tirto.id - Pernahkah Anda keluar dari bioskop dengan perasaan kagum dan bulu kuduk merinding? Atau terpacu adrenalin yang dinetralisir humor tepat dosis dan sasaran? Pernahkah aksi seorang karakter yang selalu terlihat murung, canggung, dan tidak banyak omong membuat Anda berempati?
Jika Anda belum pernah merasakan ketiganya, silakan tonton John Wick: Chapter 3 – Parabellum (selanjutnya Chapter 3) yang baru saja rilis 17 Mei lalu.
Chapter 3 (2019) adalah edisi terbaru dari rangkaian laga thriller John Wick yang dimulai sejak 2014. Cerita berpusat pada upaya John Wick (Keanu Reeves) menyelamatkan diri selepas membunuh petinggi organisasi mafia High Table di area netral Hotel Continental, New York. Wick yang telah melanggar aturan “Tak boleh ada darah di area netral” akhirnya diganjar status excommunicado. Artinya, seluruh hak istimewanya dilucuti dan siapa pun yang berhasil membunuhnya akan diberi imbalan $14 juta.
Sutradara Chad Stahelski tidak membuang waktu untuk masuk ke detik-detik menegangkan. John Wick punya waktu satu jam sebelum status excommunicado diaktifkan dan dirinya menjadi target yang menggiurkan. Penonton pun diajak menghitung waktu sembari berdebar menyaksikan apa yang akan terjadi pada John ketika status tersebut diaktifkan. Keputusan yang sama diambil Stahelski di John Wick Chapter 2 (2017) ketika film itu dibuka lewat aksi balas dendam Wick yang belum tuntas di John Wick Chapter 1 (2014).
Awalnya saya ragu jika film ketiga ini akan sebagus yang kedua. Chapter 2 memuat sekuens baku hantam di galeri seni, juga bunuh diri anti-klimaks tapi elegan oleh Gianna D'Antonio yang menyayat kedua pergelangan tangannya dengan jepit rambut. John, yang ditugaskan menghabisi Gianna, membiarkannya meregang nyawa sambil memegang tangan bos mafia itu.
Banyak kebrutalan segar yang ditawarkan di Chapter 3, salah satunya mencekik lawan dengan sebuah buku di perpustakaan—iya, buku, tak hanya pensil seperti yang dikisahkan di Chapter 1 dan dipraktikkan di Chapter 2. Chapter 3 adalah penggambaran yang tepat untuk mitos yang kerap kali dilekatkan pada John: “John, is a man of focus. Commitment. Sheer will”. Kali ini penonton benar-benar menyaksikan kombinasi ketiga sifat itu.
Duka Itu Candu
Chad Stahelski nampaknya memang tak punya belas kasih. Perkelahian John Wick dengan musuh-musuhnya dieksekusi dengan sadis, lebih intens dari dua film pendahulunya. Caranya boleh jadi klise—suara patahan tulang ketika Wick melumpuhkan musuhnya, darah yang terciprat ke kamera, hingga musik klasik di tengah perkelahian. Tapi, ketegangannya tetap merata sepanjang film dan terjaga ritmenya.
Sebelum duduk di bangku sutradara sejak Chapter 1, Stahelski pernah bekerja sebagai stuntman. Karirnya di dunia film berawal dari seorang stuntman di film The Crow (1994), menggantikan aktor utama Brandon Lee yang meninggal delapan hari sebelum pengambilan gambar selesai. Setelahnya, ia menjadi stunt double Keanu Reeves sekaligus pengarah aksi bela diri untuk The Matrix (1999). Seri John Wick, yang belum pernah mengecewakan, adalah debutnya sebagai sutradara.
Keanu Reeves adalah aktor yang paling tepat memerankan John Wick, pria kesepian yang ditinggal mati istri dan menuntut dendam atas pembunuhan anjing dan pencurian mobil Mustang 1969 miliknya. John Wick adalah pria minim ekspresi. Keanu Reeves sendiri dikabarkan telah mengalami banyak kehilangan dalam hidupnya. Pada 1999, pasangannya Jennifer Syme mengalami keguguran di usia kandungan delapan bulan. Dua tahun kemudian, Syme tewas dalam kecelakaan di Los Angeles.
Sejak itu Reeves memerankan karakter-karakter yang lebih gelap, canggung, dan depresif jika dibandingkan dengan yang dia mainkan di film-film awalnya seperti Bill & Ted's Excellent Adventure (1989), Bill & Ted's Bogus Journey (1991), Speed (1994), hingga The Matrix (1999).
Dari edisi pertama hingga ketiga John Wick, penonton dapat merasakan bangunan emosi berbeda dari karakter utama. Dalam Chapter 1, dendam membara Wick menuntunnya cepat-cepat menghabisi musuh. Chapter 2 lebih fokus ke duka dan kesepian yang disembunyikan John lewat kepiawaiannya 'berburu'. Sementara Chapter 3 menyuguhkan pertanyaan: mengapa John Wick ngotot bertahan hidup? Jika mati, bukannya ia bisa kembali bersama sang istri dalam ketiadaan?
Nyatanya tidak demikian bagi Wick. Kesedihan adalah candu baginya. Ia ingin hidup untuk mengenang kebersamaan dengan mendiang istrinya.
Stahelski masih menyelipkan humor dalam kubangan darah. Kadang yang lucu bukan humornya, melainkan pembawaan John yang canggung ketika karakter lainnya melucu. Selebihnya adalah adagium lama: satu mata dibalas satu mata.
Editor: Windu Jusuf