Menuju konten utama

Indoktrinasi Patriotisme ala Vladimir Putin

Pendidikan patriotisme di Rusia selama era Putin digencarkan lewat klub militer anak & remaja, siaran TV, taman hiburan sejarah, museum, kurikulum sekolah.

Indoktrinasi Patriotisme ala Vladimir Putin
Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiri upacara peletakan bunga untuk memperingati 78 tahun berakhirnya pengepungan Leningrad dalam Perang Dunia II di Piskaryovskoye Memorial Cemetery, Saint Petersburg, Rusia, Kamis (27/1/2022). ANTARA FOTO/Sputnik/Aleksey Nikolskyi/Kremlin via REUTERS/aww/cfo

tirto.id - Patriotisme adalah salah satu topik favorit Vladimir Putin. Pada 30 Desember 1999, sekitar tiga bulan sebelum menang pemilu presiden untuk pertama kali, Putin menyinggungnya dalam esai berjudul Russia at the Turn of the Millenium. Putin pertama-tama mengungkapkan keprihatinan terhadap keterpurukan ekonomi dan seretnya pembangunan di Rusia setelah Uni Soviet bubar. Ia menuding rezim Soviet itu sendirilah biang keladinya.

“Komunisme dan kekuasaan Soviet tidak membuat Rusia jadi negara makmur yang masyarakatnya berkembang dinamis dan bebas. Komunisme terang-terangan menunjukkan ketidakmampuannya untuk melakukan pengembangkan diri yang sehat, justru membuat kita tertinggal dari negara-negara lain yang secara ekonomi lebih maju,” tulis Putin.

Lantas, apa yang ingin Putin lakukan untuk memakmurkan negaranya? Alih-alih meniru langkah para pemimpin masa lalu yang memaksakan ideologi negara kepada rakyat, ia memilih membangun keselarasan sosial dan persatuan yang bersifat sukarela. Nilai-nilai tradisional pun digadang-gadang sebagai elemen penting untuk mewujudkan itu semua, termasuk patriotisme, yang Putin deskripsikan sebagai “perasaan bangga terhadap negara, sejarah dan pencapaian-pencapaiannya... Upaya untuk membuat negara jadi lebih baik, kaya, kuat dan bahagia.”

“Jika kita kehilangan patriotisme, kebanggaan, dan martabat nasional,” tulis Putin, “kita akan kehilangan diri kita sendiri sebagai bangsa yang mampu meraih prestasi-prestasi besar.”

Klub Patriotik Anak dan Remaja

Dalam esai tersebut Putin menolak merestorasi ideologi negara. Namun, menurut Ekaterina Khodzhaeva dan Irina Meyer dalam studi untuk Center for Security Studies ETH Zurich pada 2017 lalu, konsep patriotismenya berangsur jadi ideologi negara itu sendiri.

Ideologisasi dilakukan lewat proyek ambisius bernama “Pendidikan Patriotik”. Program yang diperbarui setiap lima tahun sekali ini didefinisikan sebagai “aktivitas sistematik dan terarah oleh badan dan organisasi pemerintah untuk menciptakan kesadaran patriotik tinggi di kalangan warga, rasa kesetiaan terhadap tanah air, kesiapan memenuhi tugas sipil, dan kewajiban konstitusional untuk melindungi kepentingan ibu pertiwi.” Kementerian Pendidikan dan Sains, Kementerian Kebudayaan, sampai Kementerian Pertahanan didapuk sebagai penyelenggara di tingkat federal.

Pendidikan tentang patriotisme ini jadi “mekanisme utama untuk memobilisasi rakyat Rusia agar mendukung rezim politik.”

Ekspansi militer ke luar negeri dijadikan momentum bagi Kremlin untuk lebih menggencarkan pendidikan patriotisme di kalangan muda Rusia, termasuk saat menganeksasi Krimea pada 2014 lalu dan tak lama kemudian mengintervensi Suriah untuk membela rezim Baath dari gempuran oposisi sokongan kubu Barat, Turki, dan geng negara Teluk.

Berdasarkan dekrit presiden pada Oktober 2015, Kementerian Pertahanan mendirikan Yunarmia, organisasi yang di Indonesia mirip dengan Komcad (Komponen Cadangan). Pelajar usia 8 sampai 18, baik laki-laki maupun perempuan, diperbolehkan mendaftar. Di samping mengadakan pelatihan fisik dan militer, Yunarmia juga menawarkan aktivitas hiburan seperti pemutaran film animasi berlatar sejarah Rusia, turnamen catur, sampai arung jeram napak tilas penjelajah legendaris abad ke-18, Vitus Bering.

Sampai hari ini, Yunarmia tercatat punya satu juta anggota.

Semenjak Pusat Pendidikan Patriotik dan Sipil Rusia untuk Anak-anak dan Pemuda diresmikan pada 2016, berbagai pelatihan bertema militer dan patriotisme diajarkan lewat kegiatan ekstrakurikuler yang dinamakan “kelas kadet”. Sasarannya kali ini terutama anak laki-laki SD tingkat akhir atau awal SMP. Diharapkan saat dewasa nanti mereka memilih karier di bidang militer.

Afiliasi kelas kadet tidak hanya instansi militer. Lembaga penegakan hukum seperti Kementerian Situasi Darurat, Komite Investigasi, Layanan Federal Hukuman Eksekusi sampai Layanan Bea Cukai juga membuka kelas-kelas kadet dan berharap para pesertanya kelak bisa direkrut.

Di level federal, program-program ini dibiayai dengan APBN dengan anggaran yang selalu meningkat—dari 178 juta rubel pada awal 2000 jadi sekitar 1,6 miliar rubel atau Rp300 miliar untuk periode 2016-2020.

Tak hanya negara yang terlibat langsung dalam pendidikan patriotisme. Hal tersebut juga disebarkan lewat klub atau organisasi yang disponsori negara. Jurnalis investigasi Ilya Rozhdestvensky menyoroti salah satunya dalam liputan di Meduza pada 2015 lalu: DOSAAF, organisasi sukarelawan di bawah naungan Kementerian Pertahanan yang sudah berdiri nyaris satu abad. Di samping memberikan pelatihan militer untuk remaja tingkat SMA, DOSAAF—yang punya 10 ribu cabang lokal—juga rutin bikin acara. Dalam setahun, mereka mampu menyelenggarakan 6.500 kegiatan bertema militer dan 8.000 perhelatan olahraga.

Ada pula ujian ketahanan fisik—disebut tes “Siap untuk Kerja dan Pertahanan”—yang disponsori pemerintah dan kabarnya telah diikuti 200 ribu peserta.

Latihan di klub-klub patriotik ini sebenarnya relatif sederhana seperti baris-berbaris, zarnitsa (olahraga menyerupai taktik perang warisan era Soviet), lomba menembak pakai senapan, pistol, panah, sampai kompetisi balapan motor dan terjun payung.

Ada pula kamp musim panas Vorobyovy Gory bagi anak usia 10-12. Kegiatan utama mereka termasuk pementasan marching band. Marching band ini digagas oleh Vadim Masterskikh, ketua Gerakan Sejarah Militer Rusia cabang Moskow, yang sering memberikan kuliah umum tentang “sejarah dan keberanian”. Menurutnya, pengajaran sejarah militer bisa “menyadarkan masyarakat bahwa mereka tidak bisa menghabiskan hidupnya dengan bermain Telur Cokelat Kinder atau Pokemon.”

Sejumlah klub patriotik-militer juga berafiliasi dengan jaringan Gereja Ortodoks dan bergantung pada sumbangan dari Patriarch Kirill (kepala Gereja Ortodoks Rusia) alih-alih anggaran pemerintah. Klub-klub ini suka menawarkan program latihan bernama “Ratoborchestvo”, teknik tempur ala tradisi bangsa Slavia. Peserta belajar menghindari tusukan pisau atau peluru, berlindung dari barang-barang yang dilempar ke arahnya, dan menempuh medan sulit dengan mata tertutup kain.

Selain itu, ada juga klub patriotik ortodoks bernama Dobrovolets yang suka menawarkan program simulasi seperti latihan membebaskan tawanan perang sampai berpura-pura jadi tawanan yang melarikan diri dan bertahan hidup di alam liar tanpa makan dan minum. Kaum muda di klub ini dilaporkan sangat mengidolakan tokoh militer Igor Strelkov dari Republik Rakyat Donetsk, daerah separatis di timur Ukraina.

Rozhdestvensky mengatakan tidak diketahui pasti jumlah organisasi patriotik-militer yang ada, namun data pemerintah menyebut minimal terdapat 400 unit.

