tirto.id - Kami sampai di tempat yang terletak di Jalan Trans Flores itu sebelum gerimis datang. Tempat sepi, tapi ada papan kecil bertuliskan “BUKA”. Apalagi meja masih rapi, lengkap dengan peralatan makan dan tisu. Sudah pasti warung bernama RM Arema Sari Laut ini buka.
Anjing yang sebelumnya asyik bersantai di depan warung menggonggong melihat kami. Sepertinya dia menyangka kami garong.
Kami menengok ke dapur di bagian belakang. Nihil orang. Zulkifli Songyanan, kawan perjalanan saya, bertanya ke tetangga soal pemilik warung. Yang ditanya menggeleng, dia tak tahu ke mana sang pemilik warung. Kami memutuskan menunggu. Hingga lima belas menit berlalu.
“Sepuluh menit gak ada penjualnya, kita cabut yak,” kata saya. Zul mengangguk.
Kami berdua kelaparan, sebenarnya. Seharian kami mengelilingi Labuan Bajo. Melihat pantai, juga pembangunan di sana-sini. Kami meringis tiap kali melihat bangunan tinggi dibangun, dengan jendela menghadap pantai. Labuan Bajo sedang berubah, dan sepertinya perubahan ini terlalu cepat. Di tengah jalan, suara Joni Mitchell berkumandang lirih di kepala.
They paved paradise and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique and a swingin' hot spot
Kami lantas menghabiskan sore di G-Spot, sebuah kafe kecil milik Gabriel Mahal, pengacara asli Labuan Bajo. Di warung ini tak ada makanan berat. Pasalnya sederhana: tak ada listrik untuk kulkas, apalagi freezer. Jadilah yang mereka sajikan hanya minuman dan beberapa kudapan.
Pulang dari sana, saya dan Zul sepakat untuk cari makan enak. Pilihannya jatuh pada ikan kuah asam.
Ikan kuah asam ini adalah salah satu makanan khas Labuan Bajo, terutama masyarakat pesisirnya. Ikan kuah asam di Labuan Bajo hidup seturut dengan masyarakatnya. Artinya, menu dan bahannya tak pernah tunggal dan ajeg, tergantung apa yang ada di pasar dan di dapur.
Untuk ikan, misalnya. Ada yang memasak pakai tongkol, kakap, cakalang, kembung, atau tuna. Tentu saja, sebagai kawasan pesisir, Labuan Bajo diberkahi dengan ikan segar yang baru diangkat dari laut. Ibaratnya, ikan di Labuan Bajo hanya mati sekali sebelum masuk kuali.
Begitu pula sumber rasa asamnya. Citra Khutami Kader, penulis Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo, menyebut cita rasa asam masakan ikan kuah asam ini bisa beragam. Dia menyebut beberapa bahan seperti tomat hijau, air asam Jawa, atau tomat.
"Bahkan, ada juga yang pakai mangga muda dan belimbing wuluh," kata Citra.
Bayangan obrolan soal ikan kuah asam dengan Citra bubar ketika terdengar suara motor terdengar semakin dekat. Itu orang yang kami tunggu.
“Sudah lama menunggu?” katanya sembari menaruh plastik berisi barang belanjaan. “Pantas, saya di pasar perasaan tidak enak. Seperti ada perasaan harus cepat kembali, ternyata memang ada pembeli.”
Namanya Billy. Pria asli Ruteng ini sudah lama dikenal sebagai juru masak handal, khususnya memasak ikan kuah. Sebelum membuka RM Arema Sari Laut, dia lama bekerja sebagai supir bus dan truk. Kenalannya banyak, menyebar dari ujung timur hingga utara Flores, Nusa Tenggara, juga Jawa. Dia sering memasak buat para handai tolan, semua memuji masakannya.
Mereka akhirnya mendorong Billy untuk membuka warungnya sendiri. Billy menuruti saran mereka, membuka RM Arema Sari Laut. Nama Arema adalah penghormatan untuk istrinya yang asli Malang, Jawa Timur.
Saya sempat diajak ke dapur yang terbuka itu. Dari area makan, saya bisa melihat dua kompor, gas, bumbu-bumbu, juga bak berisi air. Konsepnya memang terbuka, tapi ini bukan kesengajaan.
“Jadi dapur saya ditabrak mobil sampai hancur,” katanya terkekeh. “Karena belum ada dana untuk renovasi, maka begini saja.”
Ia menunjukkan beberapa ekor ikan yang dia punya. Dia menyarankan saya ikan kerapu totol, dan Zul memilih kakap merah. Ini dua jenis ikan yang dagingnya tak begitu tebal –tak seperti tuna atau cakalang, misalkan– tapi lembut (flaky), dan punya rasa manis khas. Apalagi kalau ikannya masih segar seperti di tempat Om Billy.
Billy menyiapkan wajan untuk menjerang air yang dipakai untuk merebus bumbu halus dari bawang-bawangan dan kunyit. Teknik ini istimewa, ujarnya, sebab biasanya bumbu ikan kuah asam ini ditumis dengan minyak.
“Punya saya bumbunya tidak ditumis, jadi rasanya lebih segar karena gak ada minyaknya,” ujarnya.
Bumbu ini direbus sebentar saja, kemudian ampasnya disaring. Ini membuat kuahnya halus dan tak ada ampas yang bisa tertinggal di dinding kerongkongan. Setelah kuahnya mendidih, ia memasukkan ikan yang sudah diiris di bagian samping. Selagi menunggu ikan dimasak, Billy menaburkan segenggam garam kasar. Ia menyebut garam ini sebagai garam Himalaya –mungkin setengah bercanda merujuk pada garam Himalaya yang tren sejak beberapa tahun terakhir. Selagi menunggu ikan setengah matang, ia mencomot beberapa keping asam Jawa, memetik daun kemangi, dan mengiris tomat.
Setelah matang, kemangi dan tomat akan dicemplungkan ke dalam kuah. Dimasak sebentar saja, hingga wangi kemangi menguar ke udara.
Billy menyajikan ikan kuah asam kemato –kemangi tomat– dibarengi satu periuk nasi yang mungkin cukup buat empat orang. Seruputan pertama, mata saya membelalak: wuenak! Perpaduan asam Jawa, dengan sedikit jejak kunyit, wangi dan rasa citrusy dari kemangi dan tomat, terasa begitu padu. Rasa asamnya bukan yang bikin mata mengerjap, secukupnya saja. Segar!
"Ini resep khas saya, silakan dicoba. Kalau enak, kasih tahu teman," kata Billy tertawa kecil.
Di luar, gerimis masih awet dan mengundang. Suhu terus turun, bikin saya merapatkan jaket. Seiring suapan nasi terakhir di piring, dan ikan kuah asam yang masih banyak, saya menatap nanar. Sebelum masakan datang, saya berjanji pada diri sendiri untuk tak makan berlebihan.
Saya harus melanggar janji untuk tak menambah nasi. Diet bisa dimulai besok. []
Editor: Irfan Teguh Pribadi