Menuju konten utama

iPad di Sekolah Rakyat: Kemajuan atau Kesalahan Langkah?

Rencana penggunaan iPad di Sekolah Rakyat menuai kritik karena dinilai tidak tepat sasaran dan mengabaikan kebutuhan dasar literasi dan numerasi siswa.
 
 

iPad di Sekolah Rakyat: Kemajuan atau Kesalahan Langkah?
Calon siswa Sekolah Rakyat mencoba mengoperasikan komputer saat Simulasi Pembelajaran Sekolah Rakyat di Internasional Islamic Boarding School (IBBS) Al Hikmah, Batu, Jawa Timur, Senin (19/5/2025). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.

tirto.id - Pemerintah lewat Kementerian Sosial (Kemensos) berencana meluncurkan program Sekolah Rakyat pada Juli 2025. Salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto ini menjadi upaya pemerintah memutus rantai kemiskinan di Indonesia.

Sekolah gratis berkonsep asrama ini menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang masuk desil 1 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Rencananya, Sekolah Rakyat akan hadir dari jenjang SD, SMP, dan SMA. “Tiap sekolah diharapkan ada 1000 siswa dan kita diperintah di tahun ini sudah bisa membuka di 100 titik,” ujar Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono dari situs resmi, Jumat (16/5/2025).

Tidak hanya tersebar, Sekolah Rakyat juga akan punya standar tersendiri. Dalam keterangan resmi situs Kemensos, dikatakan kalau setiap Sekolah Rakyat akan punya fasilitas lengkap; mulai dari laboratorium, fasilitas olahraga, asrama, sampai dengan penyediaan kebutuhan dasar mulai dari seragam sampai alat belajar yang mengikuti perkembangan zaman.

“Siswanya bukan kita kasih buku ataupun kapur, tapi sudah menggunakan iPad. Setiap siswa sudah menggunakan iPad, jadi sistem pendidikan yang akan kita gunakan itu berbasis teknologi,” ujar Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono dalam keterangan resmi, Jumat (16/5/2025).

(Lompat ke garis waktu 25:12, untuk ke bagian terkait)

Meski terkesan canggih dan progresif, upaya ini nampaknya kurang tepat sasaran. Sebab, pemanfaatan gawai bagi kegiatan belajar-mengajar, apalagi di tahap awal, malah bisa memberi dampak buruk bagi proses belajar anak.

“iPad tidak menjadi kebutuhan dasar anak hari ini,” ucap Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, kepada Tirto pada Rabu (4/6/2025).

Menurut dia, pendidikan seharusnya fokus dengan peningkatan kemampuan literasi, numerasi, dan saintifik. Tiga modal pendidikan dasar itu penting agar pembelajaran tidak terjebak dalam jebakan digitalisasi.

Ubaid mengatakan penggunaan gawai tidak akan memberi banyak manfaat tanpa kemampuan literasi yang mumpuni. Dia menegaskan proses pendidikan seharusnya selangkah demi langkah. “Penggunaan gawai (tingkatnya) di atas kemampuan dasar. Itu bisa dipakai jika kemampuan dasar kuat,” ucap dia.

Ia menyebut penajaman kemampuan dasar dengan media buku teks masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pendidikan di Indonesia. “Mereka bisa membaca, tapi hanya membaca. Tapi gak bisa memahami, menganalisis, mengaitkan inti dari bacaan dengan konteks hari ini,” tambah Ubaid lagi.

Dia juga menambahkan kalau akses ke perangkat seperti iPad juga malah rawan membuka jebakan konten negatif di internet seperti pornografi atau radikalisme, tanpa pengawasan yang optimal. Adanya kasus dugaan korupsi pengadaan perangkat Chromebook, yang melibatkan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset Teknologi (Kemendikbudristek), membuat upaya digitalisasi di lingkup pendidikan ini makin terlihat tak elok.

Ubaid juga mengambil contoh negara Skandinavia yang malah mengembalikan pendidikan menggunakan buku teks ketimbang memanfaatkan gawai.

Riset Mangen, Walgermo, dan Bronnik pada tahun 2013 juga menunjukkan efektivitas pembelajaran dengan buku teks.

Penelitian yang melibatkan 72 anak, usia 15-16 tahun di dua sekolah dasar di Norwegia ini, membandingkan secara langsung hasil dari membaca informasi yang sama dalam media kertas dan fail pdf. Kemudian para siswa tersebut diminta mengerjakan soal pilihan ganda dan pertanyaan singkat setelah menyelesaikan tulisan naratif panjang.

Kelompok siswa yang membaca dengan media kertas menampilkan performa lebih baik ketimbang mereka yang membaca di komputer. Hasil menunjukan bahwa membaca teks linear menggunakan kertas lebih meningkatkan komprehensifitas dibanding membaca teks yang sama lewat layar.

Ilustrasi tidak lancar membaca

Ilustrasi tidak lancar membaca. FOTO/iStockphoto

Laporan riset menyoroti posisi baca sebagai salah satu faktornya. Bagi pembaca kertas, posisi baca tidak berubah berubah. Sedangkan pembaca layar mengharuskan scrolling sehingga mengganggu ingatan spasial dan perolehan informasi.

Tidak hanya itu, pembaca di kertas cuma perlu membalik kertas untuk lanjut ke halaman berikutnya. Sementara pembaca teks di layar komputer memerlukan aksi sejumlah langkah multitasking yang menambah beban kognitif.

Terdapat juga perbedaan meta-kognisi antara pembaca kertas dan pembaca layar. Pembaca kertas dinilai lebih mengkondisikan diri untuk melakukan pembacaan mendalam dan serius. Sedangkan pembaca di layar cenderung memiliki persepsi untuk membaca lebih cepat dan superfisial.

Dari aspek ergonomik, pembaca di layar juga menerima sinar layar yang dapat menyebabkan kelelahan visual. Meskipun studi ini tidak lebih dalam menganalisis aspek ini.

Bantahan Rencana Penyedian iPad di Sekolah Rakyat

Terkait wacana penggunaan iPad untuk kegiatan belajar di Sekolah Rakyat, Sekretaris Jenderal Kemensos, Ruben Rico, membantah rencana tersebut . ”Kalau beli iPad-nya enggak ada, setau saya nggak ada,” ucapnya kepada Tirto pada Rabu (4/6/2025).

Namun, Ia mengatakan kalau Sekolah Rakyat akan menjalankan pendidikan berbasis teknologi dan digitalisasi. Lebih tepatnya, Sekolah Rakyat akan menggunakan sistem smart school.

Implementasinya akan menggunakan learning management system dengan aplikasi. Sehingga terdapat keseragaman kurikulum dari Aceh sampai ke Papua.

Simulasi pembelajaran Sekolah Rakyat

Menteri Sosial Saifullah Yusuf (kanan) melihat proses Simulasi Pembelajaran Sekolah Rakyat di Internasional Islamic Boarding School (IBBS) Al Hikmah, Batu, Jawa Timur, Senin (19/5/2025). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.

Selain itu dia juga menegaskan Sekolah Rakyat akan menekankan pendidikan karakter mengutamakan pendidikan agama, kepemimpinan, dan keterampilan lainnya. “Sekolah rakyat yang diutamakan kan pendidikan karakternya, di luar pendidikan formalnya,” tambah Ruben.

Dia lantas menjelaskan, saat ini Sekolah Rakyat sudah memasuki tahap persiapan sarana-prasarana. Mereka juga berupaya memastikan program ini tepat sasaran. Salah satunya dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah calon murid. “Agar nanti calon siswanya memang benar-benar tidak disusupi yang lain, tapi benar dari anak yang memang dari keluarga yang tidak mampu,” imbuhnya.

Sementara itu Koordinator nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, skeptis dengan anggaran Sekolah Rakyat. Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menyebut total anggaran operasional Sekolah Rakyat untuk 100 lokasi pada tahun ajaran 2025-2026 akan mencapai Rp2,3 triliun. Biaya belajar masing-masing siswa akan mencapai Rp48,2 juta.

Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), setiap siswa mendapat subsidi antara Rp900 ribu-Rp1,2 juta per tahun.

Salim dalam wawancara dengan Tirto, Rabu (4/6/2025), juga mengatakan kalau Kemensos tidak punya reputasi mengelola sekolah apalagi yang dengan asrama. Hal ini juga perlu mendapat perhatian tersendiri.

Dia juga menyoroti fokus pemerintah yang lebih condong ke Sekolah Rakyat, kelolaan Kemensos dan SMA Unggul Garuda, asuhan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdiktisaintek).

“Kami khawatir 90 persen anak di sekolah yang lain –bahkan 95 persen, tidak menjadi perhatian serius dari negara, tidak ada affirmative action bagi mereka, misalnya dari segi anggaran BOS, dari segi fasilitas yang dilengkapi, dari segi guru-guru yang berkualitas,” ucap Satriwan.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH RAKYAT atau tulisan lainnya dari Faisal Bachri

tirto.id - News Plus
Reporter: Faisal Bachri
Penulis: Faisal Bachri
Editor: Alfons Yoshio Hartanto