tirto.id - Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6 per Satu juta British Thermal Unit (Million British Thermal Unit/MMBTU) untuk tujuh sektor industri resmi berakhir pada 31 Desember 2024. Untuk melanjutkan kebijakan ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengaku pihaknya masih harus menunggu keputusan Presiden Prabowo Subianto karena juga harus mempertimbangkan kecukupan penerimaan negara.
“Pemerintah nanti akan menetapkan harganya. Dengan mempertimbangkan pasokan dan mempertimbangkan kecukupan penerimaan negara,” kata Dadan saat ditemui awak media di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).
Karena keberlanjutan HGBT belum ada kejelasan, tujuh sektor industri penerima—yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet—harus membeli gas hasil regasifikasi dengan harga komersial.
“Ya sekarang berjalan yang harganya komersial,” tambah Dadan.
Sementara itu, berdasar surat edaran yang diterima Tirto, penghitungan harga gas regasifikasi komersial yang berlaku sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2025 akan mengacu pada rata-rata Harga Minyak Mentah Utama Indonesia (Indonesian Crude Oil Price Main/ICP Main) periode September-November 2024 yang sebesar US$73,66 per barel.
Dus, berdasar hasil penghitungan formula, harga gas regasifikasi adalah US$16,77 per MMBTU. Besaran harga itu pun belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Harga gas regasifikasi setelah periode tersebut di atas diperhitungkan sesuai dengan formula harga gas regasifikasi dan ketentuan yang berlaku. Dalam hal implementasi harga gas regasifikasi tersebut di atas, Tim Area PGN akan memberikan penjelasan lebih lanjut secara komprehensif kepada pelanggan,” tulis PJs. Area Head Pertamina Gas Negara Karawang, Virgiawan Janur Meisuci, dikutip Selasa (7/1/2025).
Sementara itu, Corporate Secretary PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN, Fajriyah Usman, mengatakan bahwa penentuan harga gas regasifikasi itu telah mempertimbangkan aspek keberlangsungan bisnis, baik di sektor gas maupun industri pengguna gas bumi.
“Sebagai Badan Usaha Milik Negara, PGN selalu mendukung dan berkomitmen menjalankan kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan energi gas bumi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional. Kami percaya bahwa setiap kebijakan pemerintah telah mempertimbangkan aspek keberlangsungan bisnis baik gas maupun industri,” ujar Fajriyah melalui aplikasi perpesanan, Selasa (7/1/2025).
Rawan Melemahkan Daya Saing Industri
Meski diklaim telah melalui pertimbangan matang, tak bisa dipungkiri bahwa mandeknya kebijakan HGBT sangat disesalkan oleh para pelaku usaha. Sebab, kebijakan HGBT-lah yang membuat harga gas lebih terjangkau dan itu sangat krusial bagi industri manufaktur, terutama yang berbasis energi intensif.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), Sanny Iskandar, menyatakan khawatir bila keberlanjutan HGBT tak kunjung ada kejelasan. Menurutnya, hal itu bisa membuat harga gas makin tinggi atau bahkan fluktuatif dan berdampakmelemahkan daya saing industri nasional.
Bila itu terjadi, kata Sanny, banyak investor akan mengalihkan investasinya ke negara-negara dengan biaya energi lebih kompetitif plus memiliki daya saing industri lebih kuat. Sebaliknya, jika kebijakan HGBT dilanjutkan, pelaku usaha dapat kembali percaya diri dalam merencanakan investasi.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil momen di awal tahun 2025 ini dengan segera memberikan kepastian mengenai perpanjangan harga HGBT agar dapat mengurangi keraguan di kalangan investor untuk berinvestasi di Indonesia, terutama dalam sektor industri manufaktur yang membutuhkan waktu pengembalian modal yang lama,” jelas Sanny.
Kini, dengan berlakunya harga gas regasifikasi komersial, industri mulai menurunkan produksinya. Sebab, bagi industri manufaktur, komponen gas dapat bervariasi mencapai 10-60 persen dari total biaya produksi.
“Bayangkan saja bila HGBT 6,5 [dolar AS per MMBTU] menjadi harga normal US$16,77 per MMBTU,” ucap Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan, kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan oleh industri sekarang adalah memenuhi order yang telah disepakati dengan stok produk yang sudah ada. Kemudian, stok yang tersisa akan digunakan untuk memenuhi pesanan baru—dengan harga gas yang diperhitungkan dalam biaya produksi agregat antara HGBT dan harga gas normal, tapi sedikit lebih rendah dari US$16,77 yang ditetapkan PGN.
“Gelo pisan euy[gila sekali],” sambung Yustinus.
Penurunan produksi ini, menurut Yustinus, akan dilakukan mulai bulan ini. Tak hanya itu, industri pun akan mengulur waktu untuk menerima pesanan dengan harga baru. Artinya, harga akan lebih mahal seiring dengan tingginya harga gas.
“[Kalau tidak], pembeli bisa langsung kabur. Kalau udah kabur, maka akan sangat sulit untuk menarik kembali pembeli, apalagi kalau ekspor,” ujar dia.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena juga dapat memicu penurunan serapan tenaga kerja. Bahkan, kalau terus berlanjut, Yustinus memperkirakan akan ada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai Ramadan. Pun, deindustrialisasi juga bisa terjadi sejak harga gas industri meroket.
“Dan, investor pasti gentar masuk Indonesia karena harga energi yang sangat mahal, sedangkan harga gas bumi global cenderung terus menurun,” lanjutnya.
Mengutip data Trading Economics, harga gas alam di AS pada perdagangan Selasa tercatat senilai US$3,6 per MMBTU, bangkit dari penurunan tajam hingga 8 persen yang terjadi pada perdagangan Jumat (3/1/2025).
Peningkatan harga gas itu didorong oleh perkiraan cuaca dingin ekstrem di wilayah tengah dan timur AS bulan ini. Hal itu diperburuk pula oleh badai es dan salju lebat yang diperkirakan akan mengganggu jaringan listrik dan perjalanan, terutama di Lembah Ohio dan Missouri.
“Kondisi industri sedang persiapan menurunkan produksi, wait and see.Semoga dalam minggu ini Pak Prabowo segera menyatakan HGBT lanjut. Jangan sampai daya beli masyarakat semakin lemah karena produk manufaktur kalah bersaing terhadap impor dan enggak bisa ekspor,” tegas Yustinus.
Sementara itu, pengajar dan peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, mengatakan bahwa penghentian kebijakan HGBT akan menimbulkan dampak bervariasi terhadap kinerja output industri pengguna gas alam.
Dalam hal ini, lonjakan harga gas dapat membuat penurunan produksi sebesar 9-20 persen. Saat kondisi itu terjadi, industri yang saat ini sudah tidak efisien imbas biaya konsumsi energi besar akan semakin kalah dari sektor-sektor industri negara lainnya.
Perlu diketahui, harga gas industri bagi industri nonpenerima HGBT dipatok di kisaran US$11-US$12 per MMBTU. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga gas industri di Malaysia yang sekitar US$4,5 per MMBTU.
Sebagaipembanding lain, harga gas industri di Thailand adalahUS$5,5 per MMBTU dan Vietnam sebesar US$6,3 per MMBTU.
“Kemudian, juga ditambah dengan kondisi impor, kemudian juga ditambahkan biasanya ada global inflation. Nah, jadi kalau misalkan untuk harga gas seperti ini bisa diteruskan, itu akan mengganggu kinerja industri,” jelas Yayan saat dihubungi Tirto, Selasa (7/1/2025).
Selain itu, sektor industri yang kini sudah mulai pulih—tercermin dari Purchasing Manager’s Index (PMI) sebesar 51,2 pada Desember 2024—akan berpotensi lesu kembali. Lebih mengkhawatirkan lagi, penurunan kinerja industri juga akan mendorong banyaknya PHK.
“Memang kalau misalkan sekarang kebijakan tersebut tidak diteruskan, itu sudah pasti akan memberikan dampak ke kinerja [industri] manufaktur, jadi tidak kompetitif dan menurunkan output,” tambah Yayan.
Jalan Lain Dorong Daya Saing
Hal berbeda disampaikan ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. Menurut Fahmy, daya saing industri tak hanya dapat didorong dengan kebijakan HGBT. Apalagi, struktur biaya produksi tak semata-mata hanya berasal dari gas alam yang digunakan.
Tidak hanya itu, pemberian HGBT pun pada dasarnya juga memberikan beban kepada pemerintah dan juga PGN sebagai penyelenggara.
“Jadi, banyak yang harus berkorban. Katakanlah pemerintah itu dia harus mengorbankan pendapatan dari [penjualan] gas tadi. Kemudian, investor di hulu juga harus mengurangi harga jual. Ketiga, pemilik pipa umpamanya PGN ini juga harus menurunkan tarif [jualnya],” terang Fahmy kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).
Oleh karena itu, tak masalah jika HGBT dicabut, kecuali untuk PLN dan pabrik pupuk. Dibanding memberikan HGBT, menurut Fahmy, pemerintah bisa lebih efektif meningkatkan daya saing dengan langsung memberikan insentif fiskal kepada industri.
“Jangan harga gasnya yang ditetapkan rendah dari harga pasar. Tapi, berikan saja insentif yang lain, misalnya fiscal incentive. Nah, itu tidak ditanggung investor di sektor hulu, tidak ditanggung PGN, tapi hanya pemerintah,” sambung Fahmy.
Sementara itu, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwakementeriannya saat ini tengah mengevaluasi implementasi kebijakan HGBT. Selain itu, Kementerian ESDM juga tengah membahas kelanjutan dari program gas murah yang sebelumnya ditetapkan berdasar Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Namun, yang pasti, dia juga mempertimbangkan kondisi perusahaan penerima HGBT dalam pembahasan tersebut. Apabila efisiensi investasi atau interval rate of return (IRR) perusahaan sudah bagus, Kementerian ESDM tak akan lagi melanjutkan kebijakan HGBT.
“HGBT sekarang saya baru selesai rapat dan masih kamiexercise lagi karena dari 20 item industri yang dapat HGBT. Kami sekarang lagi evaluasi sebab HGBT itu kan tujuannya adalah untuk memberikan sebuah nilai bisnis yang masuk. Nah, kalau yang sudah masuk, yang IRR-nya sudah bagus, kemungkinan kami dapat pertimbangkan untuk dikeluarkan di dalam checklist HGBT,” jelas Bahlil saat ditemui awak media di Kantor BPH Migas, Jakarta Selatan, Selasa (7/1/2025).
Sebaliknya, perusahaan yang IRR-nya belum memadai akan berpotensi mendapat fasilitas HGBT. Meski begitu, Ketua Umum Partai Golkar itu belum dapat memastikan kapan program gas murah akan dilanjutkan. Pun dengan sektor penerima apakah masih akan tetap tujuh sektor industri atau dapat bertambah maupun berkurang.
“Tetapi, kalau yang masih dibutuhkan dan kami lihat IRR-nya belum bagus, itu tetap kami pertahankan. Ada kemungkinan. Kami lagi ada bahas, tapi belum final ya,” tukas Bahlil.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi