tirto.id - Atas nama gotong-royong, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengimbau warganya untuk patungan Rp1.000 setiap harinya. Gerakan ini dalam upaya menambal anggaran pendidikan dan kesehatan yang belum mampu ditanggung pemerintah sepenuhnya. Bagi kalangan pengamat, cara ini dinilai kelewat pragmatis.
Mereka yang diminta untuk urunan mulai dari Aparatur Sipil Negara atau ASN, siswa sekolah sampai masyarakat umum. Patungan yang dibebankan pemerintah kepada warga ini, seiring terbitnya Surat Edaran Nomor: 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau disingkat Poe Ibu, yang diteken Dedi Mulyadi pada 1 Oktober 2025.
Dedi menyebut beban urunan ini sebagai kontribusi sederhana dari warga. Dia menekankan urunan Rp1.000 sehari sebagai gerakan yang sejalan dengan kearifan lokal Jawa Barat; "silih asah, silih asih, dan silih asuh".
“Gerakan ini menjadi wadah donasi publik resmi untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang sifatnya darurat dan mendesak dalam skala terbatas pada bidang pendidikan dan kesehatan,” petik isi surat edaran, yang dikutip Tirto, Minggu (5/10/2025).
Dalam surat edarannya, Dedi menginstruksikan sembilan wali kota dan 17 bupati se-Jawa Barat untuk memastikan imbauan urunan Rp1.000 sehari diterima pegawai instansi pemerintahan, swasta, siswa sekolah dan masyarakat luas di wilayahnya masing-masing.
Dedi juga menekankan para pemangku kepentingan di daerah mesti menjamin keterbukaan informasi soal pengelolaan dana urunan warga.
Adapun dana gerakan Poe Ibu ini rencananya dikumpulkan melalui rekening khusus yang dibuat terlebih dahulu oleh masing-masing lingkup, baik instansi, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Bank daerah BJB ditunjuk sebagai bank resmi yang menghimpun dana urunan warga, dan setiap pembukaan akun mesti dengan ketentuan nama rekening: Rereongan Poe Ibu – nama instansi/sekolah/unsur masyarakat.
Seturut itu, soal pengumpulan, pengelolaan, penyaluran, pencatatan dan pelaporan penggunaan dana hasil gerakan Poe Ibu menjadi tugas pengelola setempat di setiap lingkup. Misal kepala sekolah yang mensupervisi transparansi dan akuntabilitas dana urunan di tingkat sekolah.
Nantinya, laporan penggunaan dana aka dismpaikan ke publik lewat aplikasi Sapawarga atau portal layanan publik yang disiapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pengelola anggaran mesti pula meyakinkan keterbukaan dana urunan dengan memanfaatkan akun media sosial masing-masing, yang dilengkapi hashtag: #RereonganPoeIbu #nama instansi/sekolah/unsur masyarakat.
Belakangan, surat edaran soal urunan Rp1.000 sehari untuk warga ini diklaimnya bukan kebijakan, tapi sifatnya hanya imbauan. Namun dia mengingatkan bahwa hari ini di Jawa Barat masih banyak warga yang menghadapi kesulitan biaya transportasi atau akomodasi saat berobat ke rumah sakit.
"Ada yang tidak punya ongkos ke rumah sakit, tidak punya biaya untuk menunggu keluarga yang dirawat, bahkan kesulitan bolak-balik kemoterapi dari Cirebon ke Jakarta," ujar Dedi dalam keterangan resminya, Senin (6/10).
Bagi Dedi, masalah akses kesehatan dan pendidikan dapat selesai di tingkat lingkungan kecil. Sehingga, katanya, bakal relevan kalau setiap lingkungan RT dibentuk bendahara atau pengelola dana yang dipercaya warga untuk menampung sumbangan sukarela Rp1.000 sehari. Dana lalu dikumpulkan di kotak yang disediakan di depan rumah masing-masing.
"Nanti kalau ada orang sakit, kemudian tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakitnya, maka orang yang mengelola uang itu bisa memberikannya dan setiap bulan harus dilaporkan kepada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA (WhatsApp) sekarang, di RW ada grup WA, [jadi] sangat mudah," ujar Dedi.
Dedi menjelaskan seluruh urunan dana dari warga hanya menjadi kepentingan warga. Dia mengklaim dana terkumpul tidak akan dicampur pemerintah sebagai keuangan daerah. Begitu pula soal anggaran untuk proses pengumpulan urunan dana, Dedi bilang tidak akan mengusik APBD. "Tidak ada uang rakyat yang dikolektifkan,” kata dia.
Tanda Pemerintah Bermasalah Kelola Anggaran Kesehatan dan Pendidikan
Koordinator Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman, mengatakan imbauan urunan Rp1.000 per hari ala Dedi Mulyadi menggambarkan ada masalah dalam tata kelola anggaran sektor kesehatan dan pendidikan. Menurutnya, membebankan urunan kepada warga setiap hari, tidak sejalan dengan peran atau fungsi pemerintahan yang sepatutnya menjamin pemenuhan hak dasar warga.
Adapun pada struktur APBD 2025 Jawa Barat, anggaran untuk sektor kesehatan naik Rp81,3 miliar menjadi Rp2,5 triliun. Alokasi anggaran pendidikan juga mengalami peningkatan Rp120 miliar menjadi Rp11,3 triliun. Pos anggaran untuk dua sektor itu di bawah 40 persen dari total APBD sebesar Rp 32,8 triliun.
Sebagai perbandingan, APBD Jawa Timur pada tahun yang sama untuk sektor kesehatan tembus Rp6,4 triliun dan Rp9,9 triliun alokasi dana pendidikan. Dari segi jumlah penduduk, jumlah warga Jawa Timur hampir 42 juta jiwa, lebih sedikit dibanding Jawa Barat, yang memiliki total penduduk sebanyak 50 juta jiwa per akhir 2024.
Sebelum APBD Jawa Barat final, Dedi di awal pemerintahannya sempat mengatakan anggaran pendidikan bakal diproyeksikan naik hingga Rp1,2 triliun. Dana triliunan itu, katanya, untuk membangun 33 ribu ruang kelas baru dan pembebasan tanah untuk membangun sekolah baru dalam dua tahun.

“Kan, masyarakat sudah berperan, tanpa harus diimbau untuk kontribusi Rp1.000 per hari. Ada pajak yang dibayarkan rakyat selama ini. Baik yang langsung, seperti pemegang NPWP atau mereka yang tidak secara langsung ikut bayar pajak seperti membayar PPN,” kata Jajang kepada Tirto, Senin (6/10/2025).
Jajang menambahkan mesti ada kajian mendalam sebelum menggulirkan imbauan ini ke publik. Dia mengkhawatirkan imbauan ini bakal berujung pada kebijakan. Ujung-ujungnya, urunan ini bakal menjadi polemik.
“Misal dicoba dulu di lingkaran ASN dulu, di golongan yang cukup mapan. Tapi ini kan pukul rata untuk seluruh lapisan masyarakat. Bagi mereka yang berpenghasilan UMR saja, keluarkan Rp1.000 terkadang agak mengerem, apalagi mereka yang hanya berpenghasilan Rp50 ribu,” kata dia.
Merujuk surat edaran Dedi soal imbauan urunan ini, ada satu aturan yang menjadi rujukan penerbitan surat, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jika menilik beleid itu, Pasal 53 menekankan, peran masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, termasuk penyediaan dana hingga jasa.
Jajang berpendapat opsi kebijakan keuangan seperti efisiensi anggaran seharusnya ditempuh pemerintah daerah terlebih dulu. Belanja pegawai maupun belanja barang dan jasa terkait operasional pemerintahan bisa ditekan secara proporsional.
“Yang seharusnya dilakukan efisiensi, tapi ini efisiensi di Pemprov Jabar belum berjalan maksimal. Pos-pos belanja yang boros harus dilakukan evaluasi dan efisiensi untuk mengalihkan ke sektor pendidikan dan kesehatan, bukannya minta urunan masyarakat,” kata Jajang.
Tepat Secara Kemanusiaan, Keliru Secara Kebijakan Publik
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat juga menanggapi. Menurut dia imbauan urunan bagi warga Jawa Barat, Rp1.000 per hari ini dilihat dari sudut pandang kemanusian mungkin tepat, tetapi dalam pandangan kebijakan publik, ini tindakan yang keliru dan salah arah.
Kata Achmad, masalah yang ingin dipecahkan sebenarnya kentara, yakni ada kebutuhan bersifat mendesak yang sering tak tertangani cepat oleh anggaran pemerintah seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Ide gotong royong mencoba menutup celah itu.
Tetapi kebijakan publik tidak cukup dinilai dari niat baik. Sebab yang menentukan adalah desain, tata kelola, dan dampaknya pada keadilan layanan.
“Di sinilah kita perlu jernih. Gerakan Rp1.000 sehari bisa membantu sebagai jembatan darurat, namun tidak boleh menggantikan kewajiban negara untuk memastikan hak dasar warga terpenuhi. Gotong royong boleh, tapi jangan menutupi masalah utama—perencanaan dan penyaluran anggaran yang belum cukup cepat,” ujar Achmad kepada Tirto, Senin (6/10/2025).
Menurut Achmad, jika pemerintah terlalu bergantung pada donasi harian, dorongan untuk memperbaiki mesin anggaran akan melemah. Di sisi lain, desain rekening mikro di banyak unit berpotensi memecah pengelolaan dana menjadi potongan-potongan kecil yang sukar diawasi.
“Unit yang kaya sosial akan mengumpulkan lebih banyak, sementara unit terpencil tertinggal. Akhirnya, akses layanan ditentukan oleh seberapa ramai jaringan sosial sebuah sekolah atau puskesmas, bukan oleh kebutuhan yang paling mendesak. Ini berlawanan dengan prinsip kesetaraan layanan publik,” urainya.

Sehingga, menurut dia, solusinya ada pada perbaikan sistem bukan penyangga. Ibarat di kendaraan bermotor, perbaikan mesin bukan pada memperbanyak ban serep.
Sejumlah langkah yang bisa diinisiasi misalnya, buat dana kontinjensi mikro di dinas pendidikan dan kesehatan dengan aturan yang sederhana, bukti yang ringan, dan target waktu pencairan yang jelas, misalnya 1–3 hari. “Ini memungkinkan kebutuhan kecil ditangani cepat tanpa melewati prosedur rumit,” kata dia.
Selain itu, katanya, pemerintah bisa sempurnakan skema bantuan operasional sekolah dan masifkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan dukungan biaya non-medis seperti transportasi dan nutrisi pendamping. Sebab, hambatan akses sering justru ada di biaya semacam ini.
“Ukuran keberhasilan bukan jumlah unggahan di media sosial, melainkan seberapa cepat anak kembali ke sekolah karena biaya kecil tertutup, dan seberapa banyak rujukan kesehatan yang berhasil karena ongkos non-medis dibantu,” kata dia.
Dia menekankan bahwa dalam perdebatan soal gerakan patungan Rp1.000 per hari, setidaknya ada dua peran yang tidak boleh tertukar, yakni solidaritas warga dan kewajiban negara. Gotong royong sangat berharga untuk menutup celah-celah darurat yang kecil namun mendesak.
Tetapi hak atas pendidikan dan kesehatan tetap tanggung jawab negara melalui anggaran resmi yang transparan dan bisa diaudit.
“Posisi saya tegas, gerakan Rp1.000 sehari dapat dijadikan sebagai penolong saat darurat, namun sepenuhnya dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau komunitas independen, bukan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat,” kata dia.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































