tirto.id - Seorang anak perempuan berusia 14 tahun diperkosa beramai-ramai. Tubuhnya ditemukan dengan tangan terikat, telanjang di dasar jurang. Gadis malang itu bernama Yuyun binti Yakin, asal Bengkulu. Gadis malang asal Bengkulu, diperkosa oleh 14 pemuda saat ia dalam perjalanan pulang sekolah. Sampai di sini, ambil jeda. Tahan amarah anda, lalu bayangkan jika korban adalah kerabat atau bahkan anak Anda. Apakah Anda bisa menerima?
Masyarakat marah. Mereka menuntut keadilan. Publik menginginkan keadilan. Tapi, keadilan yang seperti apa? Potong kelaminnya, kata seseorang di media sosial. Gantung, kata yang lain. Lalu bagaimanakah keadilan mesti ditegakkan dalam kasus keji seperti ini? Apakah dengan hukuman mati? Tapi apakah hukuman mati memberikan keadilan?
Pro Kontra Hukuman Mati
Albert Camus dalam esai panjang Reflections on the Guillotine mengupas tentang hukuman mati ini. Menurutnya, hukuman ini tak memberikan keadilan, juga tak memiliki dampak apapun terhadap kejahatan. Ia hanya sebuah tindakan brutal. Hukuman mati hanya memberikan kepuasaan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi. Dalam argumennya itu, Camus menyebut negara tak punya hak untuk merebut hidup orang lain.
Bagi para pendukungnya, hukuman mati dianggap sebagai hukuman paling manjur untuk memberikan keadilan dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. Teror dan rasa takut karena kehilangan nyawa akan membuat para calon pelaku jera. Ini kemudian melahirkan kontrol dan stabilitas di masyarakat. Hukuman mati juga bisa memberikan rasa tenang dan keadilan bagi keluarga korban. Mereka yang dilanggar akan mendapat rasa lega.
Ada 102 negara di dunia yang menghapus total praktik hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Sisanya masih mempraktikkan hukuman mati untuk kejahatan yang dianggap sangat berat. Kejahatan seperti pembunuhan massal, peredaran narkotika, spionase, kejahatan kemanusiaan genosida, dan pembunuhan berencana masih mendapat hukuman mati di beberapa negara seperti Chili dan Brazil.
Di Indonesia, eksekusi mati masih diakui sebagai alternatif hukuman mati. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah narapidana yang mati akibat hukuman ini masih sangat rendah. Setidaknya rata-rata terjadi satu eksekusi per 47.520.000 warga negara di Indonesia setiap tahunnya. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Cina, Iran, dan atau negara tetangga Malaysia.
Lantas seberapa banyak sebenarnya kematian akibat eksekusi mati oleh negara tiap tahunnya? Pada 2014 dari pantauan Amnesty International setidaknya 1.634 orang dieksekusi di 25 negara. Angka ini naik 50% dari 2014 yaitu 1.061 eksekusi mati. Eksekusi tersebut paling banyak terjadi karena kejahatan seperti narkotika, korupsi, dan pembunuhan. Namun ada pula eksekusi mati karena tuduhan kafir (murtad), homoseksualitas, dan perkosaan.
Stalin pernah berkata kematian satu orang adalah tragedi, sementara kematian ribuan orang adalah statistik. Eksekusi yang terjadi pada 2015 merupakan angka tertinggi selama 25 tahun terakhir sejak 1989. Cina menjadi negara dengan hukuman mati tertinggi di dunia dengan 2.400 eksekusi, disusul dengan Iran 966 eksekusi, Pakistan 320 eksekusi, Arab Saudi 158 eksekusi dan Amerika Serikat 28 eksekusi. Hingga akhir 2015 ada 20.292 narapidana yang menunggu untuk dieksekusi mati termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sejak lima belas tahun terakhir telah terjadi 30 eksekusi mati. Saat ini ada 133 orang yang divonis hukuman mati per desember 2012. Sebanyak 71 di antaranya adalah kasus narkoba, 60 orang karena pembunuhan, dan 2 karena terorisme. Belakangan publik menginginkan agar hukuman mati tidak hanya diberikan kepada pelaku kejahatan terorisme atau pembunuhan, tapi juga perkosaan terhadap anak-anak.
Cara Eksekusi
Cara eksekusi mati terhadap narapidana sangat beragam di berbagai negara. Mulai dari hukuman pancung seperti di Arab Saudi, sengat listrik di sebagian Amerika Serikat, gantung di Iran dan Cina, suntik mati di Amerika Serikat, dan ditembak oleh regu penembak seperti di Indonesia. Pilihan hukuman mati dengan metode suntik mati dianggap sebagai cara paling manusiawi untuk mengakhiri hidup seseorang. Karena metode lain seperti gantung dan tembak dianggap kurang manusiawi. Sementara hukuman pancung dan hukuman sengat listrik dianggap kejam.
Di Indonesia metode eksekusi adalah dengan menggunakan regu penembak yang akan menyasar jantung terpidana mati. Mereka yang akan dihukum mati bisa memilih untuk dieksekusi dengan berdiri atau duduk. Ini adalah kemewahan terakhir yang mereka punya. Terpidana mati ditutup matanya dengan kain atau ditutup dengan kain.
Ada 12 anggota regu penembak. Tiga dengan amunisi hidup, sembilan dengan amunisi kosong. Regu penembak berjarak lima sampai 10 meter dari terpidana. Jika setelah dieksekusi masih hidup, maka akan ada satu tembakan terahir di kepala. Terpidana mati diberitahu bahwa akan dieksekusi 72 jam sebelum dieksekusi.
Lantas apakah kejahatan terkait yang dihukum mati berkurang? Pada kenyataannya tidak, kejahatan tetap ada, dan efek jera yang diharapkan tidak terjadi. Seperti Indonesia, sebagian besar dari 966 narapidana yang dihukum mati di Iran adalah pelaku kejahatan yang terkait narkotika. Tetapi kejahatan terkait ini tetap ada. Demikian juga dengan eksekusi pelaku kejahatan terorisme, setiap eksekusi melahirkan teroris baru karena menganggap pendahulunya sebagai martir.
Argumen lain yang digunakan Albert Camus untuk menolak hukuman mati adalah metode ini tak dapat dibalikkan. Jika si tersangka terbukti tidak bersalah, maka negara selaku eksekutor tidak bisa mengembalikan hidup yang hilang. Selain itu, pada negara dengan sistem peradilan yang korup dan tak bersih, setiap vonis mestilah diragukan. Bisa jadi ia adalah produk dari peradilan yang sesat dan tidak benar. Di sisi lain, beberapa negara juga pernah membunuh mereka yang memiliki gangguan kejiwaan. Padahal secara hukum mereka tak boleh dieksekusi.
Pada 2015, beberapa negara akhirnya memutuskan untuk menghapus praktik hukuman mati dalam konstitusi mereka. Madagaskar telah menghapus hukuman mati pada Januari 2015, disusul kemudian Fiji pada bulan Februari, Suriname pada bulan Maret, dan Kongo pada November 2015.
Bagi banyak orang hukuman mati memang tampak seperti keadilan. Terlebih jika kejahatan yang dilakukan demikian hebat, seperti perkosaan terhadap anak-anak, teroris yang membunuh banyak orang dan bandar besar narkoba. Tapi jika kemudian hukuman mati tidak mengubah apapun kecuali menambah kematian lain, untuk apa ia dilaksanakan?
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti