tirto.id - Dalam semesta Fast & Furious, dunia yang kita tempati saat ini digambarkan sebagai dunia yang kacau dan brutal. Eksistensi manusia dipertaruhkan. Hari-hari yang dilalui tak ubahnya perjudian: apakah kelak bisa selamat dan melanjutkan hidup, atau justru jadi korban pembantaian massal yang dilakukan orang-orang jahat.
Semesta Fast & Furious tak lagi bicara soal mobil siapa yang cepat melaju di jalanan Los Angeles. Sekarang, adu jotos dan pamer senjata super-canggih—yang kadang bikin kita geleng-geleng kepala—adalah prioritas. Menyelamatkan dunia lebih penting ketimbang lomba balap mobil yang tak jelas juntrungannya.
Narasi semacam ini masih dipakai di seri terbarunya, berbentuk spin off, Fast & Furious: Hobbs & Shaw. Sebagaimana judulnya, Hobbs & Shaw mengangkat petualangan Luke Hobbs (Dwayne Johnson) dan Deckard Shaw (Jason Statham), dua laki-laki yang juga merupakan bagian dari persekutuan pimpinan Dominic Toretto (Vin Diesel).
Cerita Hobbs & Shaw mengambil latar waktu dua tahun usai film terakhir, Fast & Furious 8 (2017). Alkisah, anggota geng Dominic menjalani kehidupan normal, termasuk Hobbs dan Shaw yang masing-masing tinggal di Los Angeles dan London. Hobbs menghabiskan waktu di tengah musim panas yang panjang, sedangkan Shaw banyak bergumul di bawah terpaan hujan dan kabut pekat London.
Sampai akhirnya, suatu hari, masalah datang dari organisasi bernama Eteon yang berencana membangun kembali bumi dengan cara membinasakan mereka yang dinilai “lemah”. Eteon berisikan bandit-bandit kelas kakap, dipersenjatai dengan teknologi mutakhir, dan dikomandoi Brixton Lore (Idris Elba), mantan agen MI6 yang membelot.
Tujuan Eteon adalah virus yang dapat melenyapkan populasi bumi. Akan tetapi, tugas mereka tak mudah. Pasalnya, virus tersebut telah ditanamkan dalam tubuh Hattie Shaw (Vanessa Kirby), agen aktif MI6 yang tahu rencana jahat Eteon. Hattie pun seketika jadi incaran Eteon.
Dari sinilah tugas untuk Hobbs dan Shaw datang. Oleh CIA, mereka diminta membereskan keonaran yang muncul. Masalahnya, jalan ke sana dipastikan tak mulus: baik Hobbs maupun Shaw sama-sama benci satu sama lain.
Jualan Baru: Komedi
Film Hobbs & Shaw mengambil pendekatan yang berbeda dibanding film-film Fast & Furious terdahulu. Di film ini, sang sutradara, David Leitch (Atomic Blonde, Deadpool 2), berupaya mengedepankan aspek komedi di balik aksi laga orang-orang kekar.
Tujuan Leitch, setidaknya, berhasil tercapai. Berkat penampilan Dwayne Johnson dan Jason Statham, Hobbs & Shaw terlihat segar dengan banyolan-banyolan yang ada. Keduanya mampu menciptakan chemistry yang baik, menghidupkan sepasang karakter yang saling memendam ketidaksukaan namun sebetulnya saling membutuhkan.
Porsi komedi dalam Hobbs & Shaw dibikin cukup proporsional, selain juga, yang terpenting, dapat mengalir menyesuaikan plot yang ditulis. Dwayne dan Statham mampu membuat lelucon-lelucon di dalam film terdengar menyenangkan, dari yang levelnya receh (merisak satu sama lain dengan sebutan buah zakar) sampai yang tingkatnya mengejek negara asal (Inggris dan Amerika).
Merajut kekompakan antara Dwayne dan Statham di dalam layar sebetulnya bukan tugas yang susah mengingat ikatan keduanya sudah terbentuk di film-film sebelumnya. Di Hobbs & Shaw, kekompakan tersebut tinggal dipoles saja.
Kekonyolan Dwayne dan Statham kian paripurna dengan kehadiran pemeran pendukung macam Ryan Reynolds dan Kevin Hart. Baik Reynolds maupun Hart, kendati porsi tampilnya sedikit, nyatanya dapat berkontribusi cukup signifikan dalam menebalkan komedi yang diusung di Hobbs & Shaw.
Tetap Sama Saja
Sebagai salah satu franchise besar dalam industri Hollywood, Fast & Furious terus berbenah demi memantapkan hegemoninya. Yang paling kentara: mengubah alur cerita, dari semua soal balapan mobil menjadi aksi menyelamatkan dunia.
Keputusan untuk mengubah tema cerita tersebut punya dua sisi. Keuntungannya, temanya jadi lebih luas, tak terbatas soal balapan dan mobil. Di sisi lain, konsepnya sudah jauh berbeda lagi dan terasa lebih ambisius. Ini lantas menepikan apa yang jadi fokus awal di waralaba Fast & Furious: mobil. Di Hobbs & Shaw, mobil hanya terasa sebagai tempelan, sebagai pelengkap aksi belaka. Bukan sebagai inti cerita.
Wujud terbaik dari laga Fast & Furious bisa dikata ada pada seri kelima. Di film ini, semua dikemas secara seimbang: balap mobil ada, action-nya juga tak kelewat memenuhi keseluruhan durasi. Setelahnya, film-film Fast & Furious hanya mengandalkan ledakan berukuran besar.
Pola semacam ini masih ditemukan di Hobbs & Shaw. Terlepas dari komedi yang ditawarkan, Hobbs & Shaw, sama halnya film-film Fast & Furious sebelumnya, terlalu ambisius untuk jadi film laga besar. Selain itu, keluarga yang sebelumnya jadi benang merah, terasa seperti klise di sini. Seolah jika keluarga bersatu, maka semua masalah akan selesai.
Di saat bersamaan, naskah Hobbs & Shaw juga tak terlalu detail dalam mengeksplorasi karakter antagonisnya. Sebagai sindikat kejahatan internasional, Eteon semestinya dapat porsi cerita yang lebih. Kenyataannya, sang sutradara justru sekadar menonjolkan Brixton selaku pihak antagonis.
Dari sini kita paham bahwa yang terpenting dari franchise film Fast & Furious kekinian ialah ledakan dan aksi (mungkin juga komedi, mengingat konsep ini berhasil di Hobbs & Shaw). Di luar itu, silakan tunggu dulu.
Editor: Nuran Wibisono