Menuju konten utama

Pemkot Depok Segel Ulang Masjid Ahmadiyah Usai Ibadah Salat Jumat

Penyegelan Masjid Al-Hidayah milik jemaat Ahmadiyah dilakukan Satpol PP tepat setelah kegiatan Salat Jumat.

Pemkot Depok Segel Ulang Masjid Ahmadiyah Usai Ibadah Salat Jumat
Petugas Satpol PP Kota Depok mengumpulkan barang bukti kayu segel dari masjid jemaat Ahmadiyah yang dibongkar oleh oknum di Masjid Al-Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (4/6) dinihari. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Pemerintah Kota Depok menyegel Masjid Al-Hidayah, masjid milik jemaat Ahmadiyah di Sawangan, Depok, Jawa Barat, Jumat (22/10/2021). Pihak Ahmadiyah mendesak agar Pemkot Depok membuka kembali masjid mereka.

Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana mengakui bahwa ada penyegelan rumah ibadah milik Ahmadiyah. Pemkot Depok menginfokan rencana penyegelan Masjid Al-Hidayah pada Kamis (21/10/2021) dan eksekusi penyegelan dilakukan Jumat (22/10/2021).

"Jadi Kamis itu hanya mengirimkan surat, Satpol PP mengirimkan surat, Pemkot Depok dalam hal ini yang surat ditandatangani Kepala Satpol PP Depok mengirimkan surat bahwa mereka akan melakukan penyegelan ulang, pemutakhiran segel. Nah kemudian kejadiannya dilakukan pas hari jumat," kata Yendra kepada Tirto, Sabtu (24/10/2021).

Yendra mengatakan penyegelan dilakukan dengan dihadiri Satpol PP Kota Depok, sejumlah aparat kepolisian dan warga yang menurut Yendra tak jelas asalnya. Penyegelan dilakukan tepat setelah kegiatan Salat Jumat dengan dasar SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah serta aturan turunan yakni Pergub Jabar 12/2011 dan Perwali Depok 9/2011 soal Ahmadiyah.

"Jadi bagi kami itu sudah pola lama, sudah berkali-kali mereka melakukan seperti itu. Tidak ada satu misalnya latar belakang [penyegelan] apa, tidak ada. Massa melakukan penolakan pun ya biasa, yang datang adalah orang-orang yang sama," kata Yendra.

"Kami sudah hafal semua wajah-wajah mereka yang selalu datang kayak kemarin selalu datang bersamaan dengan Satpol PP. Itu massa yang sudah kami kenal sudah lama. Mereka selalu datang bersama-sama Satpol PP," tegas Yendra.

Yendra mengaku penyegelan dilakukan dengan sejumlah hal janggal. Pertama, penyegelan yang dilakukan adalah penyegelan kegiatan. Sepengetahuan Yendra, penyegelan lebih ke arah fisik, bukan kegiatan.

Kejanggalan lain adalah penyegelan disebut sebagai pembaruan penyegelan dan tidak jelas dasar hukumnya. Ia mengatakan, masjid Ahmadiyah sudah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) pada tahun 2007.

Kemudian, masjid tersebut disegel Pemkot Depok pada 2011 sehingga warga Ahmadiyah tidak menggunakan masjid. Mereka hanya menggunakan lahan parkir masjid untuk kegiatan ibadah mereka, salah satunya Salat Jumat.

Yendra mendesak agar Pemkot Depok membolehkan masjid kembali aktif. Ia beralasan, SKB 3 Menteri soal Ahmadiyah tidak melarang Ahmadiyah beribadah, tetapi mengembalikan kewenangan kepada daerah dalam menyikapi kehadiran Ahmadiyah. Di sisi lain, undang-undang mengamanahkan agar setiap warga negara mendapatkan hak untuk berkeyakinan.

Di sisi lain, penyegelan ilegal karena sudah ada rekomendasi instansi negara bahwa penyegelan melanggar hukum dan memerintahkan masjid dibuka sejak 2015 lalu.

"Komnas HAM dan Komnas Perempuan itu sudah mengeluarkan rekomendasi sejak 2015 yang menyatakan bahwa tindakan penyegelan masjid tersebut melanggar hukum dan meminta kepada Pemerintah Kota Depok untuk membuka kembali masjid tersebut. Yang jelas kami permintaannya jelas itu. Itu ada jelas Komnas HAM dan Komnas Perempuan kan institusi negara dan itu ranahnya dari pemerintah pusat untuk masalah agama," jelas Yendra.

Penyegelan Bentuk Diskriminasi

Terpisah, Setara Institute mengecam aksi penyegelan ulang tersebut. Aksi penyegelan ulang di Masjid Al Hidayah memperburuk persepsi kehadiran muslim Ahmadiyah di Depok.

"Tindakan penyegelan ulang tersebut secara serius memperburuk diskriminasi atas JAI di Depok," kata Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan, Sabtu (24/10/2021).

Halili mengingatkan penyegelan sudah terjadi pada 2018 lalu dan dinyatakan mendiskriminasi hak konstitusional para warga JAI dalam beribadah dan beragama sesuai pasal 28E ayat 1 dan 2 dan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

Setara mendesak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Walikota Depok M. Idris untuk mencabut kebijakan diskriminatif soal Ahmadiyah. Ia mengingatkan bahwa kebijakan tersebut inkonstitusional dan bertentangan dengan SKB 3 Menteri tahun 2008 silam.

"SKB 3 Menteri ‘hanya’ memperingatkan agar JAI tidak melanggar UU PNPS 1965 dan menghentikan kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam," tegas Halili.

Mereka juga mendesak Presiden Jokowi untuk meninjau ulang kehadiran SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah.

Mereka beralasan, SKB justru memantik diskriminasi kepada para anggota Ahmadiyah. Mengacu pada data longitudinal Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) SETARA Institute, dalam lima tahun terakhir saja, JAI menjadi korban pelanggaran KBB dalam 54 peristiwa dan 83 tindakan.

Mereka juga meminta Polri untuk melindungi warga dan menjaga properti kepemilikan Ahmadiyah di seluruh Indonesia. Mereka tidak ingin insiden Depok seperti peristiwa Ketapang, Nusa Tenggara Barat pada 2006. Kala itu, Jemaat Ahmadiyah dipersekusi, menjadi objek kekerasan, rumah mereka dijarah dan dibakar warga, dan kemudian diusir dari tempat tinggal mereka.

Terakhir, Halili meminta MUI untuk meninjau kembali pernyataan bahwa penyegelan masjid Ahmadiyah di Kota Depok, Jawa Barat sudah tepat. Mereka tidak ingin kejadian Sintang, yakni penyegelan rumah ibadah hingga aksi main hakim sendiri, terulang di Depok.

"Pandangan MUI menegaskan mayoritarianisme sebagai persoalan kebinekaan dan kerukunan beragama, yang mana hak-hak minoritas seringkali dikorbankan dalam relasi-relasi sosio-keagamaan, bahkan dengan alasan untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik yang seringkali dipicu oleh kelompok intoleran yang mengatasnamakan mayoritas," tegas Halili.

Baca juga artikel terkait MASJID AHMADIYAH DISEGEL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto