tirto.id - Semasa Sekolah Menengah Pertama pada medio 2003, Bunga, kini 27 tahun, menjalin hubungan asmara dengan seorang pria yang berbeda sekolah dengannya. Hubungan terjalin selepas si pria mendekatinya tak kurang selama sebulan.
Namun, hubungan tak berlangsung lama. Selepas tiga bulan menjalin tali kasih, hubungan mereka kandas. Bunga beralasan, si pria dianggapnya “enggak seru” dan “sok pintar”. Sayangnya, alasan itu tidak disampaikan, alih-alih mengutarakan pada si pria bahwa ia memilih meninggalkannya tanpa kejelasan. Dia memutuskan memblokir akses komunikasi si pria.
“Sampai sekarang, (blokir SMS dan telpon) belum gue buka,” katanya.
Karena urusan yang belum tuntas itu, si pria masih berusaha berkomunikasi dengannya. Katanya, si pria sampai-sampai mengirim pesan langsung (DM) ke akun Facebook teman Bunga. Lagi-lagi, Bunga bergeming atas upaya komunikasi si mantan.
Pada saat itu, belum ada istilah untuk menggambarkan tindakan Bunga. Namun, sejak 2011, dunia mengenal istilah ghosting, yang diartikan sebagai tindakan memutuskan hubungan, atau menghilang begitu saja tanpa penjelasan apa pun. Umumnya ghosting menjelaskan tindakan memutus saluran komunikasi seperti memblokir telepon, SMS, WhatsApp, atau akun-akun media sosial.
Dalam bentuk paling usang, ghosting dicirikan misalnya enggan bertemu kembali dengan sang mantan, seperti tidak membukakan pintu saat ia datang. Dalam definisi sederhana, ghosting bisa pula diartikan “ditinggal ketika sayang-sayangnya”.
Ghosting populer selepas media sosial plus aplikasi kencan digunakan sebagai sarana baru menjalin hubungan. Empat tahun setelah istilah ghosting muncul, ia masuk dalam Collins English Dictionary.
Kenapa istilah yang dipakai adalah ghosting? Sederhana, sebab yang jadi korban akan selalu merasa dihantui bayang-bayang mantan.
Susan Sprecher, akademisi Illinois State University, dalam “Two Sides To the Breakup of Dating Relationship”, menyebut putus hubungan dapat membuat seseorang stres, merasa kesepian, depresi, hingga marah yang tak berkesudahan.
Dalam kasus ghosting, seperti diungkap Jennice Vilhauer dalam tulisannya di Psychology Today, orang yang diputuskan dengan cara “dihantui” akan mengalami perasaan batin yang lebih dari itu. Dalam artikelnya, Vilhauer menjabarkan beberapa cerita orang yang jadi korban ghosting.
"Aku merasa seperti orang idiot, aku kayak dijadikan badut, dan aku merasa tidak dihargai."
"Rasanya seperti kena pukul di lambung. Satu-satunya hal yang lebih parah ketimbang putus adalah menyadari ada seseorang yang menganggap kamu tak layak diputus dengan baik-baik."
"Ghosting itu salah satu bentuk siksaan paling kejam dalam hubungan kencan."
Salah satu alasan terjadi ghosting, tulis Vilhauer, karena salah satu pihak ingin menghindari ketidaknyamanan emosional sendiri. Namun, pelaku ghosting tak berpikir bagaimana perasaan lawannya. Ghosting adalah bentuk lanjutan dari sikap diam pasangan. Dan tindakan ini adalah “kekejaman emosional”.
Dalam “Ghosting and destiny: Implicit theories of relationships predict beliefs about ghosting” (2018), Gili Freedman menulis ghosting terjadi karena komunikasi pasangan yang "enggak nyambung". Ghosting lazim terjadi bagi mereka yang memulai hubungan melalui daring, seperti melalui Facebook atau Tinder. Berhenti berhubungan dengan seseorang kamu cintai seperti berhenti berlangganan Spotify atau Netflix, yang terlihat berkonsekuensi kecil pada diri; tetapi, dalam ghosting, ini berdampak besar bagi emosi seseorang.
Lalu, kenapa ghosting kerap kali lebih terasa menyakitkan ketimbang diputus?
"Ghosting itu membuatmu bingung harus bereaksi apa. Apakah kamu harus khawatir? Bagaimana kalau mereka sakit dan masuk rumah sakit? Apakah kamu harus marah? Atau mungkin dia sedang amat sibuk, dan bakal menghubungi lagi dalam waktu dekat?" tulis Vilhauer.
Vilhauer, yang menulis buku Think Forward to Thrive: How to Use the Mind’s Power of Anticipation to Transcend Your Past and Transform Your Life, menyatakan salah satu aspek paling mengerikan dari ghosting adalah kamu tak hanya mempertanyakan tentang hubungan yang dia jalani, tapi juga meragukan kamu sendiri.
Dalam kasus ini, kamu kerap menyalahkan diri sembari bertanya-tanya kenapa ini terjadi. "Apa salahku sampai jadi begini?". Atau, "Kok aku tidak bisa membaca karakter seseorang?"
Tindakan menyalahkan diri sendiri itu, ujar Vilhauer, adalah salah satu akibat dari rasa kepercayaan diri yang ambruk.
Vilhauer, mengutip makalah Richardson, Hammock, dan Janit (2012), menulis bahwa ghosting berada satu tingkat daripada sekadar mendiamkan. Dan tindakan ini, menurut pakar kesehatan jiwa, sering dianggap sebagai bentuk dari kekejaman emosional.
Lalu bagaimana cara pulih dari ghosting?
Tak ada cara yang paten maupun mujarab selain "membiarkan waktu yang menyembuhkan." Bertemu dengan orang baru juga bisa menjadi cara kamu beranjak dari ghosting. Atau, melakukan hal-hal yang membuat perhatianmu teralih, mengerjakan kembali hobi-hobimu yang mungkin sempat terbengkalai.
Beberapa pakar psikologi juga menyarankan tindakan mencintai diri sendiri, semacam membaca mantra: dia tidak layak untukmu, biar saja dia hilang, kamu adalah orang baik dan akan selalu baik-baik saja.
Lalu, apa saran dari Vilhauer?
"Gunakan energimu untuk fokus ke hal-hal yang membuatmu bahagia," ujarnya.
Editor: Nuran Wibisono