Medium Edukasi Lain

Sebelum klub-klub di atas menjamur, pemerintah sudah berusaha mengedukasi publik tentang patriotisme lewat medium televisi.

Pada 2005, Kementerian Pertahanan meluncurkan Zvezda, saluran khusus acara-acara bertema patriotisme dan militer. Menurut Menteri Pertahanan kala itu, Sergei Ivanov, Zvevda ditujukan bagi para “patriot” yang muak dengan konten-konten bernuansa seksual dan kekerasan. Mereka menampilkan film, rekaman konser, dokumenter, berita, bahkan animasi untuk anak-anak yang kebanyakan bersumber dari koleksi Kemenhan dan arsip film nasional sejak era Soviet.

Zvevda ditanggapi dengan skeptis karena cita-citanya yang muluk, target penonton terlalu luas, sampai pendanaan kurang jelas—yang berpotensi jadi celah korupsi.

Selain itu, kelak Zvevda menjadi corong propaganda Kremlin, termasuk disinformasi yang merendahkan khalayak Ukraina seperti keberadaan zombi Nazi di antara tentara, transfer senjata ke teroris di Timur Tengah, atau rakyat yang merebut makanan milik burung dara demi bertahan hidup.

Ada juga forum diskusi memperingati hari lahir ke-350 Peter Agung, penguasa Rusia paling berpengaruh sampai awal abad ke-18, yang diselenggarakan oleh Komunitas Pengetahuan Rusia. Pemberi materi termasuk profesor-profesor sejarah Rusia, sementara sasaran kegiatannya adalah anak-anak sekolah. Diskusi ini diakhiri dengan tur ke pameran tentang dinasti Romanov di St. Petersburg.

Maxim Dreval, Direktur Komunitas Pengetahuan Rusia, berharap proyek pendidikan ini bisa mendorong “kaum muda agar menyelami masa lalu karena tanpa itu mustahil untuk memahami dasar-dasar kedaulatan nasional, kekhasan geopolitik, dan kepentingan strategis negara pada hari ini.”

Usaha untuk mendongkrak patriotisme lewat pengajaran sejarah juga digencarkan melalui pembangunan taman hiburan sejarah interaktif, semacam tontonan multimedia permanen bertajuk “Rusia: Sejarahku”. Proyek ini dikelola oleh Yayasan Proyek Kemanusiaan yang bekerja sama dengan badan-badan pemerintah, dari kantor presiden sampai kementerian, serta jaringan gereja Kristen Ortodoks.

Tahun 2017, Bloomberg melaporkan BUMN energi Gazprom mendonasikan sebagian besar uang donasi mereka yang jumlahnya mencapai 26 miliar rubel ke proyek ini. Namun pihak Yayasan mengelak. Dilansir dari artikel RFE/RL, mereka mengklaim hanya menghabiskan sekitar 120 juta rubel untuk setiap taman, yang biayanya diurus pengelola tingkat daerah dan sponsor lain. Sedangkan menurut investigasi RFE/RL, sedikitnya 10 miliar rubel sudah digelontorkan untuk proyek tersebut.

Menurut situs resmi, proyek sejak 2015 ini mempekerjakan sejarawan, seniman, sinematografer, sampai pakar grafik komputer untuk mengubah lembaran buku sejarah tentang Rusia yang membosankan menjadi “hidup” dalam wujud animasi, infografik, rekonstruksi digital, dan instalasi tiga dimensi. Tujuannya “agar setiap pengunjung merasa lebih terlibat dalam kejadian-kejadian yang mewarnai lebih dari seribu tahun sejarah Tanah Air”.

Taman “Rusia: Sejarahku” tersebar di 23 kota, dari St. Petersburg di ujung timur sampai nun jauh di barat dekat Korea dan Jepang seperti Vladivostok dan Yuzhno-Sakhalin.

Masing-masing punya eksibisi sementara. Misalnya, pada April ini taman cabang Moskow menyelenggarakan pameran “Kronik Kekejaman NATO” yang menampilkan arsip foto dan rekaman video tentang “metode-metode kejam yang dipakai NATO untuk mencapai tujuan utamanya: dominasi militer-politik di penjuru dunia.”

Belum puas menyodorkan tema-tema patriotik dalam proyek “Rusia: Sejarahku”, pada 2019 silam Kremlin memerintahkan museum di penjuru negeri agar menyisipkan “prioritas-prioritas negara” dalam konten pameran mereka.

Sebagai contoh, dari April sampai Juli nanti, Museum Kemenangan di Moskow membuka pameran “Nazisme Sehari-hari” untuk mengungkap “kekejaman kalangan nasionalis Ukraina selama Perang Dunia II, serta kejahatan massal dan teror oleh Neo-Nazi modern terhadap pendudukan Ukraina pada 2014-2022.”

Acara ini dipandang penting sampai-sampai pembukaannya dihadiri Menteri Pendidikan Sergey Kravtsov. Dalam kesempatan tersebut, Kravtsov mengumumkan rencana pemerintah untuk mewajibkan pendidikan sejarah bagi pelajar kelas satu SD atau mulai 7 tahun. “Kami tidak akan pernah membiarkan sejarah menulis bahwa kami memperlakukan orang lain—saudara sebangsa Ukraina dan Belarus—dengan buruk. Kami akan melakukan yang terbaik untuk melestarikan ingatan sejarah,” ujarnya.

Campur tangan pemerintah dalam kegiatan museum ini dikritik berbagai kalangan karena dianggap mirip dengan cara diktator Joseph Stalin pada 1930-an. Pada dekade 1970-an, pegawai museum juga dilaporkan terbiasa mengatur ulang pameran sesuai permintaan pemerintah.

Cengkeraman Kremlin sampai ke ranah pendidikan bisa dilacak sejak 2020, ketika parlemen Duma meloloskan undang-undang yang memasukkan “patriotisme Rusia” dan “kesadaran sipil” dalam kurikulum pendidikan anak-anak sekolah di Rusia dan Krimea. Keputusan tersebut diambil pada tahun sama ketika rakyat Rusia mendukung amandemen konstitusi untuk mengizinkan Putin berkuasa dua periode lagi.

Infografik Pendidikan Patriotisme Putin

Infografik Pendidikan Patriotisme Putin. tirto.id/Fuad

Bangsa Paling Patriotik?

Lalu apa hasil dua dekade Putin mengampanyekan pendidikan patriotisme? Apakah kecintaan rakyat Rusia terhadap negaranya meningkat?

Meskipun sulit melihat korelasi langsung antara keduanya, dukungan publik terhadap invasi Rusia ke Ukraina baru-baru ini mungkin bisa memberikan sedikit gambaran bahwa patriotisme di Rusia relatif terpelihara. Survei dari Chicago Council on Global Affairs dan Levada Center pada akhir Maret atau sebulan setelah invasi mengungkap 53 persen responden sangat setuju dengan operasi militer negaranya di sana, sementara 28 persen responden lain mengaku agak setuju.

Sebenarnya, berbagai pengamatan selama ini menunjukkan betapa orang Rusia cukup patriotik. Menurut penelitian oleh profesor ekonomi Michael Alexeev dari Indiana University dan William Pyle dari Middlebury College yang diterbitkan di Washington Post pada Maret kemarin, masyarakat Rusia konsisten rela berkorban untuk mendukung kepentingan negaranya.

Alexeev dan Pyle merujuk pada data survei dari International Social Survey Programme pada 1995, 2003 dan 2013. Hasilnya, jauh lebih banyak warga Rusia mau mendukung negaranya—terlepas yang dilakukan benar atau salah—dibandingkan warga dari 12 negara Eropa, Amerika Serikat, Filipina, dan Jepang. Pandangan tersebut paling tinggi disuarakan oleh angkatan kelahiran setelah 1976. Mereka juga berada di tingkat pertama atau kedua yang setuju bahwa negara harus mengejar kepentingannya terlepas itu berdampak pada konflik dengan bangsa lain.

Masih melansir temuan Alexeev dan Pyle, “patriotisme buta” di Rusia bisa dilacak kemunculannya sebelum Putin berkuasa. Antara 1990-1995, mulai marak pandangan yang menjagokan “pasukan pertahanan kuat” alih-alih pertumbuhan ekonomi atau demokratisasi. Penyebabnya disinyalir berkaitan dengan rasa malu yang mengiringi kejatuhan Uni Soviet.

Uniknya, dari sekian banyak negara pecahan Soviet, “patriotisme buta” paling kencang gaungnya di Rusia, negara yang dipandang masih terhanyut dalam nostalgia akan kejayaannya sebagai kerajaan besar di masa lalu, atau meminjam istilah dari pakar politik Emil Pain, mengalami “sindrom imperial”.

Baca juga artikel terkait PUTIN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino