Menuju konten utama

Guru Bimbel Terjepit Saat Corona, Bersaing Pula dengan Sekolah

Nasib guru bimbingan belajar makin terjepit, selain tidak mendapatkan upah, mereka harus bersaing dengan sekolah yang menerapkan belajar daring.

Guru Bimbel Terjepit Saat Corona, Bersaing Pula dengan Sekolah
Ilustrasi Bimbel online

tirto.id - Pemasukan Zulkaisi sebagai guru di lembaga bimbingan belajar (LBB) turun drastis setelah Gubernur DKI Anies Baswedan memberlakukan skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 10 April lalu. Pada bulan pertama ia bahkan kehilangan pendapatan sama sekali.

Ia memulai debut sebagai pengajar lepas bimbingan belajar (bimbel) saat masih berstatus mahasiswa tingkat enam, empat tahun lalu. Bimbel menjadi pilihannya mengasah pengalaman mengajar serta yang utama menambah pundi-pundi uang. Tempatnya mengajar memberi upah Rp65 ribu untuk satu sesi. Zulkaisi biasa mengajar tiga sesi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam sehari. Jika diakumulasikan, Zulkaisi bisa mengantongi Rp3,5 juta dalam sebulan.

Tapi setelah pandemi, ia mengaku “pendapatan dari bimbel sangat turun bahkan tidak ada setengahnya.” Hal ini menurutnya terjadi karena orang tua murid yang terdampak pandemi tidak lagi memperpanjang masa belajar si anak. Uang yang terbatas dialihkan untuk pos pengeluaran lain yang lebih mendesak.

Setelah satu bulan PSBB berjalan, tempatnya bekerja baru mengadaptasi pembelajaran online. Jumlah kelasnya sangat terbatas. Pendapatan Zulkaisi pun masih jauh di bawah standar. “Bulan Mei saya dapat Rp315 ribu,” keluhnya kepada reporter Tirto, Kamis (11/6/2020) malam.

Beberapa orang tua merasa pembelajaran berbasis daring tidak maksimal. “Bahkan ada beberapa yang telah membayar iuran, meminta uangnya kembali.”

Menurutnya kondisi seperti ini akan terus berlangsung sampai Indonesia dinyatakan benar-benar bersih dari COVID-19. Ia pesimistis penerapan normal baru akan membawa perubahan pada aktivitas mengajarnya di bimbel.

“Sekolah formal belum bisa beroperasi, tentunya banyak bimbel yang belum bisa beroperasi juga,” tandasnya.

Febri Sulistyo bernasib serupa. Sejak COVID-19 menjangkiti Indonesia pada awal Maret 2020, ia kehilangan dua peserta didik yang tak melanjutkan ikut pembelajaran privat. Ia juga kehilangan lima muridnya di LBB Camp-UI. Padahal, ia sudah berniat untuk mengalihkan metode pembelajaran menjadi daring.

“Mungkin pertimbangan orang tua pembelajaran jarak jauh tidak begitu efektif ketimbang tatap muka,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (11/6/2020).

Kondisi ini membuat pendapatannya turun hingga 60 persen. Bahkan tempat mengajar Febri mesti menutup sementara salah satu cabangnya. “Biaya sewa tempat, listrik, dan lain-lain bisa dipangkas untuk beberapa waktu,” ujarnya.

Kalah Bersaing

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salin mengatakan penurunan siswa bimbel juga karena sekolah formal menerapkan metode belajar daring dengan tugas segudang.

“Fungsi bimbel pun jadi berkurang. Otomatis anak-anak bimbel juga turun drastis. Input pembiayaan orangtua ke LBB berkurang dan nyaris tak ada,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.

Situasi ini belum bisa kembali normal meski LBB memutar otak dengan menawarkan program-progran pelatihan untuk siswa-siswa SMA tingkat akhir yang akan menghadapi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) pada Juli nanti.

Di sisi lain, persoalan ini potensial menimbulkan masalah ketenagakerjaan karena tempat les tetap harus perlu mengupah para guru tetap mereka. Meskipun, menurut Satriwan, ada pula LBB yang mempekerjakan pengajar lepas.

Satriwan belum melihat urgensi pemerintah mengintervensi LBB yang terdampak pandemi. Toh itu bukan kewajiban pemerintah sebagaimana sekolah negeri.

“Lebih baik dialihkan anggarannya ke sekolah swasta menengah-bawah dan anak-anak di daerah, mereka menjalani PJJ dengan keterbatasan jaringan internet dan bahkan tak punya gawai,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait BIMBINGAN BELAJAR atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri