tirto.id - Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai penolakan dari banyak kalangan mulai dari pengusaha hingga pekerja. Aturan ini terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.
Tapera dinilai kurang tepat sebelum ada pengawasan. Tidak hanya itu, aturan ini juga diduga bakal menjadi ladang korupsi baru.
“Yang namanya celah korupsi pasti ada,” kata pakar hukum pidana Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini, saat berbincang dengan Tirto, Jumat (31/5/2024).
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk seluruh pekerja telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam pasal 15 ayat 1 pemerintah menetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja.
Rinciannya, besaran simpanan peserta pekerja yang ditanggung sebesar 2,5 persen. Sisanya 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Sedangkan untuk peserta pekerja mandiri atau freelancer, akan ditanggung sendiri oleh mereka.
“Pertanyaannya siapa yang benar-benar akan menerima manfaatnya, dan mekanismenya apabila terjadi korupsi, atau tujuannya tidak tercapai?” ujar Orin.
Iuran Tapera yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk subsidi silang bagi peserta yang belum memiliki rumah untuk mendapatkannya dengan berbagai skema yang mudah.
Tak hanya itu, dana Tapera juga diinvestasikan pada deposito perbankan, surat utang/sukuk negara, surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman, serta bentuk investasi lain yang aman dan menguntungkan sesuai dengan amanat UU Tapera.
“Apapun itu konsep pengumpulan dananya, yang namanya celah korupsi pasti ada,” ujar Orin.
Sejak awal pertimbangan terhadap kebijakan ini pun, Orin mengakui, masih belum jelas tujuannya. Dia justru mempertanyakan adakah berbasis bukti yang dapat diverifikasi dari sisi keilmiahannya yang objektif terhadap kebijakan ini, jika belum ada maka, pemerintah harus menjelaskan secara transparan.
“Jangan seperti tiba-tiba ‘memajaki’ rakyat sendiri, seperti berbisnis dengan rakyat kecil, sudah begitu, tidak jelas pula benefit apa yang akan diterima dan apakah ini tepat sasaran dan inilah yang benar-benar dibutuhkan mereka,” ujar Orin.
Sudah banyak kasus-kasus besar pemerintah tidak mampu bertanggung jawab ketika masyarakat merugi atas dana yang dikelola. Seperti kasus Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Di ketiga kasus itu, sejumlah dananya diselewengkan dan merugikan peserta.
Dalam kasus Asabri, pengelolaan keuangan dan dana investasi dilakukan perseroan selama 2012-2019 tidak sesuai dengan aturan. Kecurangan itu berupa kesepakatan pengaturan, penempatan dana investasi pada beberapa pemilik perusahaan atau pemilik saham dalam bentuk saham dan reksadana.
Kasus ini bermula ketika para terdakwa kasus Asabri bersepakat dengan pihak luar yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio PT Asabri (Persero) pada rentang 2012-2019.
Mereka menukar saham dalam portofolio PT Asabri dengan saham-saham milik terdakwa dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi. Manipulasi harga tersebut bertujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik.
Setelah saham-saham tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh para terdakwa seolah-olah saham bernilai tinggi dan likuid. Padahal transaksi tersebut hanya transaksi semu untuk menguntungkan para terdakwa serta merugikan investasi Asabri. Hal tersebut dikarenakan Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga di bawah harga perolehan saham tersebut.
Sementara PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mencatatkan diri sebagai perusahaan dengan gagal bayar polis terbesar dalam sejarah asuransi Indonesia. Ekuitas Jiwasraya pada kuartal III/2019 tercatat sudah minus Rp23,92 triliun—utangnya Rp49,6 triliun tapi asetnya hanya Rp25,6 triliun. Jiwasraya juga tercatat rugi Rp13,74 triliun per September 2019.
Manajemen Jiwasraya tidak melakukan analisis pembelian dan penjualan saham atas data yang valid dan objektif. Hal tersebut terlihat dari aset finansial pada instrumen saham sebanyak 22,4 persen atau senilai Rp5,7 triliun. Dari total tersebut, hanya 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45), sementara sisanya ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Jual-beli saham tersebut terindikasi dilakukan dengan 'kesepakatan harga' sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya. Dari transaksi tersebut, sejumlah pihak juga dicurigai menerima fee.
Tak hanya itu, aset finansial Jiwasraya pada instrumen reksadana juga tak mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Dari total 59,1 persen atau Rp14,9 triliun aset finansial Jiwasraya pada reksadana, hanya 2 persen yang dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja baik atau top tier management.
Sedangkan dalam kasus PT Taspen, KPK menemukan adanya dugaan kegiatan investasi fiktif yang dilakukan PT Taspen pada tahun anggaran 2019 dengan melibatkan perusahaan lainnya. Beranjak dari situ, tim penyidik mulai memeriksa sejumlah orang dan menggeledah tujuh lokasi berbeda di Jakarta.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita barang bukti seperti dokumen maupun catatan investasi keuangan, alat elektronik, dan sejumlah uang dalam pecahan mata uang asing yang diduga berkaitan dengan perkara.
“Jadi apapun itu konsep pengumpulan dananya, pasti ada [korupsi]. Aturan hukum yang muncul pro investasi tapi menyengsarakan masyarakat. Jadi kalau sekarang kebijakan ini mengkhawatirkan publik, terutama potensi korupsi nanti itu sah-sah saja,” ujar Orin.
Lebih lanjut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, justru melihat program Tapera ini merupakan bentuk kegagalan dari program Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) PNS. Dia pun tidak memungkiri akan ada indikasi korupsi terhadap program Tapera baru ini.
Mengingat KPS sendiri sebelumnya pernah menyelidiki alokasi dana yang dipotong dari para PNS setiap tahun pada program Bapertarum. Dugaan sementara KPK, dana tersebut tidak digunakan sesuai fungsinya yaitu untuk pengadaan perumahan.
Dalam situs resmi Bapertarum, juga, tidak terdapat laporan keuangan terbaru selama 2008. Hanya ada laporan keuangan 2007 yang menyatakan saldo dana Bapertarum hingga Desember 2007 adalah Rp 4,18 triliun. Disebutkan, dana yang telah disalurkan sepanjang 2007 adalah Rp2,12 triliun.
"Jadi mengingat Bapertarum pernah ada korupsi, sekarang Tapera ya sama aja," ujar Bonyamin saat dihubungi Tirto.
Jangan Sampai Terulang
Tingginya risiko terhadap korupsi Tapera, membuat Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, khawatir. Tak ingin terulang, Herman mengusulkan agar BP Tapera ke depannya berafiliasi dengan Bank Himbara.
Pertimbangannya, Bank Himbara memiliki kantor cabang di berbagai kota. Dia juga menilai perlu ada pengelolaan Tapera wajib dipercaya melalui sistem perbankan sudah sangat prudent dan aman untuk menyimpan dana publik.
“Jangan sampai kasus-kasus fraud yang terjadi sebelumnya kembali terulang sebagaimana kasus Jiwasraya lalu, di mana dana pensiun Asabri dan Taspen yang malah berujung pada permasalahan hukum,” ujar Herman dalam pernyataannya, Kamis.
Langkah tersebut perlu agar kasus-kasus fraud yang terjadi sebelumnya tidak terulang. Sebab itu, perlu dicarikan bagaimana pengumpulan dana publik dilakukan secara transparan, akuntabel, dan bijaksana.
“Ini banyak hal yang harus kita bicarakan dulu, diskusikan dulu supaya betul-betul kebijakan publik itu ketika diketok, ketika diberlakukan tentu juga dapat direspons secara positif oleh seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Herman.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, melihat masalah utama dari PP 25/2020 dan PP 21/2024 adalah sejak awal memang tidak dirancang untuk dikelola secara transparan dan akuntabel. Padahal seharusnya kewenangan besar yang dimiliki oleh Komite Tapera dan BP Tapera dalam melakukan pengerahan, pemupukan dan pemanfaatan dana, harus diikuti dengan fungsi pengawasan yang memadai.
“Karena minimnya fungsi pengawasan internal dan eksternal yang memadai, amat mungkin dana kepesertaan justru diselewengkan untuk kepentingan di luar Tapera itu sendiri,” ujar Alvin kepada Tirto.
Selain minimnya aspek pengawasan, aturan ini juga tidak memprioritaskan manajemen risiko dalam hal pemanfaatan dana kepesertaan. Pasal 27 ayat (3) huruf e hanya mencantumkan bahwa investasi akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, yang justru gagal memberikan kejelasan tentang tata kelolanya.
Alvin menilai minimnya perhatian terhadap manajemen risiko investasi ini amat berbahaya sehingga pengambilan keputusan investasi justru akan menguntungkan pihak yang memiliki konflik kepentingan ataupun relasi politik, bukan untuk kepentingan peserta Tapera.
“Pada akhirnya publik sulit membayangkan tata kelola Tapera yang minim akuntabilitas ini tidak akan menghasilkan praktik korupsi, abuse of power, dan fraud dalam jangka panjang,” ujar Alvin.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin