tirto.id - Alphonse Gabriel Capone, atau lebih dikenal sebagai Al Capone, adalah nama yang mustahil dilupakan ketika berbicara mengenai topik gangster.
Ketika remaja, Al Capone mulai merasakan kehidupan gengster. Mula-mula ia bergabung dengan geng kecil, Junior Forty Thieves dan Bowery Boys. Pada usia 14 tahun, setelah ia dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi dengan gurunya, Al Capone menjadi anggota Brooklyn Rippers, sebelum pindah ke geng terkenal yang berbasis di Lower Manhattan: Five Points Gang. Pada masa ini pula ia dimentori oleh Johnny Torrio, salah satu penjahat kelas kakap dan orang penting di geng Chicago Outfit.
Kelak, Al Capone berhasil membangun reputasinya, dan melampaui para mentornya. Ia dikenal sebagai ganster yang nyaris tak tersentuh. Terlebih, di kalangan masyarakat menengah ke bawah, ia dikenal sebagai sosok yang amat dermawan. Ia membuka beberapa dapur di daerah-daerah miskin di pinggiran kota, memberikan jatah susu bagi anak-anak dalam melawan wabah rakhitis, dan seringkali membantu warga keturunan Italia-Amerika yang miskin.
Namun demikian, semengerikan dan sedigdaya apapun Al Capone dan gengnya, ia, toh, tetap memiliki musuh yang cukup membuatnya gentar. Namanya Adelard Cunin atau yang lebih dikenal dengan nama lain: George "Bugs" Moran.
Era Prohibisi - ‘Saint Valentine's Day Massacre’: Bugs Moran vs Al Capone
Bugs Moran adalah pemimpin North Side Gang, sebuah geng lain di Chicago yang mayoritas anggotanya berasal dari Irlandia Utara. Sama seperti Al Capone, sejak remaja ia sudah akrab dengan dunia hitam.
Untuk memahami seberapa bengal Bugs, cukup bayangkan seorang remaja yang belum genap berusia 21 tahun, tapi sudah berkali-kali masuk penjara. Lantaran itu pula, ia akhirnya memutuskan cabut ke Chicago dan menjadi penjahat penuh waktu di kota tersebut. Bugs memulai kejahatannya di Chicago dengan merampok sebuah gudang yang mengakibatkan kematian seorang polisi bernama Peter R. Bulfin. Hari-hari selanjutnya, perampokan dan tindak kriminalitas lain adalah santapan Bugs.
Setelah segala kejahatannya teruji di jalanan, Bugs kemudian menjadi salah satu dari empat bos North Side Gang. Tiga bos lain adalah Dean O'Banion, Hymie Weiss, dan Vincent "The Schemer" Drucci. Geng inilah kompetitor utama Chicago Outfit (juga dikenal dengan sebutan South Side Gang) pimpinan Al Capone yang didominasi kaum imigran Italia dan juga tergabung dengan Unione Siciliane, semacam organisasi persaudaraan bagi para orang Italia-Amerika, wabilkhusus yang berasal dari Sicilia.
Konflik antara geng Bugs dan Al Capone terjadi ketika Amerika Serikat tengah berada di Era Prohibisi yang ditandai dengan pemberlakuan UU Larangan Alkohol pada 16 Januari 1920. Konflik mengenai pelarangan alkohol kian meruncing karena industri minuman keras di AS sejatinya tengah bergeliat waktu itu. Dipantik dengan penemuan mesin pendingin pada abad 19, para produsen minuman keras bisa memperpendek jalur distribusi produknya dan memangkas ongkos produksi, serta gencar mendirikan banyak saloon (sejenis bar pada masa itu) di berbagai kota Amerika. Dengan demikian, bir atau whiskey tak hadir ke tangan konsumen lewat botol lagi, tapi langsung ke gelas dari tangki-tangki pendingin milik saloon.
Seiring ketatnya persaingan antar saloon, berbagai upaya kreatif pun dilakukan demi memikat konsumen. Antara lain dengan membuat fasilitas judi hingga prostitusi. Hal tersebut tentunya dijadikan amunisi bagi para penentang alkohol untuk mengajak masyarakat mengutuk minuman keras. Dan hasilnya, pada 16 Januari 1920, Kongres mengeluarkan The 18th Amendment, yang berisi larangan memproduksi, mendistribusikan, dan menjual minuman beralkohol.
Sejak munculnya amandemen tersebut, tingkat konsumsi di AS menurun drastis. Namun, para pebisnis tidak kehilangan akal untuk mencari peluang dan hal ini berujung dengan maraknya tindak kriminal. Terutama sejak para mafia dan gangster mulai ikut bersaing untuk menguasai distribusi minuman ilegal. Dan di Chicago-lah lokasi utama para gengster bersaing mencari keuntungan dalam bisnis gelap ini.
Puncak persaingan antara North Side Gang dengan Chicago Outfit terjadi ketika anak buah Bugs membunuh dua rekanan Al Capone dari Unione Siciliane--salah satunya adalah orang kepercayannya, Pasqualino Lolordo. Sudah tentu kejadian ini membuat murka kubu geng Italia. Capone segera mengutus tukang jagalnya, "Machine Gun" Jack McGurn beserta empat anak buahnya yang lain untuk balas dendam langsung di markas Bugs.
Persis pada Hari Valentine, 14 Februari 1929, sekitar pukul 10.30 pagi, empat orang tersebut menyerbu markas Bugs yang berlokasi di North Clark Street. Dengan menyamar sebagai polisi dan turut membawa mobil patroli, mereka langsung melakukan penggerebekan. Namun, Bugs yang menjadi target utama justru tidak ada kala itu. Mereka pun menempuh rencana B. Tujuh orang yang berada di sana kemudian diperintahkan berbaris menghadap dinding. Sejurus kemudian, Jack McGurn dkk. menembakkan senapan mesin ke arah mereka.
Enam orang tewas di tempat, sisanya meninggal di rumah sakit sekitar satu jam kemudian. Di lokasi kejadian, polisi menemukan 160 peluru. Menurut keterangan mereka, masing-masing pelaku menembakan enam sampai sepuluh peluru. Tak ada perlawanan dari para korban karena para pelaku ditenggarai datang dengan persenjataan lengkap. Insiden ini seketika menjadi isu nasional. Media-media ramai memberitakannya dan juga mengkritik lambatnya penanganan dari pemerintah Chicago.
Kelak, kejadian itu dikenal dengan sebutan: ‘Saint Valentine's Day Massacre’.
Usai kejadian itu, Bugs praktis tak punya kekuatan apa-apa lagi untuk menghantam balik Capone. Kekuatannya limbung sebab tujuh korban yang tewas merupakan “orang-orang penting” di sindikat yang dipimpinnya. Ia kalah dengan membawa dendam, sampai-sampai mempersetankan kode gengster (code of silence atau Omertà dalam istilah mafia Italia). Itu adalah sebuah kesepakatan tak tertulis di mana pantang bagi sesama gengster untuk menyebut atau menuduh nama lawannya di muka publik.
Moran meninggal pada 25 Februari 1957, di usia 63 tahun akibat kanker paru-paru ketika ia menjadi tahanan di penjara Leavenworth di Kansas.
Editor: Nuran Wibisono