tirto.id - Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) saat ini masih terus mengembangkan sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi dan memberikan peringatan gempa dengan magnitudo 4 hingga 7.
Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Profesor Sunarno saat dihubungi melalui sambungan telepon mengatakan, alat yang dikembangkan tersebut mampu mendeteksi gempa dua hari hingga dua minggu sebelum kejadian.
"Alat ini bisa memberikan informasi kalau ada indikasi gempa di Aceh hingga NTT, kalau gempanya besar alat akan mulai memberikan peringatan hingga dua minggu sebelum kejadian," kata Sunarno.
Sunarno menjelaskan, penelitian ini sebenarnya sudah lama ia dan timnya dilakukan.
Namun hasil penelitian ini baru ia publikasikan beberapa hari lalu karena di masyarakat terjadi kepanikan akibat informasi yang beredar tentang potensi tsunami hingga 20 meter.
"Penelitian ini sudah lama, sudah tujuh tahun lalu. Saya munculkan karena masyarakat resah akan ada potensi tsunami, padahal sebelum tsunami ini kan pasti akan ada gempa besar dulu. Dan gempa ini bisa diprediksi karena sebelum terjadi gempa akan indikasi atau gejala yang menyertainya," ujar Sunarno.
Sistem yang dikembangan Sunarno ini terdiri dari alat EWS yang tersusun dari sejumlah komponen seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, sumber daya listrik. Lalu, memanfaatkan teknologi internet of thing (IoT) di dalamnya.
Dilansir dari laman resmi UGM, pada 2018 lalu ia dan tim telah melakukan penelitian untuk mengamati konsentrasi gas radon dan level air tanah sebelum terjadinya gempa.
Pengamatan yang telah dilakukan kemudian dikembangkan sehingga dirumuskan dalam suatu algoritma prediksi sistem peringatan dini gempa bumi.
Sistem ini terbukti telah mampu memprediksi terjadinya gempa bumi di Barat Bengkulu M5,2 (28/8/2020), Barat Daya Sumur-Banten M5,3 (26/8/2020), Barat Daya Bengkulu M5,1 (29/8/2020), Barat Daya Sinabang Aceh M5,0 (1/9/2020), Barat Daya Pacitan M5,1 (10/9/2020), Tenggara Naganraya-Aceh M5,4 (14/9/2020), dan lainnya.
Sistem peringatan dini gempa ini telah digunakan untuk memprediksi gempa. Ada 5 stasiun pantau/EWS yang tersebar di DIY yang dalam setiap 5 detik mengirim data ke server melalui IoT.
"Lima stasiun EWS ini masih di sekitar DIY. Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat /fokus," terangnya.
Sunarno menyebutkan sistem deteksi tersebut dikembangkan sebagai mekanisme membentuk kesiapsiagaan masyarakat, aparat, dan akademisi untuk mengurangi risiko bencana. Sebab, posisi Indonesia yang berada di 3 lempeng tektonik dunia menjadikannya rentan terjadi gempa bumi.
Sebelumnya pada 2019 telah terjadi 11.473 gempa bumi dengan aktivitas gempa signifikan yang memiliki magnitudo di atas 5,0 terjadi sebanyak 344 kali.
Sedangkan gempa kecil dengan kekuatan kurang dari magnitudo 5,0 terjadi sebanyak 11.229. Gempa-gempa tersebut tak hanya menyebabkan ratusan korban luka, tetapi juga merusak ribuan bangunan tempat tinggal dan fasilitas umum.
Sunarno mengatakan bahwa sistem peringatan dini gempa bumi ini akan terus dikembangkan hingga mampu memprediksi waktu terjadinya gempa secara tepat, lokasi koordinat episentrum gempa hingga magnitudo gempa.
Pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi ini diharapkan dapat membantu aparat dan masyarakat dalam melakukan evaluasi penyelamatan penduduk lebih cepat.
Selain itu, juga bisa menjadi rekomendasi sistem instrumentasi untuk peringatan dini gempa bumi dan memberikan pengetahuan bagi masyarakat mengenai prediksi gempa bumi sehingga selalu siap dan waspada terhadap bencana gempa bumi.
Editor: Agung DH