tirto.id - Niat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan anak-anak dari keluarga miskin atau kurang mampu dapat bersekolah, adalah rencana yang patut dipuji. Namun, jika langkah yang diambil justru berpotensi melahirkan kesenjangan dan diskriminasi pendidikan, ada baiknya wacana tersebut ditinjau ulang. Hal ini berkaitan dengan wacana membangun Sekolah Rakyat yang dikhususkan untuk anak-anak dari keluarga miskin. Sekolah yang bakal ada di bawah Kementerian Sosial (Kemensos) ini akan dinamai Sekolah Rakyat.
Wacana ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, pekan lalu. Cak Imin, sapaan akrabnya, menyebut bahwa Presiden Prabowo ingin mendirikan Sekolah Rakyat yang diperuntukkan khusus bagi anak dari keluarga tak mampu dan tergolong miskin ekstrem. Menurut Imin, program sekolah rakyat masih diuji coba di tiga titik di wilayah Jabodetabek. Peserta didik tidak dipungut biaya sepeser pun. Sekolah Rakyat akan menerapkan konsep asrama atau boarding school.
Kendati begitu, wacana pembentukan Sekolah Rakyat dinilai sejumlah pengamat pendidikan tidak membenahi akar persoalan sektor pendidikan. Alih-alih memperbaiki aksesibilitas dan kapasitas sekolah negeri serta membantu sekolah swasta, pemerintah justru kebelet untuk membuat sekolah baru. Sekolah Rakyat yang akan dikhususkan hanya untuk orang miskin, juga kental nuansa kolonial dan diskriminatif.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, memandang ide Sekolah Rakyat dirasakannya seolah-olah seperti kembali ke era kolonial di mana kehidupan amat diskriminatif dan terkotak-kotakan berdasarkan kelas sosial. Sekolah rakyat, kata Ubaid, akan memperkuat masalah ketimpangan kelas dan juga memperburuk kesenjangan akses pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh anak Indonesia.
Ia menilai, pendidikan di masa kolonial begitu eksklusif dan dibeda berdasarkan kelas sosial. Misalnya ada sekolah khusus anak-anak elite berkewarganegaraan Belanda, dan ada pula sekolah bagi kelas bangsawan pribumi. Ubaid melihat wacana membangun Sekolah Rakyat ala Presiden Prabowo sama saja dengan kembali mengkotak-kotakkan pendidikan seperti di era penjajahan.
Di sisi lain, Ubaid menyoroti pula sekolah khusus orang-orang kaya yang biasanya memakai embel-embel sekolah unggulan. Pasalnya, mayoritas anak-anak dari orang kaya berpotensi lebih unggul daripada anak-anak keluarga miskin yang hidup dalam segala keterbatasan.
Program Sekolah Rakyat dinilai Ubaid lebih kentara unsur pencitraannya, yang serba instan dan tidak menjawab masalah akses pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan. Saat ini, anak-anak Indonesia yang tidak sekolah, jumlahnya diperkirakan mencapai jutaan orang dan menyebar pada seluruh daerah. Ia tak yakin Sekolah Rakyat bisa menjawab tantangan persoalan ini.
Semestinya pemerintah membuat kebijakan strategis dan terstruktur baik, alih-alih kebijakan instan. Padahal, rakyat menginginkan semua sekolah itu kualitasnya unggulan alias terjamin mutunya dengan baik. Jadi sekolah di mana saja adalah sekolah terbaik.
“Paling nanti ada sekolah rakyat, dielu-elukan pemerintah sudah pro-rakyat kecil. Padahal, yang mampu ditampung di sekolah itu hanya ratusan atau ribuan, padahal anak yang tidak bisa sekolah itu jumlahnya jutaan,” ucap Ubaid.
Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai di zaman kolonial, Sekolah Rakyat dibangun di Indonesia karena ketiadaan sekolah bagi masyarakat. Makannya dibentuk sekolah yang bisa dijangkau seluruh orang. Begitupun saat era Orde Baru, kata Iman, didirikan SD Inpres di daerah 3T. Maka, mendirikan sekolah khusus menampung anak-anak keluarga miskin saat ini, justru dipertanyakan urgensinya.
Dari data rekap nasional semester ganjil tahun ajaran 2024/2025 per 1/9/2024 lalu, tercatat ada 439.784 sekolah yang tersebar di Indonesia. Jenjang pendidikan yang dicakup, meliputi PAUD, PKBM&SKB, SD, SMP, SMA, SMK dan SLB. Adapun jumlah peserta didiknya tahun ajaran 2024/2025, mencapai 52.913.427 siswa. Menurut Iman, pemerintah tidak perlu lagi membentuk sekolah baru karena jumlahnya sudah banyak.
“Karena menurut kami jumlahnya sudah sangat banyak. Dan kalau berbentuk boarding school ya ini sudah banyak di Indonesia yang seperti dibuat yayasan-yayasan Katolik, yayasan protestan, hingga pondok pesantren,” ucap Iman kepada reporter Tirto.
Iman menilai, pemerintah lebih bijak membantu intervensi kebutuhan sekolah yang sudah ada. Terutama sekolah alternatif yang sudah dibangun swasta untuk menyediakan akses pendidikan inklusif bagi masyarakat. Hal ini dinilai jauh lebih efisien dan efektif dilakukan.
Iman menilai, pemerintah perlu berkaca dari persoalan sekolah residensi yang didirikan di Kanada. Jadi pemerintah Kanada saat itu membuat sekolah asrama bagi warga lokal, yang berasal dari suku-suku lokal. Alhasil, yang terjadi justru siswa-siswi sekolah tersebut dicabut dari akar kebudayaan lokal mereka.
Seharusnya tidak ada istilah sekolah yang didirikan khusus bagi anak-anak keluarga miskin. Itulah mengapa, Iman memandang pemerintah harus melihat historis Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat zaman itu, muncul karena masyarakat pribumi yang ingin menyekolahkan anaknya, tidak terakomodasi oleh sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial.
Kaji Ulang Wacana Sekolah Rakyat
Di sisi lain, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, berpesan agar pembangunan Sekolah Rakyat yang diinginkan oleh Presiden Prabowo Subianto tak menjadi wacana yang tidak memiliki arah keberlanjutan. Oleh karena itu, Hetifah berharap agar keinginan tersebut juga dapat beriringan dengan kajian yang matang nantinya.
Dia menilai, rencana pembangunan sekolah rakyat merupakan langkah yang baik dalam menciptakan pemerataan pendidikan dan ekonomi bagi seluruh masyarakat. Termasuk juga menyeimbangkan wacana sekolah Unggulan Garuda yang disiapkan bagi siswa berprestasi. Hetifah melihat cara yang dimungkinkan merealisasikan sekolah rakyat lewat pemberdayaan sekolah-sekolah yang sudah ada, baik negeri maupun swasta.
“Saya kira apapun ide-ide yang sifatnya itu baru tapi niatnya itu baik ya patut lah untuk kita periksa dan cermati namun tentu saja kami ingin tidak menjadi wacana yang nanti dalam pelaksanaannya ternyata tidak bisa direalisasikan,” kata Hetifah di Gedung A Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Selasa (7/1/2025).
Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang wacana sekolah rakyat memang terkesan populis dan pro-rakyat miskin, nyatanya justru mengabaikan banyak fakta yang perlu dipertimbangkan ulang. Misal terkait bagaimana cara yang tepat dalam memberikan pendidikan atau menyediakan akses pendidikan bagi kalangan menengah ke bawah. Sebab menurut Edi, upaya eksperimen, dan gerakan pendidikan yang menyasar kalangan menengah ke bawah pada dasarnya sudah banyak.
Dalam banyak kasus, kata Edi, gerakan pendidikan itu murni didorong motif sosial. Sayang banyak yang tidak bertahan lama alias harus tutup program karena kekurangan pendanaan.
“Banyak NGO, PKBM, dan yayasan sosial yang secara mandiri atau swasembada telah melakukannya,” kata Edi kepada reporter Tirto.
Ia menilai, pilihan terbaik seharusnya adalah pemerintah justru merangkul dan mendukung gerakan-gerakan pendidikan alternatif tersebut. Bukan malah membuat hal yang baru dan belum jelas dasar konsep dan teoritisnya. Kebijakan membangun SR juga potensial butuh anggaran yang tinggi.
Masalah berikutnya, sangat tampak ambisi setiap kementerian ingin membuat inovasi baru terkait pendidikan. Sikap ini yang akhirnya potensial menciptakan tumpang tindih di sektor pendidikan. Misalnya ide Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, sebelumnya berencana membangun SMA Unggulan Garuda khusus siswa berprestasi. Saat ini, malah Kemensos ikut-ikutan mau membangun Sekolah Rakyat.
Kementerian Sosial sendiri tampaknya ingin Sekolah Rakyat segera terealisasikan. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah membantu merealisasikan rencana Sekolah Rakyat (SR) yang akan dibangun Kementerian Sosial. Sekolah Rakyat, kata Gus Ipul, adalah sekolah yang akan dirintis untuk membantu pelajar tidak mampu khususnya mereka yang masuk kelompok miskin ekstrem agar bisa bersekolah secara gratis dan berkualitas.
Sekolah Rakyat yang akan dibangun, direncanakan menyerupai sekolah asrama (boarding school) sehingga tidak hanya gratis dan berkualitas namun juga bisa menjamin asupan gizi para siswanya. Gus Ipul menilai, pembangunan Sekolah Rakyat tetap harus berkolaborasi dan berkoordinasi dengan Kemendikdasmen.
“Tujuan utama sekolah rakyat untuk memutus mata rantai kemiskinan. Jika orang tuanya miskin jangan sampai anaknya jadi miskin. Ini harus diputus dengan menyekolahkan mereka,” kata Gus Ipul lewat keterangan pers tertulis, Rabu.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang