tirto.id - Bagi Gus Dur, gerakan sadar lingkungan tak berbentuk rumusan-rumusan formal yang ditindak normatif. Kesadaran lingkungan yang sejati merupa adat istiadat yang telah menubuh pada tiap instrumen aktivisme. Di sisi lain, rumusan kebijakan formal, yang berkarakter mengikat sekaligus memaksa, niscaya terasa sia-sia apabila tak dibarengi dengan asas pelestarian yang berkelanjutan.
Alih-alih hanya mendorong lewat kebijakan formal, upaya sadar lingkungan yang berkelanjutan dan menubuh merupakan bagian dari warisan tak ternilai untuk generasi selanjutnya. Karenanya, Gus Dur selalu mewanti-wanti bahwa proses transmisi pengetahuan kepada generasi selanjutnya adalah tugas setiap insan, khususnya yang mengaku sebagai pemikir muslim. Sudah menjadi tanggung jawab setiap umat Islam untuk memiliki kesadaran akan betapa pentingnya lingkungan dan mutlak mencegah perilaku yang mencemarinya.
Sungguhpun demikian, tak sedikit ulama dan pemerintah yang justru terjebak dalam “lingkaran setan”. Gus Dur menilai telah terjadi krisis, yakni kondisi tipisnya kesadaran sosial yang dicap sebagai suatu kemalasan berpikir. Manakala tiba kerusakan lingkungan akibat kebijakan yang diprakarsai pemerintah, ulama sering memilih bertindak pasif dan abai terhadap isu lingkungan.
Hilangnya kemampuan kontemplatif dalam diri pemerintah merupakan penyebab awal dari kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada masyarakat. Pemerintah kehilangan public interest morality sehingga kepentingan umum diperdagangkan. Sebagaimana Gus Dur mengkritik fenomena ini dengan menyitir George Orwell atau Kafka yang mempertanyakan, “Begitu saja tidak bisa, kok berani mengambil keputusan?”
Pertanyaan itu cenderung pantas dimaknai sebagai sindiran atas kebijakan pemerintah yang kerap menanggalkan partisipasi masyarakat. Sebuah pertanyaan retoris, yang dimafhumi Gus Dur sebagai pemantik hakikat gugatan rakyat, hakikatnya adalah perlawanan hakiki.
“Tidak perlu ada yang memahami dan mengerti, tidak perlu ada pengikut yang mengelu-elukan perlawanan ini. Karena perlawanan hakiki landasannya adalah moralitas kemanusiaan pada titik yang paling rawan, yaitu bagaimana melestarikan kehidupan,” begitu tulisnya dalam pengantar buku Pembangunan PLTN: Demi Kemajuan Peradaban? (1996).
Lewat pengantar yang ditulis oleh Presiden Indonesia ke-4 itu, pembaca hendak diajak jalan-jalan menuju kota-kota di dunia yang berjibaku dengan rekaman tragis lantaran dampak modernitas. Teknologi nuklir kian merajalela, dan dicap oleh umat manusia sebagai nubuat kemajuan peradaban. Akan tetapi, Gus Dur justru menganggapnya “kutukan”. Karena eksotisme modernisasi, manusia memilih menganaktirikan kondisi lingkungan yang kian rusak.
Telah terjadi kriminalisasi terhadap peradaban manusia ketika kebijakan dibuat hanya demi segelintir orang. Kebijakan terhadap isu lingkungan harus mendapatkan restu konsensual dari rakyat. Sebab bagi Gus Dur, persetujuan rakyat dalam pengambilan keputusan wajib menjadi unsur utama, terutama kepada negara dengan pemerintahan yang sehat.
Kebijakan harus mempertimbangkan keterlibatan (partisipasi) masyarakat, disertai batas-batas wewenang pemerintah. Hukum dipastikan meluas dengan wawasan etika, agar pemangku kebijakan dan ulama memiliki landasan retorika dan refleksi.
“Kesadaran lingkungan sebagai butir pemikiran haruslah diproyeksikan kepada sisi-sisi tersebut, apabila diinginkan terjadinya proses saling menyerap yang baik antara kaum ulama dan generasi muda muslim yang menjadi umat mereka,” tulis Gus Dur pada 1993, yang kembali dipublikasikan dalam buku Insya Allah Saya Serius: NU, Muhammadiyah & Budaya Arab (2024).
Peduli Lingkungan Berarti Tidak Mengeruk Kekayaan Alam
Kekayaan sumber-sumber alam milik Indonesia tersedia dalam jumlah yang menggiurkan bangsa dan negara lain sejak dahulu. Sebagaimana dikutip dari Gus Dur Bertutur (2005), Abdurrahman Wahid menegaskan, “Hasil hutan yang berlimpah ruah seharusnya dapat digunakan oleh bangsa dan negara, tidak untuk ‘dijarah’ isinya oleh para pemegang HPH (Hak Penguasaan Hutan).”
Gus Dur mengartikulasikan, selama ini “oknum” menipu dan mencuri kekayaan alam hutan melalui kedok program yang seolah-olah berkomitmen dengan reboisasi. Namun kenyataannya, HPH justru menyulap ribuan hektar tanah menjadi savana yang hanya ditumbuhi ilalang, seperti yang terjadi di NTT dan NTB.
Lain lagi pendapatnya soal tambang. Kondisi negara dengan hasil tambang masih terseok-seok dan kewalahan akibat kontrak perjanjian dengan perusahaan asing. Walhasil, negara justru merugi.
Gus Dur mencontohkan kasus Teluk Buyat di Minahasa, yang terindikasi tinggi kadar merkuri akibat malapraktik perusahaan tambang AS, Newmont Corp. Laporan yang ditulis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, belum ada pihak yang tahu secara pasti asal merkuri dan senyawa arsenik yang mencemari perairan di sana.
Setidaknya sedari 1996, korporasi multinasional yang mengelola pertambangan di sekitar Kecamatan Ratatotok adalah PT Newmont Minahasa Raya dan PT Tanjung Serapung. Namun, kedua perusahaan tersebut menyangkal tuduhan yang dilayangkan. Dalihnya, dalam proses produksi, mereka hanya menggunakan sianida guna memilah emas dari mineral lain yang terbaur dalam batuan. Padahal, biar bagaimanapun, pipa pembuangan tailings NMR tetap mengarah langsung ke perairan Buyat.
Kasus Buyat amat disesalkan oleh Gus Dur. Karena tambang, proses penyelidikan hukum yang berlangsung justru dicap dikendalikan oleh “mafia peradilan”. Dampaknya, Indonesia (masyarakat) mengalami kerugian besar yang jika diakumulasikan mencapai triliunan dolar.
Alasan kuat Gus Dur sampai pada kesimpulan “menolak tambang” adalah kebijakan dan praktik pertambangan di Indonesia hampir selalu berkaitan dengan korupsi, degradasi lingkungan, dan marginalisasi komunitas lokal. Hal ini berkaitan dengan nalar dan pedoman fikih Gus Dur yang berbasis maslahat. Bagi Gus Dur, kemaslahatan tidak melulu harus mengacu pada persoalan nash ‘hukum’, melainkan juga harus mencorong pada waqi’iyah 'realitas'.
Dalam mengambil keputusan, Gus Dur sering berpijak pada kaidah dar ‘al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih yang berarti menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil langkah-langkah untuk keuntungan. Sikap itu sekaligus menempatkan upaya preventif di atas dampak destruktif pertambangan.
Sekalipun pertambangan berpotensi mendongkrak ekonomi makro, selama kepemimpinannya, baik di Nahdlatul Ulama maupun presiden, Gus Dur tak mau menekankan pertambangan sebagai kebutuhan yang mendesak. Mekanismenya harus disusun hati-hati, akuntabel, transparan, dan berkelanjutan.
