Menuju konten utama

Biang Kerok Penyegelan Masjid Ahmadiyah Depok: SKB 3 Menteri

SKB 3 Menteri dinilai menjadi biang kerok penyegelan Masjid Ahmadiyah di Depok. Diperpara dengan Perwali Depok dan Pergub Jabar.

Biang Kerok Penyegelan Masjid Ahmadiyah Depok: SKB 3 Menteri
Ilustrasi HL Indepth Minoritas. tirto.id/Lugas

tirto.id - Masjid Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kelurahan Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, disegel pemerintah kota setempat pada 22 Oktober 2021. Kepala Bidang Penegakan Perda Satpol PP Kota Depok Taufiqurakhman menjelaskan, penyegelan tersebut hanya bersifat mengganti tanda segel yang sudah pudar.

Tanda berupa pelang besi tersebut, sudah menjadi tanda penyegelan Masjid Al-Hidayah sejak 2017. “Selain diganti, kami geser pemasangan pelang ke tengah gerbang. Untuk memastikan, jangan ada aktivitas,” ujar Taufiq kepada wartawan pada 22 Oktober 2021.

Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Indonesia Kota Depok, Abdul Hafidz membenarkan bahwa telah terjadi pembaruan tanda segel. “Hanya pembaruan segel. Tidak ada perubahan substansi,” ujar Hafidz kepada reporter Tirto, Senin (25/10/2021).

JAI di Indonesia sudah ada sejak era 1990 di Kota Depok. Kehidupan mereka tentram dan aktivitas keagamaan mereka berjalan normal, sebelum akhirnya terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat pada 2008.

Pasca terbitnya SKB 3 Menteri tersebut, mereka mulai dihalangi untuk beribadah. Mulanya masjid mereka disegel dengan menggunakan balok yang diletakan di pintu masjid.

Ketika Pemkot Depok menerbitkan Peraturan Wali Kota Nomor 9 tahun 2011, disusul terbitnya Surat Perintah Wali Kota Depok Nomor 300/130 1-SatPolPP pada 22 Februari 2017, sejak itu masjid mereka mulai dipasangi pelang segel.

Terbitnya Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 menjadi faktor tambahan JAI sulit beribadah.

Penyegelan ini membuat Jemaah Ahmadiyah kecewa dan merasa dirugikan. Mereka mengacu kepada SKB 3 Menteri dan tak ada klausul penyegelan masjid.

Dalam SKB 3 Menteri hanya ditekankan bahwa JAI dilarang menyebarkan ajarannya, jika tidak akan diberikan sanksi. SKB 3 Menteri juga meminta masyarakat untuk menjaga ketentraman dan tidak melakukan hal melawan hukum terhadap JAI.

“Kami selaku pihak yang dirugikan berhak beribadah. Kami merasa keberatan atas hal ini. Kecuali kami siar keluar,” ujar Hafidz.

Setelah masjid mereka disegel Pemkot Depok, Jemaah Ahmadiyah memanfaatkan teras di luar masjid untuk melaksanakan kegiatan keagamaan: salat dan mengaji.

PENYEGELAN KEMBALI MASJID AHMADIYAH

Petugas Satpol PP Kota Depok menyegel kembali masjid jemaat Ahmadiyah yang segelnya dibongkar oknum di Masjid Al-Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (4/6) dinihari. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

Jokowi Didesak Cabut SKB 3 Menteri

Sekretaris Yayasan Satu Keadilan (YSK) Syamsul Alam Agus selaku pendamping JAI Kota Depok menilai peraturan Perwali Depok 9/2011 berpotensi memantik konflik antarwarga.

Terlebih lagi dalam pemasangan segel baru Jumat kemarin, Satpol PP menyertakan kelompok organisasi masyarakat berorasi menentang kehadiran JAI. Hal tersebut menegaskan Pemkota Depok bersikap intoleransi.

Sebab itu, YSK mendesak Pemkota Depok untuk mengevaluasi Perwali 9/2011.

“Sikap Wali Kota Depok yang enggan mengavaluasi kebijakan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Depok telah menegaskan Pemerintah Kota Depok tunduk dan melanggengkan praktik intolerasi,” ujar Syamsul Alam Agus dalam keterangan tertulis, Senin (25/10/2021).

YSK juga meminta untuk Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menag, Jaksa Agung, dan Mendagri agar mengevaluasi SKB 3 Menteri tahun 2008 tersebut. Sebab regulasi tersebut telah menjadi dasar sikap segala tindakan destruktif terhadap JAI.

“Untuk mewujudkan toleransi di satu kota penting adanya komitmen pemerintah yang kuat yang tercermin mulai dari kebijakan, pelaksanaan hingga dukungan terhadap budaya harmoni dan saling menghormati perbedaan dan hak-hak asasi di tengah warganya,” tukasnya.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga menyarankan evaluasi menyeluruh terhadap SKB 3 Menteri. Sebab telah terjadi salah pemahaman substansinya. Hal itu berdampak pada potensi penegakan hukum yang keliru. Pembatasan bukan pelarangan, ujar Beka. Dan JAI mestinya tetap bisa beribadah terbatas di lingkungan mereka.

“SKB 3 menteri menyasar semua pihak termasuk aparat negara. Siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum harus ditindak. Harus dievaluasi total implementasinya plus substansinya. Tanggung jawab utama, ada di kementerian/lembaga yang menandatangani SKB,” ujar Beka kepada reporter Tirto, Senin (25/10/2021).

Hal sama diutarakan Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan. Ia mendesak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Wali Kota Depok M. Idris untuk mencabut kebijakan diskriminatif soal Ahmadiyah. Ia mengingatkan bahwa kebijakan tersebut inkonstitusional dan bertentangan dengan SKB 3 Menteri tahun 2008.

Mengacu pada data longitudinal Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) SETARA Institute, dalam lima tahun terakhir saja, JAI menjadi korban pelanggaran KBB dalam 54 peristiwa dan 83 tindakan. Mereka juga meminta Polri untuk melindungi warga dan menjaga properti kepemilikan Ahmadiyah di seluruh Indonesia.

SETARA Institute tidak ingin insiden Depok seperti peristiwa Ketapang, Nusa Tenggara Barat pada 2006. Kala itu, Jemaat Ahmadiyah dipersekusi, menjadi objek kekerasan, rumah mereka dijarah dan dibakar warga, dan kemudian diusir dari tempat tinggal mereka.

"SKB 3 Menteri ‘hanya’ memperingatkan agar JAI tidak melanggar UU PNPS 1965 dan menghentikan kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam," tegas Halili.

Respons Kemenag

Menanggapi penyegelan yang tak diatur dalam SKB 3 Menteri, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin menilai hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah.

“Tentu wali kota punya pertimbangan ya,” ujar Kamaruddin Amin kepada reporter Tirto, Senin (25/10/2021).

Terlepas dari itu, baginya, SKB 3 Menteri adalah titik moderat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Dan sampai sekarang regulasi tersebut masih relevan menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.

Menurutnya jika semua pihak baik JAI dan masyarakat menaati SKB 3 Menteri, maka akan terjaga kerukunan.

“Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap SKB tersebut agar ketertiban dan keamanan dapat terjaga dengan baik,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait AHMADIYAH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz