Menuju konten utama

Industri Tembakau Sayangkan Tak Dilibatkan Bahas Revisi PP 109/2012

AMTI menyayangkan pemerintah tidak melibatkan pelaku industri hasil tembakau (IHT) dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012.

Industri Tembakau Sayangkan Tak Dilibatkan Bahas Revisi PP 109/2012
Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (23/12/2021). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.

tirto.id - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyayangkan pemerintah tidak melibatkan pelaku industri hasil tembakau (IHT) dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wijaya bahkan menduga ada kesengajaan untuk tidak melibatkan pelaku IHT dalam proses revisi PP 109/2012. Hal ini terbukti dari diselenggarakannya uji publik oleh Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada pekan lalu yang mengundang pelaku IHT secara mendadak.

“Kami bahkan baru menerima undangan satu hari sebelum uji publik yang diselenggarakan oleh Kemko PMK. Proses usulan revisinya saja sudah cacat hukum, tidak transparan, belum lagi sampai ke substansinya yang menimbulkan banyak pertanyaan,” jelasnya kepada wartawan, Selasa (2/8/2022).

Hananto juga menduga adanya tekanan-tekanan oleh asing yang mendorong agar revisi PP 109/2012. Tekanan dilakukan dengan secara sengaja tidak melibatkan IHT agar dapat segera rampung.

Menurut Hananto, indikasi ini pada saat uji publik di mana terlihat kelompok-kelompok tertentu bisa menjelaskan detil pasal per pasal, sementara para pelaku IHT tidak diberikan akses terhadap materi revisi sama sekali.

Dia menekankan selayaknya pemerintah mengedepankan keterlibatan seluruh pihak yang terdampak dalam proses perumusan kebijakan sejak awal, dengan mengedepankan azas keadilan dan transparansi. Adapun proses yang dilakukan dinilai tidak sah dan hanya dilakukan sebagai formalitas sehingga berpotensi menimbulkan inefektivitas atas hasil kebijakan.

"Bahkan proses yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dapat berpotensi mendorong munculnya kegaduhan politik dan sosial karena menyangkut mata pencaharian rakyat," ujarnya.

Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI), Riant Nugroho menjelaskan, pelibatan objek kebijakan dalam penyusunan kebijakan publik merupakan hal sangat krusial. Oleh karenanya, pelibatan para pelaku IHT perlu dilakukan sejak awal proses revisi PP 109/2012.

“Sebagai objek kebijakan, pelaku IHT harus dilibatkan dari proses awal, penyusunan naskah akademik, hingga keseluruhan proses. Apabila tidak ada keterlibatan dari objek kebijakan secara proses administrasi publik, kebijakan yang dibuat tidak memenuhi kelayakan,” paparnya.

Pelibatan objek kebijakan, kata Riant, merupakan aspek penting dalam pembuatan kebijakan publik, khususnya terkait akuntabilitas. Dalam prinsip good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabilitas memastikan adanya komunikasi secara detail, rinci, dan komprehensif dengan setiap pihak yang menjadi bagian atau objek dari kebijakan tersebut.

Sayangnya aspek ini kerap terlupakan oleh pembuat kebijakan publik, khususnya pemerintah. Mereka hanya fokus terhadap aspek responsibilitas, yaitu agar kebijakan-kebijakan yang telah dijadwalkan bisa rampung pada waktu dan sesuai anggaran yang ditentukan. Karena ini pula, sejumlah proses pembuatan kebijakan publik hanya menjadi afirmasi terhadap ide maupun gagasan yang disusun pemerintah.

Hal ini misalnya tercermin dari proses konsultasi maupun uji publik yang tak sesuai dengan amanat undang-undang, dan tidak mampu memotret kenyataan di lapangan. Uji publik yang tidak inklusif dikhawatirkan hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak menjadi solusi yang mengena pada kebutuhan masyarakat luas.

Hal ini juga jelas bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tentunya nilai-nilai Pancasila yang sangat mengedepankan musyawarah mufakat sebagai bentuk keadilan.

“Dalam sejumlah konsultasi publik, sebenarnya bukan konsultasi publik, tapi bagaimana pejabat mengundang banyak stakeholder yang hanya setuju dengan gagasan pemerintah saja. Hasilnya terjadi ketidakseimbangan dalam proses konsultasi publik tersebut,” jelas Riant.

Respon Kemenko PMK

Kemenko PMK melalui Kedeputian Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan sebelumnya telah menyelenggarakan Uji Publik Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 di Gedung Herritage beberapa waktu lalu.

Revisi PP Nomor 109/2012 merupakan suatu kebutuhan regulasi yang diamanahkan dalam Perpres Nomor 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang menargetkan turunnya perokok usia 10-18 tahun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di 2024, sehingga revisi ini fokus untuk mengendalikan perokok pemula dalam upaya perlindungan anak.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, Agus Suprapto mengatakan, bahwa kegiatan uji publik ini bertujuan untuk membuka ruang bagi masyarakat umum dalam memberikan masukan kepada Perubahan Peraturan Pemerintah tersebut.

"Uji publik ini merupakan langkah kita untuk membuka ruang partisipasi orang perseorangan atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap substansi rancangan perubahan Peraturan Pemerintah ini dalam memberikan masukan yang lebih baik lagi kedepannya," jelasnya.

Muatan pokok yang ada pada revisi PP Nomor 109/2012 meliputi ukuran pesan bergambar diperbesar, rokok elektrik diatur, iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok diperketat, penjualan rokok batangan dilarang serta peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau.

Lebih lanjut, Agus juga berharap Peraturan yang baru nanti dapat berlaku adil bagi semua kalangan sehingga tidak menimbulkan perselisihan di masa yang akan datang.

"Dengan adanya Uji Publik terhadap Perubahan PP Nomor 109 Tahun 2012 ini kita semua berharap peraturan tersebut dapat meminimalisir perilaku merokok orang Indonesia serta berlaku adil bagi semua kalangan baik itu perorangan maupun dunia usaha sehingga tidak menimbulkan perselisihan di lain waktu," jelasnya.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEMBAKAU atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang