tirto.id - Sampai 13 Juni 2020, sebanyak 7,7 juta orang teridentifikasi terjangkit Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan 428 ribu orang meninggal dunia. Sementara pemerintah setiap negara mati-matian menghalau virus, tidak sedikit pula warga yang justru membandel dan menantang maut.
Penggawa band Superman is Dead (SID), I Gede Ary Astina misalnya. Berkali-kali penggebuk drum SID itu menyuarakan bahwa virus Corona adalah senjata kimia yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang, bahkan negara.
Tak hanya itu, pria yang kerap disapa Jerinx itu menyampaikan bahwa virus Corona tidak seberbahaya yang diberitakan media dan pemerintah. Argumen Jerinx terkait asumsi itu adalah banyaknya orang yang meninggal karena penyakit bawaan yang bertambah parah setelah terpapar Corona. Tidak ada satu pun, menurut Jerinx, yang meninggal murni karena Corona.
Bukan hanya Jerinx, tapi juga Deddy Cahyadi Sunjoyo. Unggahan videonya yang berbincang dengan artis Samuel Alexander Pieter (Young Lex) tentang konspirasi virus Corona telah ditonton 10 juta orang. Di sana, keduanya percaya bahwa ada kemungkinan munculnya virus ini dibekingi oleh sekelompok elite dan media menjadi corong kelompok tersebut.
Berikutnya pria yang kerap dikenal publik dengan nama Deddy Corbuzier itu mengunggah video lain bersama dengan Mardigu Wowiek Prasantyo. Selain dikenal sebagai pebisnis, Mardigu WP ini pernah tampil di media massa dengan mengklaim diri sebagai pengamat terorisme sekitar 2009-2010. Setelahnya, Mardigu tak banyak muncul di media sebagai pakar terorisme dan belakangan malah mencuat sebagai motivational speaker.
Mardigu WP menilai bahwa ada kemungkinan besar virus Corona diciptakan oleh Amerika Serikat. Asumsinya diperkuat oleh teman misteriusnya, yang kata Mardigu, berasal dari Universitas Cambridge. Pertanyaannya, seberapa akurat prediksi Mardigu yang pernah jadi staf di Kementerian Pertahanan di masa kepemimpinan Ryamizard Ryacudu ini?
Kepada Tirto, Juru Bicara Badan Intelijen Nasional (BIN) Wawan Purwanto mengatakan, “Pak Mardigu lebih kepada analis, bukan praktisi, jadi ke arah konsepsional teoritis. Memang teori terkadang berbeda dengan kondisi faktual di lapangan, semua serba dinamis.”
Kendati klaim Mardigu, Deddy, Jerinx, dan sebagian orang lainnya yang terkenal di media sosial belum tentu bisa dipercaya, tidak setiap orang punya niat berlebih melakukan pengecekan ulang. Sebagian orang justru kadang percaya dan membahayakan masyarakat lain dalam usah mencegah penyebaran virus Corona.
Ketiga orang ini menjadi contoh bahwa sebagian orang yang menjadi influencer cukup berbahaya jika dipercaya publik sebagai sumber informasi yang faktual.
Sekadar Hiburan?
Memang tidak semua influencer menyebarkan informasi buram seperti mereka. Ada pula influencer yang kerap berusaha meyakinkan masyarakat agar tidak sembrono dalam masa pandemi Corona, seperti Tirta Mandira Hudhi.
Pebisnis yang sempat menjadi dokter ini menghabiskan waktunya selama pandemi dengan menjadi relawan. Berkali-kali dia pergi ke berbagai rumah sakit mengirimkan bantuan seperti alat pelindung diri (APD). Lucunya, dia tidak menangkal asumsi-asumsi ngawur yang muncul baik dari Jerinx maupun Deddy.
Misalnya saja soal pemakaian masker dan cuci tangan yang keluar dari WHO dan juga dipromosikan Tirta. Jerinx justru beranggapan gerakan itu mencegah penyakit lain, bukan penyebaran virus Corona. Jerinx juga bermaksud untuk mendatangi rumah sakit dan melakukan kontak langsung dengan pasien penderita Corona–hal yang bertentangan dengan kegiatan Tirta selama ini, yakni menganjurkan orang untuk membatasi keluar rumah dan kontak fisik.
Begitu bergesekan dengan bisnis, kelakukan Tirta juga mendapat kritikan. Tersebar foto Tirta oleh restoran Holywings Indonesia di Instagram pada Minggu (14/6/2020). Dalam foto itu, Holywings memberi keterangan bahwa Tirta sudah menikmati kenormalan baru dan mampir ke restoran. Tindakan itu bertentangan dengan prinsip jaga jarak dan kurangi keluar rumah yang selama ini Tirta gembar-gemborkan sendiri.
Di Instagram diskusi memang cenderung lebih cair. Tidak ada pembatasan terkait materi diskusi dan kategorinya. Hanya saja Youtube mengharuskan pembuat konten mencatatkan kategori apa yang cocok untuk tayangan mereka.
Ada beberapa kategori untuk diskusi Corona seperti “Berita dan Politik” atau “Kesehatan”, tapi Deddy mengunggah tayangannya dalam kategori ”Entertainment”. Jelas, segala sesuatu yang sifatnya hiburan tidak membutuhkan fakta yang sahih. Permasalahannya, karena penyampaian yang meyakinkan, materi guyon pun bisa dianggap sebagian orang sebagai fakta.
Pemerintah bukannya membantah isu-isu miring yang muncul, tapi justru ikut memperuncing narasi tersebut. Ada dua menteri yang setidaknya muncul di kanal Youtube Deddy, yakni Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Mahfud mengaku belum sampai pada kesimpulan bahwa virus Corona buatan manusia atau tidak.
Mahfud hanya menegaskan bahwa yang lebih penting sekarang adalah virus Corona benar ada dan bagaimana manusia harus mengatasinya. Mahfud justru terbawa pada narasi Deddy yang menyepelekan virus Corona.
“Misalnya saya ngomong. Ini virus enggak mematikan kok. Karena yang mati di Indonesia itu orang-orang begini dengan komorbid. Sama dengan influenza biasa, flu, TBC, malaria, jumlahnya lebih banyak, kenapa kita jadi ketakutan? Kenapa kita enggak bisa balik kerja? Kita harus kerja dong. Ditangkap nggak saya?" tanya Deddy dalam tayangan itu.
Mahfud lantas menjawab: “Nggak ada yang ditangkap karena ngomong begitu. Enggak ada. Yang mengatakan itu pertama itu Menteri Kesehatan malah, bukan mas Deddy.”
Padahal, Mahfud memiliki otoritas sebagai bagian dari pengambil kebijakan untuk meluruskan pertanyaan Deddy. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini semestinya bisa menjawab bagaimana Corona berbeda dengan influenza, TBC, atau bahkan malaria. Ketimbang melakukan itu, Mahfud memilih tidak melakukan konfrontasi.
Bukan Hanya Indonesia
Influencer yang tidak kredibel alias tidak punya dasar analisa atau bukti yang kuat terkait virus Corona tidak hanya ada di Indonesia. Amerika Serikat, misalnya, negara dengan jumlah penderita virus Corona terbanyak dunia ini tak kekurangan selebritas yang mengeluarkan klaim tanpa bukti nyata.
Tidak tanggung-tanggung, salah satunya adalah Elon Musk, pendiri SpaceX dan Tesla. Pertama, dia tidak mempercayai klaim sains dan penelitian bahwa virus Corona memang sangat berbahaya. Menurutnya, kepanikan akibat virus Corona lebih berbahaya dari virus itu sendiri.
Dia juga menuding karantina seperti lockdown yang dilakukan beberapa kepala daerah di Amerika melanggar demokrasi dan kebebasan masyarakat, mendeskripsikan lockdown sebagai tindakan fasis. Dia juga mempromosikan penggunaan klorokuin untuk penangan virus Corona, kendati belum ada penelitian yang matang soal pengaruh obat tersebut.
Yang teranyar, Musk menantang akan membuka kembali pabriknya pada bulan Mei lalu di California. Kendati banyak yang mempertanyakan keputusan Musk, tetapi Presiden Amerika Donald Trump justru setuju. Satu lagi persamaan keduanya, mereka mempersulit pencegahan virus Corona.
Tidak hanya Musk influencer yang menyebarkan pernyataan kontroversial. The Guardian mencatat beberapa influencer selama pandemi memang menjadi penyebar berita palsu. Influencer yang tercatat oleh The Guardian antara lain Woodrow Harrelson dan penyani rap M.I.A.
Harrelson yang terkenal karena film Now You See Me (2013) berkali-kali mengunggah gambar disertai keterangan yang menuding ada kaitan teknologi menara sinyal 5G dengan virus Corona. Demikian juga M.I.A. Ketika ada pembakaran menara sinyal 5G di Inggris, M.I.A tidak mengkritik bahwa tindakan itu konyol, tapi dia hanya menyebut masyarakat seharusnya cukup mematikan sinyal 5G sampai pandemi selesai.
Jika ditelusuri lebih jauh, informasi keliru yang disebarkan influencer terkait klaim 5G dan Corona ini pula yang memicu pembakaran tersebut.
Inilah masalahnya jika selebritas diandalkan sebagai corong informasi. Penelitian dari Oxford’s Reuters Institute bidang jurnalisme menemukan bahwa politisi, selebritas, dan tokoh publik lainnya bertanggungjawab setidaknya atas 20 persen klaim keliru terkait virus Corona. Unggahan mereka melibatkan 69 persen interaksi di media sosial.
Media Australia, ABCmewawancarai salah satu influencer Amanda Micallef yang selama pandemi mempromosikan protes anti-lockdown. Berdasar pengakuannya, influencer melakukan tindakan semacam itu karena alasan ekonomi.
“Lockdown membuat bisnis dan pemasukan saya benar-benar terpengaruh,” kata Micallef.
Kendati alasan seperti itu mengabaikan factor kesehatan, tidak semua orang benar-benar mereken omongan influencer. Antropolog dari Universitas Melbourne memandang bahwa bagaimana pun “mereka mempunyai pengikut yang banyak", sehingga "ketika mereka terpengaruh pemikiran konspirasional, pengikut mereka juga akan terpengaruh.”
Berbeda dengan media, selebritas ataupun politisi tidak terikat dengan kode etik jurnalistik yang bertanggungjawab atas fakta. Tidak semua politisi dan selebritas pula menyaring informasi yang belum jelas kebenarannya.
Editor: Windu Jusuf