara konstitusional kan tidak bisa dicabut," ujarnya.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom