tirto.id - Tulisan ini akan saya awali dengan sebuah kisah nyata.
Tahun 2011, saya menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di lereng Gunung Sumbing yang masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Wonosobo. Di desa tersebut terdapat empat dusun, tiga dusun teratas kami gunakan sebagai pondokan untuk peserta KKN yang jumlahnya mencapai 20 orang.
Desa tempat saya menjalani KKN itu dulunya merupakan penghasil tembakau yang cukup prominen. Namun, belakangan, produk unggulan mereka berubah menjadi kopi. Dengan lanskap agrikultur yang dominan ini, mungkin Anda bisa membayangkan bagaimana bentuk desa tersebut.
Sebetulnya, jarak dari satu rumah ke rumah yang lain tidaklah berjauhan. Namun, jarak dari satu dusun ke dusun lain bisa dibilang cukup jauh. Jalan yang kami lalui masih berwujud jalan makadam berbatu. Penerangan praktis tidak ada sama sekali kecuali jika Anda sudah mendekati dusun. Di kanan kiri? Jangan tanya. Semua berupa hutan ataupun kebun.
Jika Anda mengira ini adalah cerita horor, well, Anda tidak sepenuhnya salah. Bukan KKN di desa terpencil namanya kalau tidak dibumbui kisah-kisah yang tak bisa diproses dengan nalar. Kendati saya tidak pernah menyaksikan apa pun (kecuali gagang pintu yang bergerak sendiri), pikiran yang bukan-bukan senantiasa menggelayut tatkala harus melewati jalanan macam itu ketika hari sudah gelap.
Dan suatu hari, usai menyaksikan sebuah pertandingan Timnas Indonesia di pondokan paling bawah, saya sebenarnya sudah ditawari untuk menginap saja. Akan tetapi, saya menolak karena pondokan kawan-kawan saya itu sudah cukup sempit. Maka, menginjak pukul 9 malam, saya memutuskan untuk nekat kembali ke pondokan sub-unit saya sendiri yang mungkin memakan waktu kurang lebih 20 menit dengan sepeda motor.
Beruntungnya, malam itu, saya tidak membawa sepeda motor milik saya sendiri yang sokbrekernya sudah bermasalah. Malam itu, saya meminjam Honda Revo generasi kedua milik seorang kawan. Dan sepeda motor tersebut berhasil membawa saya dengan selamat meski harus mengebut malam-malam melewati jalur makadam yang menanjak dan gelap.
Seumur hidup saya belum pernah memiliki Honda Revo. Akan tetapi, dari pengalaman tersebut, saya bisa memaklumi jika, pada suatu masa, sepeda motor ini pernah menjadi rajanya motor bebek di Indonesia. Gasnya begitu enteng meski kapasitas mesinnya tidak besar. Selain itu, kaki-kakinya juga cukup oke diajak menerabas jalur yang menantang. Dua hal itulah yang sampai sekarang menjadi kesan positif saya terhadap Honda Revo.
Sejarah Honda Revo: Dari Supra Fit ke Revo X
Pada kisaran 2002-2003, di tengah sengitnya persaingan motor bebek di Indonesia, Honda membuat terobosan dengan meluncurkan tidak hanya satu, tetapi dua sepeda motor dengan kapasitas mesin 125cc. Pada 2002 mereka meluncurkan Kirana, lalu pada 2003 giliran Karisma yang diperkenalkan.
Patut dicatat bahwa saat itu Honda Supra X sedang jaya-jayanya. Sehingga, meskipun punya kapasitas mesin lebih besar, Kirana dan Karisma tetap gagal menggoyang dominasi Supra X. Pada akhirnya, Honda pun memutuskan untuk menyetop produksi Kirana dan Karisma sekaligus menaikkan kelas Supra X, dari bebek 100cc menjadi 125cc. Ini terjadi pada 2005.
Meski begitu, bukan berarti Honda berhenti bermain di bebek kelas 100-110cc. Pasalnya, sejak 2003 pula, mereka sudah merilis "versi hemat" dari Supra X, yaitu Supra Fit. Nah, Supra Fit inilah yang akhirnya jadi pemain utama Honda di kelas 100-110cc setelah Supra X resmi dipromosikan ke kelas 125cc. Itu semua terjadi selama kurang lebih dua tahun. Sebab, pada 2007, Honda resmi mengeluarkan motor 100cc terbaru yang kelak bakal membuat Supra Fit lenyap dari peredaran.
Ya, motor yang dimaksud tak lain adalah Revo. Dari sisi mesin, tidak ada yang istimewa dari Revo. Mesinnya SOHC 2 katup, berkapasitas 97,1cc dengan sistem pembakaran karburator, dan menggunakan pendingin udara. Namun, dari segi desain, Revo generasi awal, alias Revo Lancip ini, memang jauh berbeda dibanding Supra yang tampak "jinak". Desainnya ramping dengan tarikan garis tajam pada bodi. Opsi pelek racing pun disediakan oleh Honda.
Revo generasi pertama itu pun laris manis kendati sempat diragukan. Kesuksesan itu pun membuat Honda segera bergerak untuk menyiapkan versi penggantinya. Akhirnya, pada 2009, diluncurkanlah Absolute Revo 110.
Seperti yang diindikasikan pada nama resminya, Revo generasi kedua dibekali mesin 110 cc. Namun, bukan cuma itu yang berubah. Tampilannya juga dibuat berbeda. Revo generasi kedua ini tidak lagi menggunakan garis tajam, melainkan lekukan yang membuat dimensinya jadi lebih besar. Nah, motor inilah yang pada 2011 itu menemani perjalanan saya menembus jalan makadam di lereng Gunung Sumbing.
Revo generasi kedua sempat diwarnai oleh sebuah inovasi yang bisa dibilang berujung kegagalan. Pada 2010, Honda meluncurkan Revo Techno AT sebagai bagian dari Revo generasi kedua. Motor ini bentuknya memang seperti motor bebek kebanyakan. Akan tetapi, ia menggunakan transmisi otomatis laiknya skutik. Sayangnya, motor ini gagal total dan disetop produksinya pada 2013.
Kendati diwarnai kegagalan Revo Techno AT, Revo generasi kedua secara umum sukses besar. Sebab, motor ini sempat menjadi salah satu underbone tersukses Honda. Alasannya, selain karena irit, motor ini juga tangguh melahap berbagai kondisi jalan, khususnya di perdesaan.
Saat ini, Revo dipasarkan dengan nama Revo X, dan ini sebenarnya masih merupakan bagian dari Revo generasi ketiga yang diluncurkan pada 2014. Kala itu, Honda memperkenalkan Revo FI dengan sistem injeksi PGM-FI yang menekankan efisiensi bahan bakar sekaligus memenuhi standar emisi yang lebih ketat.
Bisa dikatakan, Revo X yang beredar saat ini merupakan hibrida dari dua Revo edisi pertama, yaitu Revo dan Absolute Revo. Dimensinya mirip dengan Absolute Revo, tetapi motor ini kembali menggunakan garis desain tajam yang dulu membuat Revo generasi pertama begitu digandrungi.
Motor Koperasi, Simbol Perjuangan Kelas Pekerja
Bagi sebagian pengguna, Honda Revo bukan sekadar motor murah. Lebih dari itu, ia adalah moda produksi.
Seorang pengemudi ojek online (ojol) bernama Adhie, misalnya, pernah menuliskan sebuah kesaksian tentang ketangguhan Honda Revo di jalanan. Adhie, yang pernah menggunakan Honda Absolute Revo 110 untuk narik, merasa bahwa motor tersebut itu jauh lebih gacor ketimbang skutik yang biasanya dia gunakan.
"Sekadar sharing, jujur semenjak pakai 'motor koperasi', sama pelanggan sering dibilang banter. Bahkan untuk urusan Go Food, meski lama di restoran tapi di jalan sebentar, alias gacor," tulis Adhie di laman Facebook-nya.
"Pagi tadi di sebuah perlintasan KA sebidang berpalang pintu. Saya paling depan sendiri [setelah] start dari belakang. Lah, kok, bisa banter (ngebut) paling depan nggak ada yang bisa kejar. Padahal lawannya nggak imbang, matik 150-155 cc semua," tambah Adhie.

Unggahan Adhie itu pun mendapat sejumlah tanggapan. Di antaranya, ada yang membahas soal bagaimana Honda Revo 110 itu jago sela-selip karena rasio girnya pendek dan torsinya besar, sehingga cocok digunakan untuk kendaraan kerja harian. Selain itu, ada pula yang menambahi soal keunggulan Revo lainnya dalam urusan handling dan kenyamanan.
Ya, soal efisiensi bahan bakar Revo—1 liter untuk 50 km dengan bensin RON92, itu sudah jadi rahasia umum. Akan tetapi, kelebihan-kelebihan yang diceritakan para pengguna, termasuk Adhie, itu selama ini memang acap luput dari pengamatan awam. Ini belum termasuk bagaimana motor ini memiliki mesin yang bandel, biaya perawatan yang murah, serta kaki-kaki kokoh untuk jalanan menantang.
Pada akhirnya, citra motor yang lincah, irit, dan tangguh ini perlahan membentuk identitas sosialnya. Revo kemudian dijuluki “motor koperasi” karena begitu lekat dengan segmen pekerja, mulai dari pegawai koperasi itu sendiri, kurir, sampai pengemudi ojol.
Popularitas julukan itu bahkan menyeberang ke ranah budaya pop lewat berbagai meme yang beredar di dunia maya. Revo kerap digambarkan secara hiperbolis: bisa mengejar nasabah, membuat lawan ketar-ketir, bahkan bikin motor sport kalang kabut ketika “motor koperasi” muncul.
Namun, di balik guyonan tersebut, ada pengakuan yang lebih serius. Yakni, bahwa Revo memang dipandang sebagai motor kerja keras, fungsional, dan identik dengan rakyat pekerja.
Pasar dan Konteks Terkini
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tidak akan ada julukan “motor koperasi” bagi Honda Revo tanpa ada bukti di dunia nyata. Olivia Widyasuwita, Division Head of Sales PT Wahana Makmur Sejati (Wahana Honda), menegaskan bahwa model bebek seperti Revo dan Supra X 125 kini masih menjadi andalan utama di segmen fleet dan niaga.
“Motor ini irit banget, bandel, perawatannya gampang, dan ringan. Cocok untuk usaha yang butuh kendaraan operasional yang handal,” ujarnya. Olivia bahkan menyebut bahwa mayoritas penjualan Revo dan Supra sekarang berasal dari fleet, dengan kontribusi lebih dari 50 persen.
Bagi Revo, menjadi kendaraan niaga memang sebuah realitas yang tidak terbantahkan. Pasalnya, sejak awal pun motor ini seakan-akan didesain untuk menjawab permintaan di ceruk tersebut. Dan kini, di tengah dominasi skutik untuk kendaraan sehari-hari, otomatis permintaan terhadap motor bebek macam Revo pun menurun. Beruntungnya, dengan citra dan reputasi yang sudah kadung kuat sebagai “motor koperasi”, pada praktiknya pun masih banyak “koperasi” atau malah “korporasi” yang menggunakan jasanya untuk keperluan niaga.
Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), pada 2024 market share motor bebek di Indonesia tinggal sekitar 5,4 persen. Sementara, skutik begitu dominan dengan persentase di atas 90 persen. Tentu, bagi Revo, ini bukan lagi zaman di mana mereka konsisten di papan atas daftar motor terlaris seperti pada 2011, misalnya, atau pada kurun 2017–2018 ketika penetrasi skutik belum semasif sekarang. Akan tetapi, fakta bahwa sampai saat ini Honda masih memasarkannya, dan bahwa motor ini masih punya peminat tetap, menunjukkan bahwa kualitas Revo memang istimewa.
Dalam konteks ini, istimewa tentu saja harus disesuaikan dengan fungsinya. Untuk kendaraan niaga, kemampuan menjelajahi 200 km hanya dengan 4 liter bensin jelas merupakan sebuah keistimewaan. Dan di segmen inilah Revo mampu terus menjawab tantangan. Meski pangsa pasarnya semakin kecil, eksistensinya tetap punya arti.
Pertanyaannya sekarang, sampai kapan Honda (maupun pabrikan-pabrikan lain) bakal mempertahankan eksistensi motor bebek seperti Revo? Entahlah. Yang jelas, besar kemungkinan, produksi motor bebek tidak akan dihentikan dalam waktu dekat karena, toh, pangsa pasarnya masih selalu tersedia. Itulah mengapa pula, sampai sekarang pun pabrikan-pabrikan tersebut masih terus mengeluarkan versi terbaru motor bebek, tak terkecuali Revo, meski bukan untuk pasar Indonesia.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id

































