tirto.id - Penyelewengan dana hasil donasi atau penggalangan dana secara online (crowdfunding)acap kali terjadi. Baru-baru ini misalnya kasus Singgih Shahara. Ia diduga memanfaatkan sebagian dana hasil urunan masyarakat secara online untuk berfoya-foya.
Awalnya, Singgih membuka donasi beberapa kali, baik lewat media sosial X maupun platform galang dana Kitabisa, untuk biaya pengobatan ibu dan anaknya. Seperti dilaporkan Tirto, per Rabu (20/3/2024), aksinya itu membetot publik hingga berhasil mengantongi fulus Rp257,6 juta. Namun nyatanya, dari total dana itu hanya Rp50 juta saja yang dipakai untuk keperluan pengobatan.
Platform perantara urun dana online nyatanya bak pisau bermata dua. Ini seperti pendapat Fita (26), donatur yang kerap memanfaatkan kanal Kitabisa. Menurut dia platform semacam itu satu sisi membantu mendekatkan mereka yang jauh. Tapi di sisi lain pendonor merasa tidak benar-benar tahu validitas informasi yang disampaikan.
“Cuman ya lagi-lagi, kita bisa ngapain sih selain percaya?” kata Fita saat berbincang dengan Tirto, Rabu (3/4/2024).
Fita memegang perkataan ibunya, kalau 'memberi' atau bersedekah itu urusannya selesai di aktivitas memberinya. Selebihnya, mulai perkara cara penyaluran, seberapa amanah penerima donasi tersebut, menjadi urusan mereka dengan Tuhan.
Dua hal yang jadi landasan Fita menilai akuntabilitas sebuah penyelenggaraan donasi di Kitabisa adalah dengan melihat transparansi pengeluaran yang dilampirkan dalam aktivitas donasi terdahulu, dan promotor kampanyenya.
“Kan kadang-kadang ada yang di-promote (dipromosikan) sama influencer kan, nah aku tuh tahu influencer yang asal ambil-ambil aja, sama yang beneran deh ini influencer-nya ngecek dulu deh sebelum dia menjadikan donasi ini part of her/his campaign,” sambungnya.
Kasus Singgih mirisnya bukan perkara perdana berkaitan dengan penyalahgunaan dana hasil crowdfunding. Pada 2022 lalu, mencuat masalah donasi yang dilakukan oleh yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat menghimpun rupiah untuk korban kecelakaan Lion Air JT 610.
ACT terbukti menyelewengkan dana santunan untuk 189 penumpang dan kru dari Boeing Financial Assistance Fund. Dalam kasus itu hakim memvonis Ibnu Hajar, eks Presiden Yayasan ACT, dikurung selama tiga tahun di penjara.
Bagaimana pendapat Fita soal ACT? Jahat dan mengecewakan, katanya. Ia segera saja memutuskan tidak lagi memercayai lembaga tersebut. Kendati begitu, kasus ACT tidak lantas memandekkan langkahnya dalam berderma kepada sesama.
Peringkat 1 WGI Indonesia Tak Lepas dari Karakter Budaya dan Religi
Pernyataan Fita soal keinginan donasi yang tak surut dikonfirmasi oleh laporan World Giving Index (WGI) 2023 yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan selama 6 tahun berturut-turut.
Laporan WGI teranyar keluaran badan amal asal Inggris—Charities Aid Foundation (CAF), itu memperlihatkan, pada 2022, Indonesia memperoleh angka 68 persen, mengungguli Ukraina (62 persen), Kenya (60 persen), Liberia (58 persen), Amerika Serikat (58 persen), Myanmar (57 persen), dan Kuwait (57 persen).
Semakin tinggi skor yang diperoleh suatu negara maka semakin banyak pula penduduk yang terlibat dalam kegiatan memberi di negara tersebut. Skor paling rendah yakni nol dan skor tertingginya 100.
Kegiatan memberi yang diukur dalam WGI itu meliputi tiga hal: membantu orang asing alias orang yang tidak dikenal, berdonasi dalam bentuk uang, dan meluangkan waktu untuk menjadi sukarelawan di organisasi tertentu.
Pengamat sosial dari Universitas Azzahra, Rissalwan Habdy Lubis, menilai ada tiga faktor yang melatarbelakangi tingginya indeks memberi di Indonesia. Pertama, konteks bangsa bermigrasi, kuatnya nilai religi, dan semakin maraknya kegiatan crowdfunding di media sosial.
“Kita secara geografis tersebar di banyak pulau, nah jadi ini faktor historis dan geografis ini membuat karakter budaya orang Indonesia suka saling tolong. Dan ini sampai sekarang jalan terus, dengan adanya budaya mudik misalnya,” ujar Rissalwan yang kini menjabat Dekan FISIP Universitas Azzahra itu lewat sambungan telepon, Jumat (5/4/2024).
Rissalwan berpendapat, secara umum bangsa Indonesia bersifat sangat religius, apa pun agamanya. Hal itu dinilai karena ajaran semua agama di Indonesia adalah berbagi, baik berbagi kesenangan kepada orang lain, dan menolong orang yang lebih susah.
“Dan kedermawanan dalam konteks itu, sebetulnya tidak melihat juga latar belakangnya, saya meyakini, semua agama tidak peduli, maksudnya gini ya, tidak peduli apakah membantu itu dari agama yang sama atau tidak,” katanya melanjutkan.
Publikasi WGI 2023 juga menyebut, orang-orang yang religius cenderung mempunyai indeks memberi yang lebih tinggi. Dengan kata lain, individu yang menyatakan kalau agama adalah bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, punya indeks memberi yang lebih tinggi ketimbang mereka yang mengatakan agama tidak fundamental.
Sebuah riset tahun 2020 bertajuk “GoPay Digital Donation Outlook”, yang dilakukan GoPay bersama Kopernik, pun punya temuan serupa. Dua motivasi utama berdonasi masyarakat Indonesia adalah nilai sosial dan nilai agama. Nilai sosial itu berarti isu-isu yang sesuai dengan nilai yang dipegang.
Kembali ke tiga komponen yang diukur WGI, menariknya, Indonesia unggul dalam hal donasi berbentuk uang dan menjadi sukarelawan, dibanding menolong orang tak dikenal. Berbeda dengan negara-negara lain di belakangnya yang lebih tinggi persentasenya dalam hal “membantu orang yang asing”.
Untuk memberi gambaran, persentase orang dewasa Indonesia dalam membantu orang asing dan berdonasi uang berturut-turut sebanyak 61 persen dan 82 persen. Sementara di Kenya sebaliknya, yakni 76 persen dan 53 persen.
Melihat rendahnya persentase orang Indonesia yang mau membantu orang asing, Rissalwan menilai, kebanyakan orang Indonesia memang punya kecurigaan tinggi jika berinteraksi secara tatap muka. Masyarakat akan lebih waspada apakah orang yang tak dikenal itu akan melukai atau membahayakan.
“Dari 34 provinsi [di Indonesia], sebelum 38 [provinsi], itu lebih dari setengah logo provinsinya pasti ada senjata tajam. Ini merefleksikan apa? Merefleksikan orang Indonesia ini punya kecurigaan yang tinggi, dia siap menghunuskan senjatanya ke orang lain,” tuturnya, sembari tertawa.
Skor WGI yang diperoleh Indonesia pada 2022 tercatat konsisten sejak tahun sebelumnya. Pada 2021, nilai WGI Tanah Air juga berada di level 68 persen dan tetap bertengger di peringkat pertama sebagai negara paling pemurah.
Pengaruh COVID-19, Pilihan Isu Donasi Bergeser dari Kebencanaan ke Kesehatan
Dalam hal pilihan isu populer dalam berdonasi, terdapat tren perubahan sebelum terjadinya pandemi COVID-19 dan pasca COVID-19 melanda Indonesia pada Maret 2020. Studi GoPay dan Kopernik menemukan, sebelum COVID-19, tiga isu populer yang jadi tujuan donasi masyarakat adalah keadilan sosial, bencana, dan keagamaan.
Sementara setelah pandemi COVID-19, posisi kedua yang sebelumnya diduduki isu kebencanaan digantikan oleh kesehatan. Persentase responden yang memilih berdonasi di isu kesehatan sebelum COVID-19 hanya berkisar 16 persen, kemudian meningkat menjadi 27 persen pasca pandemi COVD-19.
Menyoal alasan yang mendasari, setelah COVID-19 menimpa, sebanyak 48 persen dari 1.049 donatur yang terlibat dalam riset menyatakan mereka mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan 32 persen lainnya memperhatikan faktor keterdesakan.
Kedua basis itu juga dominan dipilih sebagai alasan menentukan isu donasi sebelum COVID-19. Namun demikian, persentase responden yang memilih faktor keterdesakan saat sebelum COVID-19 lebih rendah, yakni hanya sebanyak 24 persen.
Tak hanya pilihan isu donasi yang bergeser, pandemi COVID-19 juga nyatanya mengubah cara berdonasi masyarakat Indonesia. Riset GoPay yang sama menangkap tren bahwa sejak COVID-19, persentase donatur yang berderma hanya secara digital naik menjadi 43 persen, dari sebelum COVID-19 yang berkisar di angka 32 persen.
Temuan ini sejalan dengan merosotnya jumlah masyarakat yang hanya berdonasi secara non-digital. Hal tersebut mungkin ditengarai oleh adanya pembatasan kegiatan selama pandemi COVID-19 dan adanya anjuran untuk berdiam di rumah.
Perlu Aturan tapi Jangan Sampai Mematikan Semangat Donasi
Mengingat besarnya potensi pertumbuhan crowdfunding dan di saat yang bersamaan juga rawan disalahgunakan, pengamat sosial Rissalwan menyampaikan, pemerintah sebaiknya tak mengeluarkan regulasi yang mematikan semangat orang untuk memberikan bantuan kepada pihak lain
“Kuncinya begini, itu bukan mengatur lembaganya, tapi memastikan agar lembaga-lembaga pengelola ini, terutama yang mendirikan platform online, itu diaudit. Ini kan sekarang tidak ada kewajiban,” katanya kepada Tirto, Jumat (5/4/2024).
Selain dilakukan audit, perlu adanya aturan terkait batas wajar penggunaan dana untuk kebutuhan operasional. Dalam aturan Islam misalnya, kata Rissalwan, gaji atau operasional sebesar seperdelapan dana yang diterima.
“Dalam kasus ACT, ini kan menjadi masalah karena mereka pembagiannya itu kepada operasional, kepada pimpinan organisasi itu lebih besar daripada yang disalurkan. Itu masalahnya, tidak ada pengaturannya,” tutur Rissalwan.
Lebih jauh ia menegaskan, negara perlu mengantisipasi oknum penipu dan melakukan registrasi lembaga galang dana, sehingga mereka akan mengikuti aturan main dan melakukan audit sebagai tanggung jawab kepada publik.
“Beda izin dengan register ya, nah ini kan harus dibedakan. Kalau menurut saya di-register perlu, lembaga-lembaga ini perlu di-register. Kalau izin kan ujung-ujungnya bayar gitu ya, kesannya gitu kan,” katanya di akhir telepon.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty