Menuju konten utama

Sejarah Upacara Bendera HUT RI Pertama & Tentang Bapak Paskibraka

Sejarah upacara bendera 17 Agustus dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI pertama tak lepas dari peran H. Mutahar, sang Bapak Paskibraka.

Sejarah Upacara Bendera HUT RI Pertama & Tentang Bapak Paskibraka
Sejumlah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) mengikuti Upacara Pengukuhan Paskibraka yang dipimpin Presiden Joko Widodo di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/8/2021). ANTARA FOTO/Biro Pers Media Setpres/Lukas/Handout/wsj.

tirto.id - Bagaimana sejarah upacara bendera 17 Agustus pada HUT RI pertama? Bagaimana kisahnya?

Hussein Mutahar bukan cuma dikenal sebagai pencipta lagu-lagu nasional. Ia tokoh penting dalam sejarah upacara bendera untuk memperingati HUT Kemerdekaan RI perdana pada 17 Agustus 1946. Tak hanya itu, predikat Bapak Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) layak pula disandang oleh H. Mutahar.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar, namun biasa disebut dengan H. Mutahar saja. Ia lahir pada 5 Agustus 1916 di Semarang, Jawa Tengah.

Kukuh Pamuji dalam Komunikasi dan Edukasi di Museum Istana Kepresidenan Jakarta (2010) mengungkapkan, Mutahar dipanggil oleh Presiden Sukarno menjelang peringatan proklamasi RI pertama yang akan digelar pada 17 Agustus 1946.

Bung Karno memberikan perintah kepada Mutahar untuk menyusun acara upacara, termasuk prosesi pengibaran bendera pusaka Sang Saka Merah Putih. Saat itu, Mutahar memang mengabdi di Sekretariat Negara sekaligus menjadi ajudan presiden.

Bukan Jakarta yang menjadi lokasi perayaan HUT RI perdana itu, melainkan Yogyakarta. Sejak awal 1946, atas tawaran Sultan Hamengkubuwana IX, ibu kota memang dipindahkan ke Yogyakarta untuk sementara karena Jakarta dalam situasi gawat setelah kembalinya Belanda ke Indonesia.

Sejarah Upacara Bendera 17 Agustus Pertama

Mendapat perintah khusus dari presiden, Mutahar tentunya tidak ingin upacara peringatan kemerdekaan yang bakal dikenang sepanjang masa itu berlangsung biasa-biasa saja. Terlebih, Bung Karno berpesan kepadanya untuk membuat acara yang meninggalkan kesan mendalam.

Mutahar berpikir keras untuk mewujudkan upacara peringatan kemerdekaan RI seperti yang dimaksud Bung Karno. Ia membayangkan, alangkah indahnya jika perwakilan pemuda dan pemudi dari seluruh wilayah Indonesia dilibatkan dalam upacara nanti.

Namun, dalam situasi darurat kala itu, pemikiran tersebut cukup sulit untuk diwujudkan. Kening Mutahar berkerut lagi. Akhirnya, ia mendapat ide, setidaknya ada lima orang pemuda/pemudi yang akan menjadi petugas pengibar bendera pusaka. Tidak terlalu sukar menemukan anak-anak muda ini.

Mengapa lima orang? Menurut Mutahar, itu melambangkan lima sila dasar negara yakni Pancasila. Lagi pula, semboyan yang tersemat di kaki burung Garuda Pancasila adalah Bhinneka Tunggal Ika yang bisa mewakili seluruh keragaman berbagai elemen yang menyusun bangsa Indonesia.

Dinukil dari Pandji Masyarakat (1995), Mutahar sendiri yang merancang seragam para anggota Paskibraka nanti. Seragam ini terinspirasi dari pakaian Presiden Sukarno yang kerap mengenakan jas bergaya militer serta peci hitam.

Upacara bendera 17 Agustus 1946 pun berlangsung sukses. Presiden Sukarno memuji kinerja Mutahar dan semakin mempercayai salah satu ajudannya yang sempat meniti karier di Angkatan Laut ini.

Penyelamat Sang Saka

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer keduanya. Yogyakarta dikepung. Sebelum ditangkap Belanda, Bung Karno sempat mengambil bendera pusaka dan menyerahkannya langsung kepada Mutahar untuk diselamatkan.

“Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh,” titah presiden kepada Mutahar, dikutip dari Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966) yang disusun oleh Cindy Adams.

Mutahar terdiam, haru dengan perintah sakral dari sang presiden. Di luar gedung, mulai terdengar gelegar bom yang dijatuhkan dari pesawat Belanda. Lelaki berdarah Arab ini pun bersiap, menggenggam sang saka dengan erat.

Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, sejumlah menteri, serta para tokoh penting negara lainnya akhirnya ditahan Belanda tak lama setelah itu. Mereka kemudian diasingkan ke luar Jawa.

Mutahar sebenarnya juga ikut ditangkap dan ditahan di Semarang. Diungkap Mansyur Alkatiri lewat artikel “Husein Mutahar Penyelamat Bendera Pusaka” dalam portal Arab Indonesia, Mutahar mencari cara agar bendera pusaka bisa diselamatkan tanpa ketahuan.

Ia lalu melepas jahitan yang menghubungkan kain warna merah dan putih. Dengan begitu, kedua kain itu hanya akan dianggap kain biasa, bukan bendera Merah Putih. Setelah berhasil dipisahkan menjadi dua, Mutahar memasukkan dua carik kain itu ke dalam tas dan dijejali dengan pakaian lainnya supaya tersamarkan.

Beruntung, saat ditahan di Semarang, ia bisa meloloskan diri. Dengan menumpang kapal laut, Mutahar berlayar menuju Jakarta dengan membawa dua lembar kain berwarna merah dan putih yang sebenarnya adalah bendera pusaka itu.

Sesampainya di Jakarta, Mutahar menginap di kediaman Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Djawatan Kepolisian (sekarang Kapolri) pertama. Hingga akhirnya, Mutahar memperoleh kabar bahwa ada surat dari Presiden Sukarno yang ditujukan kepadanya.

Surat itu ada di rumah Soedjono, salah satu anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda kala itu. Isi surat tersebut adalah perintah Presiden Sukarno kepada Mutahar untuk menitipkan bendera pusaka kepada Soedjono. Saat itu, Bung Karno ditahan di Bangka.

Oleh Soedjono, bendera pusaka yang telah diselamatkan Mutahar itu dibawa ke Bangka untuk diserahkan kepada presiden. Tunai sudah amanat yang diemban Mutahar, sang penyelamat Sang Saka Merah Putih.

“Tanggung jawabnya sungguh berat,” kenang Bung Karno.

Mutahar, yang kemudian dikenal sebagai pencipta lagu-lagu nasional, penggiat gerakan Pramuka, serta pernah menjadi Duta Besar RI di Vatikan, dianugerahi usia panjang. Sang Bapak Paskibraka ini wafat pada 9 Juni 2014 di Jakarta dalam umur 88 tahun.

Merah-Putih dalam Sejarah Indonesia

Pada zaman kerajaan di Nusantara, bendera atau panji-panji kebesaran dengan unsur warna merah dan putih juga kerap digunakan, salah satunya oleh Kerajaan Majapahit (1293–1527 Masehi).

Sebelum zaman Majapahit, tulis Ubet Zubaidi dalam buku Taklukkan! Syarat-Syarat Kecakapan Umum: Pramuka Penegak Bantara Laksana (2018), Kerajaan Kadiri atau Kediri (1045–1222) juga telah memakai lambang merah-putih.

Pada masa perjuangan melawan penjajah Belanda atau VOC, pasukan Pangeran Diponegoro mengibarkan panji merah putih dalam Perang Jawa (1825-1830) di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Begitu pula dengan bendera perang Sisingamangaraja XII (1876-1907) di tanah Batak, Sumatera Utara.

Selanjutnya, memasuki abad ke-20 atau Era Pergerakan Nasional, bendera dengan warna merah dan putih berkibar saat pelaksanaan Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) pada 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Menjelang kemerdekaan RI, Fatmawati yang merupakan istri Ir. Sukarno, menjahit kain berwarna merah dan putih untuk dijadikan bendera. Bendera bersejarah yang disebut Sang Saka Merah Putih ini akhirnya dikibarkan dalam upacara proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.

Kedudukan Bendera Merah Putih

Bendera merah putih punya kedudukan khusus sebagai bendera negara Indonesia dalam UUD 1945 Pasal 35 yang berbunyi: Bendera Negara Indonesia ialah sang Merah Putih.

Selanjutnya, kedudukan bendera negara diperjelas lagi melalui Undang-Undang (UU) No.24 Tahun 2009 yang mengatur Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Baca juga artikel terkait HUT KEMERDEKAAN RI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Rachma Dania

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Iswara N Raditya & Rachma Dania
Editor: Abdul Aziz
Penyelaras: Yulaika Ramadhani