Menuju konten utama

Gus Yahya Tegaskan NU Tak Pernah Minta dan Merebut Jabatan

Gus Yahya mengatakan, sejak awal kemerdekaan, NU tidak pernah mementingkan golongan apalagi keluarga.

Gus Yahya Tegaskan NU Tak Pernah Minta dan Merebut Jabatan
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyampaikan keterangan pers terkait Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) di Plaza PBNU, Jakarta, Jumat (27/1/2023). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU

tirto.id - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf memastikan, PBNU akan selalu istiqamah memperjuangkan kepentingan agama, bangsa, dan dunia. Pria yang akrab disapa Gus Yahya itu menegaskan, bukan sekadar kepentingan organisasi apalagi kepentingan orang perorang di PBNU.

“NU dari dulu tidak pernah minta. Dari dulu kiai kita enggak pernah nyodor-nyodorkan untuk merebut jabatan,” kata Gus Yahya saat membuka Rapat Kerja Nasional Lembaga Kesehatan NU di Semarang, Jumat (11/8/2023) sebagaimana rilis yang diterima Tirto.

Gus Yahya mengatakan, sejak awal kemerdekaan, NU tidak pernah mementingkan golongan apalagi keluarga. Bahkan ada sebuah cerita di detik-detik kemerdekaan yang menunjukkan bahwa NU selalu mementingkan bangsa dan negara.

“Dulu itu menjelang kemerdekaan RI. Di tengah instensnya pergulatan persiapan kemerdekaan dengan PPKI dan BPUPKI di mana di situ KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) putra Hadratusyech KH Hasyim Asyari menjadi salah seorang tokoh utama panitia 9,” kata Gus Yahya.

“Pada saat itu ada seorang perwira Jepang namanya Naobuharo Ono, dia ini seorang muslim alias Abdul Hamid. Dia ini nanya pada Hadratusyech. Kiai kalau nanti Indonesia sudah merdeka betul siapa menurut kiai yang pantas memimpin negara yang baru lahir ini?” cerita Gus Yahya.

Saat ditanya Naobuharo Ono, kata Gus Yahya, Kiai Hasyim dengan tanpa ragu-ragu menjawab Insinyur Sukarno. “Padahal putranya sendiri ini (KH Wahid Yasyim) tokoh utama. Kenapa enggak disebut ya kalau bisa Wahid Hasyim. Beliau dengan tanpa ragu menyebut Insinyur Sukarno,” kata dia.

Ketegasan Hadratusyech ini, kata Gus Yahya, murni karena melihat yang terbaik untuk memimpin Indonesia pada waktu itu adalah Sukarno.

“Maka NU harus selalu berpikir tentang apa yang terbaik di bangsa dan negara ini, bukan untuk NU sendiri. Kita tidak peduli dari mana asalnya yang penting yang terbaik untuk bangsa dan negara,” kata Gus Yahya.

Baca juga artikel terkait NU atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz