tirto.id - Usulan mengubah ketentuan masa jabatan presiden dalam amandemen Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 kembali muncul. Hal itu diusulkan salah satu partai politik di parlemen yakni Nasional Demokrat (Nasdem).
Awalnya, rencana amandemen UUD 1945 hanya sebatas menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun Sekjen Partai Nasdem Johnny Gerard Plate mengusulkan masa jabatan presiden menjadi salah satu isu yang dibahas dalam amandemen tersebut.
Usulan tersebut diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dalam wawancara dengan BeritaSatu TV, Jumat (15/11/2019).
Surya berkata bahwa batasan masa jabatan presiden bukanlah pasal yang kaku dalam konstitusi dan dapat diamandemen.
“Sejujurnya, jika semua partai politik setuju [diamandemen], lalu mengapa saya harus tidak setuju?," kata Surya.
“Semuanya dapat dievaluasi tergantung pada perubahan dan kebutuhan situasi saat ini. UUD 1945 telah melalui empat amandemen, jadi tidak ada yang salah dengan satu atau dua lainnya," imbuhnya.
Ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen.
Pasal itu berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Merujuk Pasal tersebut, presiden dan wakil presiden maksimal menjabat paling lama sepuluh tahun atau dua periode.
Merusak Tatanan Demokrasi
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai usulan Partai Nasdem ini akan merusak bangunan konstitusi. Ia mencurigai ada kepentingan lain di balik keinginan Surya Paloh mengubah masa jabatan presiden dalam amandemen UUD 1945.
"Jika ada yang berkeinginan memperpanjang masa jabatan tentu ada kepentingan seseorang yang ingin memperpanjang masa jabatannya. Jangan sampai dituduh Jokowi merusak tatanan konstitusi melalui surya paloh," kata Feri kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2019).
Feri pun mengingatkan agar pelukan erat antara Presiden Joko Widodo dan Surya Paloh saat penutupan Kongres Nasdem beberapa waktu lalu tak menjadi transaksi politik. Ia menekankan jangan sampai Jokowi terkesan tunduk kepada kepentingan oligarki.
"Jangan sampai pelukan Jokowi-Surya kemarin adalah transaksi kampanye perpanjangan masa jabatan presiden," ucap Feri.
Feri juga menganggap usulan ini hanya akan merusak tatanan demokrasi yang sudah ada saat ini. Ia menilai aturan yang berlaku saat ini sudah ideal, yakni presiden dan wakil presiden dibatasi maksimal menjabat sepuluh tahun atau dua periode.
"Usulan seperti ini tentu merusak pembatasan kekuasaan sebagai bagian dari mekanisme demokrasi," kata Feri.
Kekuasaan presiden seperti era Soeharto atau Orde Baru, di mana masa jabatan presiden tak dibatasi, membuat sang jenderal berkuasa selama 30 tahun lebih. Feri berharap apa yang terjadi pada Orde Baru tak terjadi lagi saat ini.
Dua kali masa jabatan bagi presiden juga dinilai sudah rasional oleh Pengajar komunikasi politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin. Kekuasaan yang terlalu lama seperti Orde Baru akan menimbulkan banyak masalah, salah satunya korupsi.
"Mudaratnya sangat banyak. Lama berkuasa yang terjadi akan banyak tumbuh subur korupsi," kata Ujang.
Apabila usulan perpanjangan masa jabatan presiden ini diterima MPR RI, menurut Ujang semakin memperlihatkan praktik kartel politik sekaligus oligarki.
Ujang menyarankan seluruh elemen masyarakat untuk tidak membiarkan Negara berjalan mundur dan melawan oligarki yang mendikte parleman dan pemerintah.
"Usulan ini jelas ngawur dan perlu ditolak. Bisa saja itu usulan untuk testing the water untuk melihat respons publik. Publik akan menolak usul itu. Amerika yang mbahnya demokrasi pun presidennya dibatasi dua periode," tegas Ujang.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Gilang Ramadhan