Warisan Pemikiran dan Aktivisme Lingkungan
“Bahkan tercatat dalam sejarah bahwa Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak pernah memberikan konsesi tambang serta melakukan moratorium penebangan hutan untuk keberlanjutan kelestarian ekosistem,” ungkap Inayah Wahid, ketua Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian, pada 11 Juni 2024.
Kekritisan Gus Dur rupanya mampu memberi warisan pemikiran kepada penerusnya, yang sampai detik ini menolak tegas upaya pertambangan yang dikelola ormas. Bukan hanya kepada anaknya, warisan itu juga mengakar pada simpatisan-simpatisan yang mengelu-elukannya sebagai penghayat intelektual.
Fakta bahwa Gus Dur menjadi satu-satunya Presiden Indonesia yang tak memberi konsesi tambang pernah ditelusuri dan dibuktikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Auriga Nusantara lewat buku berjudul Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi (2022: 7).
Presiden yang paling banyak memberikan konsesi (alokasi penguasaan lahan) tambang kepada korporasi adalah Susilo Bambang Yudhoyono, dengan angka 35.049.966 hektare; disusul Soeharto, yang memberikan konsesi sebesar 9.828.174 hektare; lalu Joko Widodo 1.614.042 hektare; Megawati Soekarnoputri 927.648 hektare; dan B. J. Habibie yang hanya 5.008 hektare.
Meski begitu, bukan berarti Gus Dur sama sekali absen dalam pemberian konsesi lahan kepada korporasi. Presiden ke-4 itu tercatat menerbitkan konsesi untuk logging sebesar 1.333.936 hektare, alokasi lahan kebun kayu sebesar 113.665 hektare, serta konsesi untuk perkebunan sawit sebesar 107.674 hektare.
Angka-angka tersebut sekaligus menjadikan Gus Dur sebagai presiden dengan pemberian konsesi lahan paling minim jika dibandingkan dengan presiden-presiden lainnya—sampai masa Joko Widodo. Total, Gus Dur hanya memberikan warisan konsesi lahan sebesar 1.555.276 hektare untuk empat aspek kekayaan alam yang dikelola korporasi dan negara.
Sebagai catatan, nama Sukarno tidak dicatut dalam daftar sebab era konsesi baru dimulai sejak munculnya UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Artinya, semenjak tahun itu, era ekosistem HPH di Indonesia telah dimulai.
Gus Dur juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang memotori gerakan hijau dalam partai politik. Kala menjadi Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dirinya menegaskan bahwa gerakan hijau dalam spektrum partai murni atas kesadaran lingkungan, bukan agitasi yang ditujukan untuk menyerang pemerintah.
“Jadi lebih berupa gerakan kultural. Berbeda dengan Partai Hijau yang ada di Barat yang politis, ingin jatuhkan presiden,” ucapnya sewaktu pidato acara "Deklarasi Hijau Menyelamatkan Lingkungan Bersama Gus Dur" di Bali (27/2/2007).
Dalam perhelatan itu, Gus Dur juga mengamanahkan kepada politikus PKB tentang pedoman yang mesti diemban partai terhadap isu lingkungan. Pertama, PKB diharuskan menggali nilai-nilai budaya dan tradisi lokal terkait pemeliharaan lingkungan. Kedua, tidak memolitisasi isu lingkungan. Ketiga, perhatian lebih terhadap kondisi Indonesia yang masih serba transisional.
Di purnaacara, Gus Dur menandatangani Deklarasi Hijau bersama DPP dan DPW PKB, tokoh masyarakat, pemuka agama, serta tokoh lainnya. Bahkan, dalam enam poin yang menjadi tuntutan Deklarasi Hijau, mereka meminta pemerintah memutus kontrak karya dengan perusahaan tambang migas dan non-migas di kawasan hutan lindung.
Selain itu, Gus Dur mendukung disahkannya Ketetapan Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini menjadi acuan tertinggi negara pada waktu itu untuk memanajemen SDA agar sesuai dengan tiga aspek pelestarian: sosial, ekonomi, dan ekologi.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin